34. Tanggal Pernikahan

665 101 22
                                    

"Dewi, hari ini... Aku berencana 'tuk mengajukan tanggal pernikahan kepada kedua orangtua Dyah Pitaloka,"

Sebuah kalimat yang baru saja dilontarkan oleh bibir Hayam Wuruk berhasil mencuri atensi Sri Sudewi. Wanita itu melirik sekilas wajah Hayam Wuruk dan ia mendapati sang Penguasa Majapahit tersebut tengah menatap dirinya dengan tatapan serius.

"Aku berencana 'tuk menyelenggarakan pernikahan di Majapahit,"

Kini, sebuah kerutan menghiasi dahi mulus Sri Sudewi. Dengan gerakan pelan, wanita itu menutup sebuah gulungan kakawin yang diberikan Bujangga Manik kepadanya.

"Itu artinya... Rombongan mempelai wanita yang akan mendatangi rombongan mempelai pria?" tanya Sri Sudewi seraya melemparkan tatapan seriusnya kepada Hayam Wuruk.

"Ya,"

Benar – benar di luar akal sehat.

Sri Sudewi memiringkan sedikit kepalanya saat ia mendapati jawaban penuh keyakinan tersebut terucap dari bibir Hayam Wuruk. Jika saja Sri Sudewi tak ingat bahwa pria itu merupakan orang nomor satu di Kerajaan Majapahit, pastilah Sri Sudewi akan menyumpahi pria itu dengan berbagai macam sumpah serapah.

"Bukankah hal itu menyalahi aturan, padu---

"Hayam. Aku ingin kita membicarakan ini sebagai sepasang sahabat, bukan sebagai sepasang bangsawan," potong Hayam Wuruk cepat sesaat sebelum Sri Sudewi menyebut gelar pria itu.

"Bukankah hal itu menyalahi aturan, Hayam? Kita sudah berpegang teguh pada adat yang mengharuskan mempelai pria mendatangi mempelai wanita. Jika dirimu mengadakan pernikahan di Majapahit, hal itu sama saja seperti dirimu yang mengabaikan nilai – nilai adat para leluhur kita," terang Sri Sudewi sembari berusaha sekeras mungkin 'tuk tak menaikkan nada suaranya pada Hayam Wuruk.

Hah.

Hayam Wuruk menghela nafasnya dengan kasar. Pria itu kemudian mengalihkan pandangannya dari Sri Sudewi. Jari jempol serta jari telunjuk milik sang Penguasa Majapahit itu terulur 'tuk memijat pangkal hidungnya yang terasa sedikit berdenyut.

Gestur Hayam Wuruk tersebut berhasil mengusik rasa iba di dalam diri Sri Sudewi. Wanita itu tau betul jika menjadi seorang penguasa bukanlah perkara yang mudah. Banyak hal yang harus dikorbankan.

Dengan gerakan pelan, Sri Sudewi bangkit dari tempat duduknya, kedua kaki jenjangnya bergerak mendekati Hayam Wuruk yang kini terlihat begitu frustasi. Tanpa mengatakan apapun, Sri Sudewi mengulurkan kedua tangannya 'tuk memijat lembut kepala Hayam Wuruk.

"Aku tau jika semuanya tak akan terasa mudah,"

Ucapan Sri Sudewi tersebut berhasil mendoktrin Hayam Wuruk 'tuk mendongakkan wajah tampannya dan menatap wajah Sri Sudewi.

"Meski menyalahi aturan yang ada. Namun, aku yakin jika keputusan yang Hayam tetapkan adalah keputusan yang terbaik," lanjut Sri Sudewi lagi, kali ini dengan seutas senyum yang menghiasi wajahnya. Seutas senyum yang berhasil menggelitik bibir Hayam 'tuk tersenyum juga.

"Terimakasih banyak karena sudah percaya pada setiap keputusanku, Dewi," ucap Hayam Wuruk tulus yang dibalas dengan sebuah anggukan oleh Sri Sudewi.

Hayam Wuruk menghela nafas lega, pria itu menutup kedua netranya dan mencoba 'tuk menikmati pijatan lembut Sri Sudewi pada kepalanya yang memang terasa sangat berat.

"Bagaimana hubunganmu dengan Arya? 'Ku dengar, beberapa hari yang lalu pria itu mengirimkan surat untukmu," ucap Hayam Wuruk dengan kedua netranya yang masih senantiasa tertutup.

"Hubunganku dengan Arya, baik. Di suratnya, Arya bercerita tentang bagaimana muaknya ia dengan darah manusia, sekalipun darah itu milik pemberontak,"

"Pria yang payah,"

Tuk!

Sri Sudewi menyentil pelan puncak kepala Hayam Wuruk ketika sebuah ejekan keluar dari bibir pria itu. Sentilan pelan itu berhasil mengundang tawa ringan dari Hayam Wuruk, berbeda dengan Sri Sudewi yang saat ini tengah mengerucutkan bibirnya.

"Tak sanggup membunuh pemberontak, bukan berarti bahwa Arya adalah pria yang payah. Ia memiliki rasa kemanusiaan yang ting---

"Lalu? Kau hendak mengatakan bahwa aku tak memiliki rasa kemanusiaan?" potong Hayam Wuruk seraya membuka kedua netranya yang sedari tadi tertutup. Kedua netra itu melemparkan tatapan sengit kepada Sri Sudewi.

"Eumh.... Iya!"

"Hei!" seru Hayam Wuruk tak setuju dan di tengah – tengah seruan itu, tawa renyah menguar dari bibir Sri Sudewi.

Merasa gemas dengan tingkah Sri Sudewi, kedua tangan kekar Hayam Wuruk terulur 'tuk meraih sisi pinggang ramping Sri Sudewi.

"Aakh!"

Sri Sudewi memekik ringan saat ia merasakan tubuhnya melayang. Hanya butuh waktu seperkian detik saja bagi Hayam Wuruk 'tuk memanggul tubuh wanita itu di atas bahu kekarnya.

Brugh!

Rasa – rasa, Hayam Wuruk menjatuhkan tubuh Sri Sudewi ke atas tempat tidur. Tanpa memberikan Sri Sudewi kesempatan 'tuk melarikan diri, kedua tangan kekar milik Hayam Wuruk telah terulur untuk menggelitik ringan sisi – sisi tubuh Sri Sudewi. Tawa geli yang keluar dari mulut Sri Sudewi berhasil menggelitik bibir Hayam Wuruk 'tuk mengeluarkan sebuah kekehan yang tak kalah geli juga.

"Sudah! Sudah! Aaakh! Hentikan!" teriak Sri Sudewi heboh yang tentu saja tidak dihiraukan oleh Hayam Wuruk.

Setelah puas membuat tubuh Sri Sudewi lemas akibat tertawa heboh, akhirnya Hayam Wuruk menghentikan gelitikan ringannya pada tubuh sepupu yang sangat dikasihinya itu. Melihat Sri Sudewi yang menarik nafas panjang – panjang dengan posisi berbaring terlentang, Hayam Wuruk pun tergoda 'tuk tidur tepat disamping wanita itu.

"Setelah kita menikah nanti... Kita tak akan pernah seperti ini lagi, Dewi," ucap Hayam Wuruk sembari menolehkan wajahnya 'tuk menatap wajah ayu Sri Sudewi yang berada tepat disampingnya. Ucapan yang terlontar dari bibir Hayam Wuruk itu hanya dibalas dengan seutas senyum kecil dari Sri Sudewi.

"Meskipun begitu, aku berharap jika anak – anak kita tak akan terasa asing," lanjut Hayam Wuruk lagi yang berhasil mencuri atensi Sri Sudewi.

"Kau berpikir terlalu jauh, Hayam. Menikah saja belum, bagaimana bisa kau memikirkan anak?" tanya Sri Sudewi dengan bibirnya yang telah berkedut – kedut geli.

"Akan lebih baik jika kita memiliki rencana jangka panjang, Dewi," ucap Hayam Wuruk dengan wajah bijak yang terlalu dibuat – buat, wajah yang berhasil mendorong Sri Sudewi 'tuk tersenyum lebar.

"Bagaimana kalau kita menikahkan anak – anak kita nantinya? Setidaknya, dengan begitu... kita dapat memiliki banyak waktu bersama. Rasanya, aku tak rela jika kau harus meninggalkan tanah Majapahit dan mengikuti Arya ke tanah Bali," lanjut Hayam Wuruk lagi yang terdengar seperti sebuah gerutuan.

Sri Sudewi tertawa kecil. Wanita itu kemudian berbaring miring dan menatap wajah Hayam Wuruk lamat – lamat. Entah dorongan yang datang darimana, jari – jemari lentik milik Sri Sudewi bergerak mengusap lembut surai hitam legam milik Hayam Wuruk, menghantarkan rasa nyaman yang begitu luar biasa kepada Sang Penguasa Majapahit itu.

"Kau sudah memiliki masa kecilku, masa remaja dan setengah masa dewasaku. Tidak 'kah itu cukup untukmu Hayam?" tanya Sri Sudewi lamat – lamat.

"Jika aku menjawab tidak, akankah aku terdengar egois untukmu, Dewi?"


.


Didn't expect, masih banyak yang nunggu dan baca cerita ini! Thank you so much Luvs! I wish I can hug all of you!

Karena part sebelumnya nembus 50 vote, update kita percepat ya! Yeyy, kalau part ini nembus juga, pasti akan lebih cepat updatenya! Terimakasih untuk waktunya!

BubatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang