44. Jangan Siksa Aku, Pitaloka

764 73 3
                                    

Ctas!

Hayam Wuruk menghentak keras tali kekang yang berada di dalam genggamannya, memaksa kuda kesayangannya untuk berlari lebih cepat. Hayam Wuruk telah terlambat! Kabar penuh kesakitan yang berasal dari Pesanggrahan Bubat telah sampai di kedua telinganya disaat dirinya belum memberikan keputusan apapun.

"Bertahanlah Pitaloka," gumam Hayam Wuruk saat kedua netra gelapnya telah melihat api yang begitu dasyhat melalap habis kemah rombongan Kerajaan Sunda yang terletak di Pesanggrahan Bubat. Bahkan dari jarak yang begitu jauh, Hayam Wuruk dapat melihat betapa ganasnya api itu meratakan seluruh kemah di Pesanggrahan Bubat.

Ditengah – tengah jantungnya yang berdegub kencang karena perasaan khawatir, kedua netra Hayam Wuruk tanpa sengaja menatap sesosok pria paruh baya yang tengah duduk diatas kudanya, pria paruh baya itu menatap kehancuran Kerajaan Sunda dengan begitu tenangnya dan sikap tenang itu semakin membakar api amarah di dalam diri Hayam Wuruk.

Ingin rasanya Hayam Wuruk menghentikan kudanya dan meluapkan amarahnya kepada pria paruh baya itu, tetapi sayangnya Hayam Wuruk tak bisa melakukannya, ia tak boleh begitu gegabah, ia harus menyelamatkan Pitaloka dan Kerajaan Sunda!

Klatak! Klatak! Klatak!

Tanpa mengatakan apapun, Hayam Wuruk memacu kudanya melewati pria paruh baya itu, sang Mahapatih yang amat – amat diagungkan oleh Kerajaan Majapahit. Hayam Wuruk tak mengatakan apapun kepada Mahapatih Gajah Mada, akan tetapi Penguasa Nomor Satu Kerajaan Majapahit itu melemparkan tatapan kecewanya kepada sang Mahapatih.

Tatapan kecewa itu hanya sekilas, tetapi berhasil meninbulkan rasa bersalah di dalam hati Mahapatih Gajah Mada. Pria paruh baya itu mencoba untuk mengerasakan hatinya, ia tetap duduk tegak di atas kudanya, menatap kehancuran Kerajaan Sunda serta Sang Penguasa Majapahit yang tengah memacu kencang kudanya.

Grep.

Mahapatih Gajah Mada mencengkram erat tali kekang kudanya, hatinya berdesir saat melihat Hayam Wuruk semakain dekat ke area kemah Kerajaan Sunda. Pria paruh baya itu kembali mengeraskan hatinya, ia mendongakkan kepalanya dan memejamkan kedua netranya.

"Untuk Kerajaan Majapahit," gumam Mahapatih Gajah Mada sesaat sebelum pria paruh baya itu akhirnya memutuskan untuk memacu pelan kudanya, berbalik dan meninggalkan Pesanggrahan Bubat yang telah hancur lebur.

Klatak! Klatak! Klatak!

Hayam Wuruk memelankan pacu kudanya ketika pria itu telah memasuki area perkemahan Kerajaan Sunda yang telah terbakar habis dilalap sang jago merah. Tubuh rombongan Kerajaan Sunda terlihat begitu tak berharga di atas tanah Pesanggrahan Bubat, darah tertumpah dimana – mana, seharusnya Hayam Wuruk merasa biasa saja karena pria itu telah sering melihat hal seperti ini, akan tetapi ketika Hayam Wuruk mengingat bahwa mereka yang tertumpah darahnya disini adalah Kerajaan Sunda, rasa sakit menikam diri Hayam Wuruk.

Kedua netra gelap milik Sang Penguasa Majapahit berpendar, mencari – cari sosok perempuan yang sedari tadi mengusik ketenangan hatinya. Namun sangat disayangkan, bukannya menemukan perempuan itu, Hayam Wuruk malah mendapati salah satu patihnya tengah menikam ayah dari perempuan itu.

"Apa yang kau lakukan!"

Teriakan penuh amarah memenuhi atmosfer Pesanggrahan Bubat yang telah hancur berantakan. Dengan gerakan cepat, Hayam Wuruk turun dari kuda hitam kebanggaannya. Ia menghampiri patih tersebut dengan amarah yang bergulung – gulung.

Bugh!

Hayam Wuruk melayangkan satu tendangan kerasnya ke perut patih tersebut, tendangan itu begitu keras hingga sang patih jatuh tersungkur.

Bugh! Bugh! Bugh!

"Persetan!" teriak Hayam Wuruk seraya melampiaskan seluruh amarahnya kepada patih tersebut. Tonjokan demi tonjokan ia layangkan ke wajah dan tubuh patih yang terlihat tak memiliki keinginan untuk melawan Hayam Wuruk.

BubatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang