Pagi-pagi sekali Bang Rendra membangunkanku. Dia langsung berkemas, dan mengajakku keluar dari penginapan. Aku gak tahu kemana dia akan membawaku. Tapi yang pasti, dia bilang --- tempat yang kami tuju itu adalah tempat yang sangat asri, dingin, jauh dari hingar bingar perkotaan, dan --- kami bisa memelihara hewan ternak apapun yang kami mau.
"Kamu kenapa?"
Aku makin mengeratkan peganganku pada lenganku. "Dingin banget sih, bang! Nafasku aja sampai keluar asep kayak gini!"
Bang Rendra tertawa renyah. Kemudian dia berhenti di sebuah pohon beringin besar, yang kukira umur pohon itu sudah sangatlah tua.
"Pohon ini..."
Aku lantas berbisik. "Pasti ada penunggunya, bang! Hiii...!"
Bang Rendra menatapku. Kemudian dia menghela pelan. "Kita harus jalan ke arah kiri atau --- lurus?"
Mataku memicing. "Lurus, bang! Mengikuti jalan setapak. Hheehee.."
Bang Rendra tidak mendengarkanku. Dia berjalan duluan, dengan mengambil jalan kiri dengan pepohonan besar yang jaraknya begitu rapat.
Aku pikir, suasana di pedesaan ini sangat seram. Karena selain pohonnya besar-besar, suasananya juga sangat sepi.
Tapi pikiranku salah. Sebab, begitu keluar dari hutan bambu, aku melihat rumah-rumah asli penduduk desa yang posisinya itu tidak terlalu berdekatan dan berjauhan.
"Sungainya jernih banget...!"
Aku berjalan di depan dengan penuh semangat. Bagaimana tidak...? Pemandangan alam yang indah ini --- ditambah dengan orang-orangnya yang sangat ramah, membuatku sampai lupa.
"Azka..!"
Aku menoleh ke belakang. Kulihat Bang Rendra ternyata berada beberapa puluh meter di belakangku. Dia sedang berdiri, sambil jempol kanannya menunjuk ke arah kanan.
"Kamu mau kemana?"
"Mau kesana..." aku menunjuk ke rumah yang ada di atas bukit itu.
Bang Rendra menjitak kepalaku. "Sama rumah nenek sendiri lupa?"
"Rumah nenek ---" mataku menyipit. Ada tiga rumah di arah jalan yang ditunjuk Bang Rendra sebelumnya. "Ohhh iya-iya!"
"Iya, apaan...?"
"Pasti rumahnya yang kedua itukan?!"
Bang Rendra menjitakku lagi. "Bahkan kamu lupa dengan nenekmu sendiri?"
Mataku menyipit lagi. Ada sesosok nenek tua yang sedang menyapu halaman, pada rumah terakhir.
Kenapa Bang Rendra gak bilang, kalau dia akan ke rumah neneknya...?
"Assalamualaikum.."
Nenek itu lantas menegakkan kepalanya. Matanya yang kelabu, menatap pada kami berdua. Bibirnya terlihat bergerak pelan, seperti akan mengatakan sesuatu.
"Rendra sama Azka pulang, nek."
"Waalaikumsalam."
Mata nenek tua itu berkaca-kaca. Terlihat seperti ada guratan sedih mendalam, pada wajahnya.
"Masuklah."
"Nenek...!" Aku raih tangannya, lalu aku cium.
"Cucu nenek sudah besar sekarang..."
"Iya dong, nenek. Masa aku mau kecil terus?"
Nenek itu tersenyum. Senyum teramat tulus, yang pernah aku lihat dari seseorang.
"Kalian sudah makan?"
"Tadi aku sama Bang Rendra makan soto, nek."
"Kakek..."
KAMU SEDANG MEMBACA
-VANO-
Teen FictionHai, namaku Alvino. Dan ini adalah kisahku... :) FYI : Cerita ini bersifat fiktif. Semua nama tokoh, tempat, waktu, kejadian, serta organisasi merupakan imajinasi penulis.