8. Omong Kosong

1K 156 4
                                    

Kedua netra hitam milik Sri Sudewi menatap lamat – lamat sosok seorang wanita paruh baya yang tengah menari dengan begitu gemulainya tepat di hadapan Sri Sudewi. Untuk beberapa saat, Sri Sudewi melupakan rasa kesalnya pada Indudewi yang telah dengan sesuka hatinya mengirim Sri Sudewi seorang guru tari.

"Anda hanya perlu mengikuti alunan musik, Putri. Anda tak perlu harus menciptakan gerakan – gerakan sulit, karena sesungguhnya, keindahan akan tercapai saat keselarasan tercapai. Anda hanya perlu menari sesuai dengan hati anda dan sesuai dengan alunan musik yang bergema di dalam diri anda, Putri," ucap wanita paruh baya itu, guru tari Sri Sudewi, sembari melemparkan tatapan datarnya kepada Sri Sudewi.

Tatapan datar itu berhasil membuat Sri Sudewi terkesiap, sedetik kemudian, Sri Sudewi menganggukkan kepalanya dengan patuh. Meskipun Sri Sudewi tak tertarik untuk belajar menari, namun wanita itu tetap cukup sadar diri akan posisinya. Di istana ini, Sri Sudewi tak lebih dari seorang anak selir, ia harus benar – benar menjaga sikapnya.

"Kalau begitu, menarilah!"

Sri Sudewi mengerjapkan matanya beberapa kali, sungguh, ia tak tau ingin melakukan apa!

Dengan gerakan yang begitu kaku, Sri Sudewi menarik ujung – ujung selendang merah yang menggantung manis di leher jenjangnya menggunakan jari – jemari lentiknya. Suara kendang yang ditabuh lembut semakin membuat Sri Sudewi merasa gugup.

Sri Sudewi memejamkan kedua netra hitamnya, ia mulai bermanifestasi pada dirinya sendiri, mengatakan bahwa semuanya akan baik – baik saja. Wanita muda itu mulai menarikan gerakan asal, ia benar – benar menelan bulat – bulat apa yang dikatakan oleh guru penarinya itu.

Aku hanya perlu mengikuti alunan musik. Aku hanya perlu mengikuti alunan musik. Aku hanya perlu mengikuti alunan mus---

"Berhenti!"

Deg.

Tubuh Sri Sudewi menegang, kedua netra hitamnya yang sedari tadi terpejam rapat langsung terbuka seketika. Tepat dihadapannya, sang guru penari tengah menatapnya dengan tatapan nyalang, tatapan yang seharusnya tak ditujukan oleh kaum non-bangsawan kepada kaum bangsawan, namun sayang, Sri Sudewi bukanlah kaum bangsawan asli Majapahit.

Apa yang diharapkan oleh Sri Sudewi? Sebuah hormat dan rasa sopan dari rakyatnya?

"Apa anda tidak mendengarkan saya sedari tadi, Putri? Apa saya terlihat seperti seorang yang tak berguna disini, hingga apapun yang saya ucapkan tak melekat di dalam kepala anda?"

Sri Sudewi menundukkan kepalanya dalam – dalam. Ia tak berani melakukan apapun kecuali saling menautkan kedua tangannya yang terasa begitu dingin. Baiklah, kini Sri Sudewi menarik ucapannya, ia sangat menyesali kedatangan guru penari ini ke dalam kamarnya!

"Kini saya tau mengapa rakyat lebih menyukai Putri Indudewi dibandingkan anda! Dilihat dari aspek manapun, anda tak akan pernah menyaingi Putri Indudewi,"

Nyut!

Rasanya, seperti ada sebuah belati tak kasat mata yang tiba – tiba menusuk ulu hati Sri Sudewi. Wanita muda yang baru saja mencoba untuk mengikuti kehidupan para Putri bangsawan itu merasakan rasa yang teramat sesak di dalam hatinya, bahkan sangking sesaknya, ia merasakan kedua netra hitamnya telah berkaca – kaca.

"Maafkan saya, Guru," ucap Sri Sudewi dengan suaranya yang terdengar begitu serak.

"Saya tak membutuhkan permintaan maaf dari anda, Putri. Saya hanya membutuhkan sebuah tindakan. Tak ada gunanya hanya menunduk dan menyesali diri, anda harus dapat berjuang untuk diri anda sendiri," ucap wanita paruh baya itu dengan nada bicara yang terdengar tak begitu mengenakkan di kedua gendang teling Sri Sudewi.

BubatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang