52. Posisi yang Sulit

821 77 15
                                    

"Besok, saya akan menyelenggarakan pengadilan terbuka untuk mengadili para penjahat Perang Bubat,"

Kalimat penuh ketegasan yang keluar dari bibir Hayam Wuruk berhasil menciptakan atmosfer ketegangan diantara tetua Kerajaan Majapahit yang kini tengah duduk bersama pria itu. Tuan Wijayarajasa nampak menelan ludahnya dengan kasar, sedangkan Mahapatih Gajah Mada terlihat begitu tenang dengan wajahnya yang terlihat tak berekspresi sama sekali.

"Saya setuju. Adili 'lah para penjahat itu sesuai dengan motif mereka, barangkali mereka melakukan penyerangan untuk mempertahankan hegemoni Majapahit," ucap Mahapatih Gajah Mada sembari melemparkan tatapan lekatnya pada Hayam Wuruk.

Grit.

Hayam Wuruk mengetatkan rahangnya, sebesar apapun posisi yang dimiliki oleh pria itu di Kerajaan Majapahit, ia akan selalu merasa kecil di depan Mahapatih Gajah Mada! Mahapatih yang benar – benar telah berjuang untuk memperlebar serta menjaga kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Sebisa mungkin Hayam Wuruk mengatur emosinya agar ledakan amarah tak lagi keluar dari dalam diri pria itu. Sungguh, Hayam Wuruk tak ingin kembali kehilangan kontrol akan kewarasannya sendiri. Untuk bisa duduk bersama para tetua sembari membicarakan kejadian Bubat seperti ini pun, sudah tak terhitung berapa kali Hayam Wuruk menyakiti dirinya sendiri serta orang – orang di sekitarnya.

"Lalu... bagaimana dengan rombongan dari kerajaan lain yang saat ini telah mendekati Kerajaan Majapahit, Paduka?" tanya Tuan Wijayarajasa untuk menetralkan ketegangan yang tengah meliputi Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada.

"Rombongan kerajaan lain?" ulang Hayam Wuruk sembari sedikit mengerutkan alisnya.

"Benar, Paduka. Untuk menghadiri pesta pernikahan Paduka dengan.... Maaf, mendiang Putri Sunda.... Pihak Kerajaan Majapahit telah menyebar undangan sejak jauh – jauh hari kepada berbagai kerajaan. Informasi terbaru yang saya dapatkan menyebutkan bahwa perwakilan Kerajaan China sudah sangat dekat dari Majapahit. Bukankah sebuah tindakan yang memalukan jika membiarkan para perwakilan tersebut datang dan kembali ke kerajaan mereka tanpa mendapatkan apapun?" jelas Tuan Wijayarajasa.

Bisik – bisik mulai berdatangan dari para tetua lainnya yang berada di dalam ruangan itu. Rangkaian kalimat yang dilontarkan oleh Tuan Wijayarajasa telah berhasil menyadarakan mereka tentang para tamu undangan dari pesta pernikahan Hayam Wuruk.

"Lalu, apa yang anda inginkan, Tuan Wijayarajasa? Anda ingin saya menikahi mayat Putri Sunda?" tanya Hayam Wuruk sarkas dengan nada bicaranya yang terdengar begitu dingin, perasaan pria itu kembali terombang – ambing ketika ia mendengar kata 'Putri Sunda'. Rasanya, Hayam Wuruk belum benar – benar sembuh dari luka itu.

"Tidak, Paduka. Saya tidak mungkin selancang itu!" seru Tuan Wijayarajasa dengan cepat.

"Paduka, apa yang telah dikatakan oleh Tuan Wijayarajasa sebelumnya sudah sangat tepat, sepertinya anda yang salah menangkap maknanya. Saat ini, kita juga harus mempertimbangan hubungan diplomatik yang mungkin akan sedikit merenggang jika kita tak menyambut para tamu yang telah datang dari tempat yang jauh dengan sebuah pernikahan. Mau tidak mau, kita memang harus melaksanakan sebuah pernikahan untuk anda Paduka," ucap salah satu tetua yang ada disana.

Rahang Hayam Wuruk bergemeletuk keras, kedua tangannya mengepal erat, bahkan sangking eratnya, urat – urat nadi di atas punggung tangan pria itu telah menonjol dengan begitu tegasnya.

"Anda juga telah berada di usia yang begitu matang, Paduka, kesempatan untuk mengadakan pernikahan disaat – saat seperti ini tidak boleh kita lewatkan. Jika kita kekeuh membatalkan pernikahan saat ini dan menunda pernikahan di masa depan, saya tak yakin apakah masih ada tamu undangan dari kerajaan lain yang bermurah hati untuk mendatangi pesta pernikahan tersebut,"

BubatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang