"Beberapa hari lagi, rombongan Kerajaan Sunda akan tiba di Pesanggrahan Bubat, Paduka,"
Rasanya, seutas senyum bahagia hendak terpatri di wajah kokoh Hayam Wuruk ketika ia mendapati laporan terbaru dari salah seorang pengawalnya. Akan tetapi, posisinya sebagai seorang Penguasa Kerajaan Majapahit yang terkenal dengan ketegasannya, seolah – olah melarang pria itu untuk menampilkan senyum bahagianya secara sembarang.
"Bagaimana dengan persiapan pernikahan? Apakah semuanya lancar?" tanya Hayam Wuruk sembari berusaha menetralkan percik – percik kebahagiaan yang tengah bersarang di dalam dadanya.
"Para pelayan istana telah memastikan bahwa seluruh persiapan akan selesai dalam enam hari lagi, Paduka. Undangan terbuka juga telah disebar oleh para pelayan,"
"Bagus. Pastikan seluruh rakyat ku ikut ambil bagian dalam pesta perayaan itu. Sediakan banyak makanan untuk mereka, juga tempat tinggal yang layak,"
"Baik, Paduka,"
"Kau bisa keluar dan kembali melanjutkan pekerjaanmu,"
"Baik, Paduka. Saya pamit undur diri,"
Klek.
Ketika pintu ruang kerjanya tertutup, barulah seutas senyum bahagia terpatri di wajah Hayam Wuruk. Senyum bahagia yang begitu lebar, bahkan sangking lebarnya, kedua netra hitam milik pria itu ikut tersenyum. Sebuah pemandangan yang begitu langka.
Rasanya, terakhir kali Hayam Wuruk merasa sebahagia ini ketika dirinya menerima sapu tangan rajutan dari Sri Sudewi dan hal itu sudah lama sekali, mungkin sekitar sepuluh hingga lima belas tahun yang lalu. Ah, memikirkan hal ini membuat Hayam Wuruk tiba – tiba merindukan Sri Sudewi. Sungguh, segala hal yang menyangkut persiapan pernikahan antara dirinya dan Dyah Pitaloka, membuat pria itu benar – benar tak memiliki waktu untuk mengunjungi Sri Sudewi.
"Anda terlihat begitu bahagia, Paduka,"
Deg.
Jantung Hayam Wuruk sempat berdetak keras, ia tak ubah seperti seorang pencuri yang ketahuan sedang mencurinya. Wajah Hayam Wuruk sempat pias ketika ia mendapati seorang pria paruh baya berjalan memasuki ruangannya tetapi, senyum yang terpatri di wajah pria paruh baya itu berhasil menghantarkan rasa hangat tersendiri di dalam diri Hayam Wuruk. Hayam Wuruk tak menghapus senyum bahagianya, ia malah semakin tersenyum bahagia ketika ia mendapati senyum yang terpatri di wajah pria paruh baya itu.
"Mahapatih," panggil Hayam Wuruk ketika Mahapatih Gajah Mada berhenti tepat di hadapannya.
"Saya turut bahagia dengan segala persiapan pernikahan anda, Paduka," ucap Mahapatih Gajah Mada dengan salah satu tangannya yang terulur 'tuk menepuk – nepuk pundak kekar Hayam Wuruk.
"Terimakasih banyak, Mahapatih," ucap Hayam Wuruk dengan senyumannya yang mulai menyurut. Akan tetapi, raut bahagia tetap terpatri di wajah kokoh Penguasa Majapahit itu.
"Bersamaan dengan kebahagiaan ini, saya juga hendak menyampaikan kabar bahagia bagi Paduka," ucap Mahapatih Gajah Mada dengan penuh keseriusan tetapi, bibir pria paruh baya itu masih saja melengkungkan sebuah senyuman.
Hayam Wuruk dapat menangkap terdapat sesuatu di balik ucapan Mahapatih Gajah Mada, seketika, raut wajah Penguasa Majapahit itu berubah serius.
"Kita dapat membicarakannya sembari duduk, Mahapatih," ucap Hayam Wuruk sembari mengajak Mahapatih Gajah Mada 'tuk duduk bersamanya di sebuah kursi yang berada tak jauh dari mereka.
Mahapatih Gajah Mada menganggukkan kepalanya dan menarik langkah 'tuk mengikuti Hayam Wuruk, senyum yang sebelumnya menghiasi wajah pria paruh baya itu kini telah menghilang dengan sempurna, tergantikan oleh raut keseriusan.
"Katakan, apa ada sebuah masalah yang terjadi, Mahapatih?" tanya Hayam Wuruk sesaat dirinya dan Mahapatih Gajah Mada menduduki kursi.
Mahapatih Gajah Mada nampak menarik nafas sesaat dan memejamkan kedua netranya seperkian detik, sebelum pria paruh baya itu melemparkan tatapan seriusnya kepada Hayam Wuruk.
"Pernikahan yang terjadi antara Paduka dengan Putri Kerajaan Sunda haruslah dinggap sebagai bentuk penundukkan Majapahit atas Sunda," ucap Mahapatih Gajah Mada dengan ketegasan yang terdengar di setiap kata demi katanya.
Hayam Wuruk tak bodoh, ia tau betul apa maksud dari 'penundukan' yang diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada. Ingin rasanya bibir sang Penguasa Majapahit itu menyuarakan ketikdaksetujuannya, jika saja ia lupa bahwa pria paruh baya yang saat ini sedang duduk di hadapannya merupakan pria yang paling berjasa di dalam pengembangan sayap hegemoni Majapahit.
"Apa maksud anda, Mahapatih?" tanya Hayam Wuruk tak kalah tegasnya.
"Anda tentunya paham betul apa maksud dari ucapan saya, Paduka. Saya menginginkan pernikahan yang terjadi antara Paduka serta Putri Kerajaan Sunda tak hanya sebatas pada penyatuan dua keluarga yang berbeda saja. Namun, juga penyatuan dua kerajaan di bawah kendali Majapahit,"
"Apa anda sadar dengan kalimat yang baru saja anda ucapkan, Mahapatih?" desis Hayam Wuruk dengan rahang tegasnya yang telah mengetat kencang.
"Saya sadar, Paduka, saya sangat sadar dan saya melakukan ini sebagai bentuk perhatian saya terhadap Kerajaan Majapahit. Kesempatan baik seperti ini, tak boleh diabaikan begitu saja, Paduka. Anda tentunya tau betul bagaimana sulitnya Majapahit menundukkan Sunda karena hubungan tali persaudaraan di masa lalu, padahal selalu ada kemungkinan jika Sunda akan menyerang Majapahit di masa depan, mengingat Sunda tak pernah memiliki niat satu kali pun untuk memihak Majapahit,"
Kalimat – kalimat yang terlontar dari bibir Mahapatih Gajah Mada rasanya seperti hendak memaksa Hayam Wuruk 'tuk berubah menjadi seorang tuna rungu. Ia benar – benar tak ingin mendengarkan persoalan kekuasaan menyinggung masalah pilihan hatinya, ia benar – benar tak menginginkan hal itu.
"Paduka, apa sulitnya menjadikan pernikahan ini sebagai bentuk penundukan Sunda? Anda tak akan pernah kehilangan Putri Sunda hanya karena penundu---
"Saya memiliki prinsip, Mahapatih!" potong Hayam Wuruk sembari melemparkan tatapan tak bersahabatnya kepada Mahapatih Gajah Mada. Mahapatih Gajah Mada yang juga memiliki watak keras, tampaknya tak terlalu terkejut dengan tindakan Hayam Wuruk tersebut.
"Saya tak pernah ingin mencampuradukkan hal pribadi saya dengan hal terkait kerajaan," ucap Hayam Wuruk lamat – lamat dengan kedua netranya yang menyorot wajah Mahapatih Gajah Mada tanpa sedikitpun rasa gentar.
"Maka saya pun memiliki prinsip, Paduka. Saya berprinsip 'tuk melakukan apapun demi kejayaan Majapahit dan saya yakin, tanpa prinsip ini, Majapahit tak akan pernah mencapai kejayaannya,"
"Mahapatih!"
Hayam Wuruk bangkit dari posisi duduknya dengan gumpalan amarah yang menggebu – gebu di dalam dirinya. Kedua tangan kekar Penguasa Majapahit itu mengepal erat – erat.
"Saya memberikan anda waktu hingga dua kali mentari terbit. Jika saya tak mendapatkan kepastian apapun dari anda, maka saya sendiri yang akan bergerak untuk Majapahit,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubat
Historical FictionRomansa - Fiksi Sejarah [PERINGATAN : Cerita ini merupakan cerita modifikasi, tidak sepenuhnya dalam cerita ini merupakan sejarah] Wanita, Tahta, Kecantikan, Pria ,dan Cinta, sebuah kesatuan yang dapat merusak sejarah. [Rank] #1 Dyah Pitaloka (15 Ju...