Sri Sudewi menutup mulutnya rapat – rapat, sekalipun wanita itu tak terlihat berusaha 'tuk menjalin komunikasi dengan Hayam Wuruk. Bahkan saat Hayam Wuruk memacu kudanya ke tepi Sungai Berantas pun, tak ada decak kagum yang menguar dari bibir Sri Sudewi.
"Mengapa kita harus ke tempat ini, paduka? Saya tak memiliki banyak waktu untuk dibuang secara percuma seperti ini," ucap Sri Sudewi sesaat setelah wanita itu berhasil meloncat dari kuda hitam milik Hayam Wuruk.
"Karena ini tempat yang sangat kau sukai. Tak ada waktu yang terbuang dengan percuma jika kau mengunjungi tempat yang dapat membuat perasaanmu menjadi lebih baik, Dewi," ucap Hayam Wuruk sembari menatap sekilas Sri Sudewi.
Sang penguasa Majapahit mengenggam erat tangan Sri Sudewi, mengajak wanita itu 'tuk duduk di sebuah pondok sederhana yang terletak tak jauh dari tempat mereka berdiri. Pondok itu sangat sederhana, hanya terdiri dari kayu – kayu jati murahan dengan atap berupa pelepah daun kelapan, karena kesederhanaannya, mungkin tak akan ada masyarakat yang percaya jika orang nomor satu di Kerajaan Majapahit gemar membunuh rasa jenuhnya di tempat itu.
"Kenapa kau menerima Arya?"
Hah.
Sri Sudewi menghela nafasnya kasar. Baru saja wanita itu menghempaskan bokongnya di atas pondok sederhana tersebut, namun dirinya langsung diburu oleh pertanyaan aneh yang entah sudah berapa kali ditanyakan oleh Hayam Wuruk kepadanya.
"Karena saya mencintainya," ucap Sri Sudewi sembari menatap lekat kedua netra Hayam Wuruk, mencoba 'tuk meyakinkan pria itu bahwa jawaban yang baru saja dilontarkannya merupakan jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan Hayam Wuruk, walaupun, sejujurnya... Sri Sudewi masih meragukan jawabannya.
"Secepat itu? Kalian baru bertemu beberapa kali, bagaimana bisa kau dengan gamblangnya mengatakan bahwa kau jatuh cinta dengannya?" tanya Hayam Wuruk sembari memicingkan kedua netranya.
"Bukankah itu sama saja dengan anda, paduka? Anda juga jatuh cinta dengan Dyah Pitaloka sesaat setelah anda melihat lukisannya. Jika anda hendak mengadu nasib mengenai hal ini, bukankah anda harus berkaca dari diri anda sendiri,"
Hayam Wuruk terlihat sedikit tersentak ketika ia mendengar rentetan kalimat yang baru saja diucakan oleh Sri Sudewi, namun dengan cepat, pria itu menormalkan ekspresinya. Hati pria itu kembali mengeras, melihat dan mendengar bagaimana Sri Sudewi mulai membelot terhadap dirinya membuat pria itu berpikir jika Arya Bebed bukanlah pria yang pantas untuk sepupu yang sangat disayanginya itu.
"Pria liar itu benar – benar telah memberikan banyak pengaruh buruk padamu, Dewi. Hal inilah yang membuatku tak setuju jika kau hendak menjalin mahligai rumah tangga bersamanya. Disaat seperti ini saja kau telah berani membantahku, bagaimana jika saat kalian menikah nanti? Mungkin saja kalian akan bersekutu 'tuk menggulingkanku dari tahta,"
Kedua netra hitam milik Sri Sudewi menyipit ketika ia mendengar kalimat Hayam Wuruk. Sungguh, Sri Sudewi benar – benar tak mengerti dengan jalan pikiran Hayam Wuruk yang... sangat aneh itu.
"Apa yang kau katakan? Bukankah aku adalah sepupumu? Bagaimana bisa aku menggulingkanmu dari tahta?!" ucap Sri Sudewi tak percaya.
"Tangan Panji Tohjaya saja tak bergetar saat ia menikam saudara tirinya sendiri. Lalu bagaimana deng—
Plak!
Tanpa memperdulikan segala aturan serta batasan – batasan yang telah dipelajarinya sebagai seorang bangsawan, Sri Sudewi melayangkan sebuah tamparan ke atas pipi Hayam Wuruk. Tamparan itu tak terlalu kuat, namun cukup 'tuk membuat Hayam Wuruk bergeming dengan wajahnya yang sedikit tertoleh.
"Bagaimana bisa... bagaimana bisa kau memikirkan hal itu tentangku? Selama ini, aku selalu berpikir jika kau merupakan satu – satunya orang yang dapat mengerti diriku, namun perkataan yang baru saja kau lontarkan telah merusak persepsiku," ucap Sri Sudewi dengan nada suaranya yang terdengar begitu bergetar.
Wanita itu mengepalkan kedua tangannya ketika ia mendapati Hayam Wuruk masih tetap bergeming, entah dorongan yang datang darimana, wanita itu mengarahkan pukulan – pukulan ke atas dada bidang Hayam Wuruk. Pukulan yang dikerahkannya dengan seluruh tenaganya, namun tak terlalu berasa untuk sang Penguasa Majapahit.
Bugh! Bugh! Bugh!
"Kau... kau sangat jahat padaku, Hayam! Aku tak pernah mempermasalahkanmu dengan Dyah Pitaloka, namun... kenapa kau melakukan ini kepadaku?!" ucap Sri Sudewi dengan suaranya yang meningkat satu oktaf di kalimat terakhir yang diucapkannya.
Bugh! Bugh! Bugh!
"Kau yang telah mengabaikanku sejak kau bertemu dengan Dyah Pitaloka, lalu... dimana letak kesalahanku jika aku ingin mencari kebahagiaan dari pria lain?" adu Sri Sudewi sembari menggenggam erat jubah benang emas milik Hayam Wuruk. Wanita itu mendongakkan wajahnya agar ia dapat melihat wajah Hayam Wuruk, namun sayang, pria itu malah memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Dimana letak kesalahanku?! Dimana?!" teriak Sri Sudewi yang berhasil mendorong Hayam Wuruk 'tuk mendaratkan tatapannya pada wajah Sri Sudewi yang terlihat memerah akibat emosi yang tengah bergejolak di dalam dirinya.
"Sssh... maafkan aku," ucap Hayam Wuruk sembari menangkup wajah Sri Sudewi, sejujurnya, saat ini pria itu merasa sangat sangat tak mampu 'tuk tetap menatap kedua netra Sri Sudewi. Kedua netra hitam Sri Sudewi terlihat berkaca – kaca dan hal tersebut berhasil mengusik hati Hayam Wuruk.
Tes.
Sebutir kristal bening meluruh jatuh dari netra hitam Sri Sudewi. Kristal bening yang sedari tadi telah ditahan mati – matian oleh wanita itu.
"Kau jahat... Kau sangat jahat," adu Sri Sudewi dengan air mata yang telah berlomba – lomba 'tuk jatuh dari kedua netra hitamnya.
Bub.
Hayam Wuruk menarik tubuh sepupu yang sangat disayanginya itu ke dalam pelukannya. Tangan – tangan kekar pria itu bergerak mengelus punggung Sri Sudewi yang terlihat berguncang dengan begitu hebatnya, pria itu juga memejamkan kedua netranya ketika rasa perih mendera hatinya. Rasa perih yang datang ketika indra pendengarannya menangkap suara isakan Sri Sudewi yang terdengar begitu memilukan.
"Maafkan aku, Dewi. Maafkan aku,"
Kalimat itu seolah – olah menjadi mantra andalan Hayam Wuruk, pria itu selalu mengulang – ngulang kalimat yang sama hingga isakan Sri Sudewi tak terdengar sememilukan sebelumnya.
"Aku... aku hanya ingin bahagia, apakah aku salah jika aku menerima Arya? Arya... Arya, telah menjanjikanku kebahagiaan itu. Apakah aku salah jika aku tergoda dengan kebahagiaan itu?"
"Tidak, kau tidak salah, Dewi. Aku yang salah. Aku yang salah karena aku telah bersikap egois akan kehidupanmu sendiri," ucap Hayam Wuruk sembari mengeratkan pelukannya pada tubuh Sri Sudewi.
Pelukan Hayam Wuruk terasa begitu hangat, tipe pelukan yang sangat dirindukan oleh Sri Sudewi. Kedua tangan lentik milik wanita itu terulur 'tuk membalas pelukan Hayam Wuruk dengan tak kalah eratnya. Untuk beberapa saat, kedua anak manusia itu menghabiskan waktu mereka hanya untuk berpelukan erat.
"Tolong... izinkan aku menikah bersama Arya,"
.
.
Omoonaa, sudah hampir satu bulan cerita ini nggak author update. So sorry Luvssss... TT_TT
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubat
Historical FictionRomansa - Fiksi Sejarah [PERINGATAN : Cerita ini merupakan cerita modifikasi, tidak sepenuhnya dalam cerita ini merupakan sejarah] Wanita, Tahta, Kecantikan, Pria ,dan Cinta, sebuah kesatuan yang dapat merusak sejarah. [Rank] #1 Dyah Pitaloka (15 Ju...