Bragh!
Suara boks kayu yang dilemparkan dengan begitu kasarnya memicu amarah serta ketakutan diantara dua individu yang sedari tadi terkurung di dalam sebuah ruangan isolasi Kerajaan Majapahit.
"Memang benar, seharusnya sejak awal aku tak perlu memberikan restu pernikahan kepadamu dan putriku," ucap Wijayarajasa sembari melemparkan tatapan jijiknya kepada mantan calon menantunya serta kepada wanita Bali yang sedang duduk tak jauh dari mantan calon menantunya itu.
Grit!
"Aku tak pernah melakukan tindakan keji itu! Aku dijebak!" ucap Arya setengah berteriak, urat – urat berwarna biru kehijauan bahkan menonjol di batang leher pria itu. Sungguh, Arya tak lelah 'tuk berteriak kepada semua orang bahwa dirinya sudah dijebak di dalam intrik keji Majapahit.
"Tak perlu berteriak kepadaku, anak haram. Bukti yang tertera di depan mata sudah menjelaskan segalanya ketimbang teriakan bodohmu itu," ucap Wijayarajasa dengan tatapan jijiknya.
"Sebentar lagi, pengawal khusus dari Kerajaan Majapahit akan mengangkutmu dan gundikmu itu kembali ke Tanah Bali. Hiduplah di Tanah Bali dan jangan pernah kembali ke Kerajaan Majapa---
"Tidak! Aku tidak akan pergi kemanapun tanpa Dewiku!" potong Arya sembari berteriak kencang, bahkan pria itu mencoba untuk bangkit dari posisi pasungnya, tetapi rantai – rantai yang mencengkram kedua tangan serta kakinya berhasil menghalangi upaya pria itu.
"Seorang Putri Kerajaan Majapahit tak akan pernah 'ku izinkan menikahi pria kotor sepertimu! Pweh!" ucap Wijayarajasa dengan amarah bergulung sembari meludah tepat di hadapan Arya.
Sebenarnya, Arya sudah merasa terbiasa dengan penghinaan dari para kaum bangsawan sok suci seperti Wijayarajasa. Akan tetapi, entah kenapa kali ini Arya merasa tak terima dengan kalimat yang baru saja diucapkan oleh Wijayarajasa.
Arya merasa dirinya bukan pria kotor. Seumur – umur dalam hidupnya, Arya tak pernah meniduri seorang wanita, ia tak ingin menjadi seorang pria tak bertanggungjawab dengan merusak masa depan seorang wanita. Kali ini pun Arya yakin bahwa dirinya tidak meniduri Ni Kadek Larasasti. Sekalipun semua bukti telah mengarah kepadanya, namun akal sehat Arya menolak keras semua bukti tersebut.
"Aku akan menikahi Dewi! Kami tak membutuhkan izin dari seorang ayah yang brengsek seperti dirimu, Wijayarajasa!" teriak Arya sembari berusaha untuk menarik kuat dirinya dari rantai – rantai tebal yang tengah melilit kedua tangan serta kakinya.
Bugh! Bugh! Bugh!
Setelah teriakan itu menggema di dalam ruangan tersebut, tanpa ba bi bu, Wijayarajasa mendekati Arya. Pria yang telah berumur lebih dari setengah abad itu menendang keras wajah Arya, menambah jejak – jejak darah segar pada wajah kokoh Arya.
Bugh! Bugh! Bugh!
Ni Kadek Larasasti hanya bisa menggigit bibirnya kuat – kuat, menahan diri sekuat tenaga untuk tak berteriak ketakutan, walaupun air mata yang sedari tadi jatuh meluruh dari kedua netra Ni Kadek Larasasti telah membuktikan betapa takutnya perempuan itu saat ini.
"Dengan hal keji yang baru saja kau perbuat bersama pelayan kotormu itu, apakah kau tak berpikir jika kau hanya akan menambah beban Sri Sudewi ketika kau menikahinya nanti?"Bugh!
Satu tendanganan melayang bersama dengan kata – kata keji yang terlontar dari bibir Wijayarajasa. Kedua hal itu berhasil membekukan lidah Arya yang baru saja hendak melontarkan kalimat – kalimat penolakannya akan tindakan yang telah ia lakukan bersama Ni Kadek Larasasti.
"Kau mengatakan bahwa aku adalah ayah yang brengsek? Lalu kau apa, hah? Tunangan yang brengsek?" ejek Wijayarajasa sembari melemparakan tatapan jijiknya kepada Arya dan Ni Kadek Larasasti secara bergantian.
Tangan Arya mengepal keras, ia ingin melawan tapi rasanya lidahnya terlalu berat untuk menyangkal segala ucapan yang terlontar dari mulut Wijayarajasa. Arya benar – benar merasa tak berdaya dan disaat itulah Wijayarajasa merasakan kemenangan sudah berada tepat di depan kedua bola matanya,
Drap.
Wijayarajasa mengambil satu langkah tegas menuju Arya, pria paruh baya itu menyentuh dagu Arya dengan ujung kakinya, memaksa Arya 'tuk menatap Wijayarajasa, sang pemenang.
"Sekarang pilihanmu hanya dua, anak haram. Pergi meninggalkan Majapahit atau pergi meninggalkan dunia ini... untuk selamanya,"
. . . B U B A T . . .
"Jangan tinggalkan aku,"
Gumaman yang terdengar begitu rapuh itu menyapa kedua indra pendengaran Hayam Wuruk untuk yang kesekian kalinya. Salah satu tangan kekar pria itu masih senantiasa mengelus lembut puncak kepala sepupu wanitanya yang sedang berbaring pada ranjang hangatnya, tetapi kedua netranya masih senantiasa terpatri pada lukisan wanita Sunda yang terpatri indah pada dinding kamar tidur pria itu.
"Arya...,"
Sebuah senyum kecut muncul pada wajah kokoh sang Penguasa Majapahit. Mau tak mau, Hayam Wuruk mengalihkan atensinya pada Sri Sudewi yang sedari tadi terlihat gelisah di dalam tidurnya. Ah... dengan segala hal yang terjadi beberapa hari belakangan ini, tak mungkin Sri Sudewi masih dapat tidur dengan tenang 'kan?
"Hayam disini, Dewi... Hayam disini untukmu," bisik Hayam Wuruk lembut dengan jari jempolnya yang terulur 'tuk mengusap lembut dahi Sri Sudewi yang terlihat berkerut.
Setelah Sri Sudewi berhasil mendapatkan ketenangan di dalam tidurnya, barulah Hayam Wuruk menarik telapak tangannya dari puncak kepala wanita itu. Hayam Wuruk menatap lekat wajah lelah Sri Sudewi sesaat sebelum pria itu menghela nafas kasar.
Srekght.
Suara kursi kayu yang didorong pelan timbul saat Hayam Wuruk menarik dirinya dari sisi Sri Sudewi. Sebelum menarik langkah pergi, Hayam Wuruk menyempatkan dirinya 'tuk merapikan selimut Sri Sudewi yang terlihat sedikit berantakan.
Lagi, Hayam Wuruk menatap wajah Sri Sudewi dan kembali menghela nafas kecil. Hayam Wuruk menepuk lembut puncak kepala Sri Sudewi beberapa kali sebelum pria itu benar – benar melangkah pergi meninggalkan Sri Sudewi,
Drap. Drap. Drap.
Dengan gagahnya, Hayam Wuruk menapaki lorong istana Kerajaan Majapahit. Kedua netra hitam legam milik pria itu menatap datar dan tajam semua objek yang berada di depannya, tatapan yang tak pernah diperlihatkannya kepada siapapun kecuali pada musuh di medan perang.
"Yang Mulia Paduka Sri Rajasanegara memasuki aula sidang!"
Teriakan yang begitu menggema dari para pengawal menyambut kedatangan Hayam Wuruk di aula sidang Kerajaan Majapahit. Aula sidang kali ini benar – benar terasa berbeda dibandingkan dengan aula – aula sidang sebelumnya. Mahapatih yang biasanya berdiri di dekat singgahsana sang Penguasa Majapahit, kini tampak tak berdaya dengan rantai yang memborgol kedua tangannya.
Drap. Drap. Drap.
Di setiap tarikan langkah yang diambilnya, Hayam Wuruk meneguhkan pendiriannya. Hayam Wuruk tak boleh mendua hati, Hayam Wuruk adalah Paduka Sri Rajasanegara yang harus menjadi contoh baik bagi seluruh masyarakat Majapahit.
"Hormat kepada Paduka Sri Rajasanegara," ucap pengawal yang berada di aula tersebut saat Hayam Wuruk berdiri kokoh tepat di atas singgahsananya. Penguasa Majapahit itu menganggukkan kepalanya untuk menerima hormat sesaat sebelum dirinya duduk pada singgahsana tersebut.
"Pengadilan terbuka untuk mengadili para penjahat Perang Bubat dibuka!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubat
Historical FictionRomansa - Fiksi Sejarah [PERINGATAN : Cerita ini merupakan cerita modifikasi, tidak sepenuhnya dalam cerita ini merupakan sejarah] Wanita, Tahta, Kecantikan, Pria ,dan Cinta, sebuah kesatuan yang dapat merusak sejarah. [Rank] #1 Dyah Pitaloka (15 Ju...