50. Dewi, Terimakasih

706 83 6
                                    

Hampa, rasa itulah yang menghantui Hayam Wuruk selama beberapa hari belakangan ini. Kedua netranya hanya mampu menatap kosong lukisan wajah Dyah Pitaloka yang masih tergantung rapi pada dinding kamar tidurnya. Setiap malam, Hayam Wuruk selalu mendengar sumpah serapah Dyah Pitaloka, setiap kali Hayam Wuruk memejamkan matanya, pria itu selalu terbayang – bayang wajah Dyah Pitaloka yang dipenuhi dengan air mata.

Untuk kali pertamanya dalam hidup, Hayam Wuruk benar – benar mengabaikan tugasnya sebagai seorang Raja dan pria itu juga tak mendelegasikan tugasnya kepada siapapun. Kini, entah siapa yang sedang menjalankan roda pemerintahan Kerajaan Majapahit, apakah ia Mahapatih Gajah Mada? Sungguh, Hayam Wuruk tak ingin tau.

Dulu, Hayam Wuruk berpikir bahwa kehidupan dirinya sebagai seorang pria biasa tak akan pernah tercampur adukkan dengan kehidupannya sebagai seorang Raja. Akan tetapi, kematian Dyah Pitaloka benar – benar menampar Hayam Wuruk.

Jika tau akhirnya akan seperti ini, apakah sejak awal seharusnya Hayam Wuruk menjadikan pernikahan ini sebagai tanda penaklukan Kerajaan Sunda? Dengan begitu, Dyah Pitaloka pasti masih berada di sisinya saat ini. Tetapi, bagaimana jika nanti Dyah Pitaloka membenci dirinya? Tidak, seharusnya sejak awal Hayam Wuruk tak perlu menatap lukisan wajah Dyah Pitaloka dan jatuh cinta pandangan pertama kepada perempuan itu, dengan begitu semuanya pasti akan baik – baik saja.

Ya, seharusnya seperti itu. Seharusnya, seharusnya, seharusnya.

Tanpa bisa dikontrol, kedua tangan kekar Hayam Wuruk mulai bergerak untuk meremas rambutnya sendiri, berharap ia bisa menghentikan kalimat – kalimat keputusasaan yang tengah memenuhi kepalanya.

Dugh! Dugh! Dugh!

Hayam Wuruk memukul kepalanya yang terasa semakin penuh dan semakin berat, banyak sekali penyesalan yang terpatri di dalam kepala itu.

Dugh! Dugh! Bub!

"Sssh!"

Hayam Wuruk tersentak, kepalan tangannya yang sedari tadi mendarat tepat di atas tempurung kepalanya, kini terasa mendarat di sebuah punggung tangan yang lembut. Dengan gerakan cepat, Hayam Wuruk mendongakkan wajahnya dan ia mendapati Sri Sudewi yang tengah melemparkan senyuman tipisnya kepada Hayam Wuruk.

"Jangan melukai dirimu sendiri, Hayam," ucap Sri Sudewi lembut seraya mengusap pelan puncak kepala Hayam Wuruk, meskipun pelan, usapan itu nyatanya mampu meredam segala keributan di dalam kepala Hayam Wuruk.

Ah... Sri Sudewinya.

"Aku membawakanmu urap, kita akan makan ini bersama – sama," ajak Sri Sudewi sembari meletakkan sebuah piring yang ada di atas tangannya pada sebuah meja yang berada tepat di hadapan Hayam Wuruk.

Dengan telaten Sri Sudewi menjumput urap yang kaya akan sayur – sayuran itu menggunakan tangannya, Sri Sudewi mengarahkan tangannya ke hadapan mulut Hayam Wuruk dan Hayam Wuruk menyambut urap itu dengan membuka mulutnya. Senyum terpatri di wajah Sri Sudewi, akhirnya Hayam Wuruk tak menolak makan lagi.

"Apa kau ingat jika dulu kau sering mengambil urap diam – diam dari ruang dapur istana? Para pelayan yang berada disana selalu heran karena urapnya habis sebelum disajikan dan ketika mereka tau bahwa kau yang mengambilnya, mereka hanya diam dan menganggap bahwa hal itu lumrah untuk seorang anak lelaki yang sedang dalam proses pertumbuhan. Padahal kita memakannya diam – diam di kamarku," terang Sri Sudewi dengan senyum cerah yang terpatri di wajah perempuan itu, tangannya tak berhenti bergerak untuk menyuapi Hayam Wuruk dengan urap yang telah dibuatnya dengan sepenuh hati.

"Ternyata dulu aku sangat menyedihkan ya? Ayahku selalu saja lupa membawaku ke kegiatan makan siang mereka, aku selalu menangis karena kelaparan di kamar," lanjut Sri Sudewi sembari menggelengkan kepalanya kecil dan tertawa lirih.

BubatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang