Sungging Prabangkara menatap takjub pasangan yang kini sedang berada di hadapannya, seumur hidupnya, Sungging Prabangkara tak pernah merasakan rasa sesemangat ini ketika ia sedang melukis sepasang kekasih (?). Menurut Sungging Prabangkara, pemandangan yang saat ini berada di hadapannya merupakan perwujudan nyata dari cerita roman picisan yang sering diucapkan oleh para pujangga di jalanan malam.
Senyum tak pernah luntur dari wajah manis milik Sri Sudewi, wanita itu tak pernah merasa sebahagia ini. Hayam Wuruk pun sama seperti Sri Sudewi. Pria itu bahagia saat wanitanya bahagia.
"Apa kau tidak lelah?" tanya Hayam Wuruk sembari menunduk untuk menatap Sri Sudewi yang saat ini tengah duduk di sebuah kursi yang berada tepat di depan Hayam Wuruk.
Saat ini, pasangan sepupu itu sedang berpose untuk lukisan yang sedang dikerjakan oleh Sungging Prabangkara. Sri Sudewi duduk dengan begitu anggun di atas sebuah kursi kayu, sedangkan Hayam Wuruk berdiri begitu tegap di belakangnya dan... oh! Jangan lupakan salah satu tangan kekar milik Hayam Wuruk yang bertengger manis di atas bahu sempit Sri Sudewi.
"Tidak. Saya malah merasa begitu bersemangat, Paduka! Ini mungkin kesempatan pertama dan terakhir saya," jawab Sri Sudewi semberi mendongakkan kecil kepalanya agar ia dapat menatap Hayam Wuruk.
"Oh, seharusnya aku tak perlu menanyakan pertanyaan tak berguna itu untukmu, Dewi... Karena wajah bahagiamu telah menjelaskan segalanya," ucap Hayam Wuruk yang dibalas dengan sebuah senyum bahagia oleh Sri Sudewi.
"Lukisan ini telah selesai. Paduka dan nona Dewi nampak begitu menganggumkan disini!" ucap Sungging Prabangkara dengan nada yang begitu menggebu – gebu.
Ucapan Sungging Prabangkara tersebut berhasil membuat Sri Sudewi memutus kontak matanya dari Hayam Wuruk. Wanita itu bangkit dari posisinya dan melangkah dengan begitu semangat menuju Sungging Prabangkara.
Wah.
Decak kagum terlontar dari bibir wanita itu saat ia melihat lukisannya dan Hayam Wuruk di atas kertas daluang. Karya lukis Sungging Prabangkara memang tak perlu diragukan lagi kualitasnya.
"Tuan membuatku terlihat berbeda di dalam lukisan ini. Saya sangat menyukainya," ucap Sri Sudewi dengan penuh kekaguman.
"Tak ada yang berbeda Dewi. Kau terlihat begitu cantik di lukisan ini, di hadapanku pun tetap seperti itu," celetuk Hayam Wuruk yang entah sejak kapan sudah berada tepat di belakang Sri Sudewi.
Sri Sudewi hanya tertawa kecil ketika ia mendengar ucapan Hayam Wuruk. Pria itu sangat sering memuji kecantikannya dan hal itu tak berhasil memberikan rasa apapun di dalam hati Sri Sudewi, karena wanita itu yakin jika Hayam Wuruk melakukannya agar Sri Sudewi tak merasa kecil karena kecantikan paripurna yang dimiliki oleh saudara tirinya, Indudewi.
"Kalau begitu saya izin untuk berganti pakaian terlebih dahulu, Paduka," ucap Sri Sudewi pada Hayam Wuruk yang dibalas dengan sebuah anggukan oleh pria itu.
Dengan kebahagiaan yang telah menyusup di dalam hatinya, Sri Sudewi mengganti gaun merah yang tadi melekat di tubuh proporsionalnya dengan pakaian lusuh yang digunakannya sebelum ia dan Hayam Wuruk dilukis tadi.
"Nona Dewi wanita yang sangat manis, Paduka. Saya akan merasa begitu terhormat jika saya diberi kesempatan untuk melukis Nona Dewi dan Paduka dalam balutan busana merah,"
Hayam Wuruk hanya tersenyum simpul untuk menanggapi ucapan Sungging Prabangkara. Meski mereka dibebaskan untuk menikah dengan keluarga mereka sendiri, namun bagi Hayam Wuruk, Sri Sudewi adalah sebuah pengecualian. Hayam Wuruk sangat menyayangi Sri Sudewi seperti ia menyayangi adik perempuannya sendiri, terkutuklah Hayam Wuruk jika ia memiliki niat untuk mempersuntik adik perempuan manisnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubat
Historical FictionRomansa - Fiksi Sejarah [PERINGATAN : Cerita ini merupakan cerita modifikasi, tidak sepenuhnya dalam cerita ini merupakan sejarah] Wanita, Tahta, Kecantikan, Pria ,dan Cinta, sebuah kesatuan yang dapat merusak sejarah. [Rank] #1 Dyah Pitaloka (15 Ju...