17. Tamu Tak Diundang

803 123 8
                                    

Dengan senyuman indah yang tak pernah luntur dari wajah manisnya, Sri Sudewi mulai menggerakkan pena bulunya di atas kertas papirus yang terasa begitu lembut. Wanita itu terlihat begitu menikmati waktunya dan hal ini tak lepas dari peran Arya yang telah berhasil menciptakan sebuah kebahagiaan di dalam benak Sri Sudewi.

Biasanya, rasa bahagia yang dirasakan oleh Sri Sudewi selalu cepat terhapus dari memori wanita itu, namun entah kenapa, rasa bahagia yang didapatkannya bersama Arya tadi malam, seolah – olah tak ingin terhapus dari ingatannya. Kejadian malam itu selalu berputar di dalam otak Sri Sudewi, kejadian malam itu selalu berhasil mengundang bibir Sri Sudewi 'tuk tersenyum bahagia.

"Salam, Putri. Seseorang bernama Arya hendak meminta izin untuk memasuki kamar anda,"

Mendengar nama Arya terucap dari bibir pengawal yang bertugas di depan kamar Sri Sudewi, rasa bahagia semakin bergelora di dalam benak Sri Sudewi, namun rasa bahagia itu juga diiringi oleh rasa binggung.

"Izinkan ia masuk," ucap Sri Sudewi seraya mengangkat kepalanya dan memberikan senyuman tipisnya kepada pengawal itu.

Pengawal tersebut menganggukkan kepalanya dan menarik langkah 'tuk meninggalkan kamar sang Putri. Tak perlu menunggu lama, kini eksistensi pengawal itu telah digantikan oleh sosok Arya. Dengan gerakan yang begitu santai, Arya melangkahkan kedua kakinya masuk ke dalam kamar Sri Sudewi sembari menampilkan senyumannya.

"Apakah kedatangan tamu tak diundang ini telah mengusik pekerjaan Putri?"

"Menurutmu?" tanya Sri Sudewi kembali sembari mengangkat tinggi – tinggi kedua alisnya.

"Tentu saja tidak," jawab Arya sembari mengendikkan bahunya dengan gerakan tak peduli.

Sri Sudewi hanya bisa menggelengkan kepalanya ketika mendapati tingkah Arya tersebut, nampaknya Sri Sudewi harus membiasakan dirinya untuk menghadapi sikap tak sopan milik Arya. Tanpa memperdulikan Arya yang sedang meneliti setiap sudut kamarnya dengan penasaran, Sri Sudewi kembali melanjutkan aktivitasnya yang terhenti karena kedatangan Arya.

"Oh, apakah kau suka menulis kakawin, Putri?"

Deg.

Tubuh Sri Sudewi tersentak ketika ia mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Arya tepat disamping telinganya. Dengan gerakan refleks,Sri Sudewi menolehkan pandangannya menuju ke sumber suara itu, namun tak disangka – sangka, ujung hidung mancung milik Sri Sudewi malah menyentuh ujung hidung mancung milik Arya.

Glek.

Kedua netra hitam Sri Sudewi membola dengan begitu sempurna. Ini terlalu dekat! Sri Sudewi tak pernah sedekat ini kepada pria manapun, selain Hayam Wuruk tentunya!

"Putri?" tanya Arya dengan suaranya yang terdengar begitu dalam.

Bulu kuduk Sri Sudewi meremang seketika, sebuah perasaan aneh tiba – tiba terselip di dalam hatinya, perasaan yang berhasil membuat kedua pipinya bersemu merah. Sebelum Arya menyadari hal itu, Sri Sudewi dengan cepat memalingkan wajahnya dari pandangan Arya, wanita itu menundukkan kepalanya dalam – dalam agar surai hitamnya bergerak jatuh 'tuk menutupi wajahnya yang telah memerah bak tomat di taman kerajaan.

"Eumh... ya.... seperti itulah," jawab Sri Sudewi sembari berusaha 'tuk menekan seluruh rasa gugup yang tengah.

"Engkau mengingatkanku kepada ibuku, Putri. Sepanjang hidupnya, ia selalu menulis kakawin untuk kekasih hatinya, namun sayang... ketika ia merasa bahwa hidupnya sudah tak lama lagi, ia memintaku untuk membakar kakawin – kakawin itu," ungkap Arya sembari tetap mempertahankan posisinya di samping Sri Sudewi.

Sungguh, Sri Sudewi tak tau ingin memberikan tanggapan seperti apa untuk menimpali ucapan Arya tersebut. Meskipun saat ini mereka telah berteman, namun hal itu tak dapat menampik fakta bahwa mereka hanyalah orang asing yang baru saja bertemu beberapa kali.

BubatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang