46

290 36 1
                                    

Aku membantu nenek mengupas singkong dan ubi. Meskipu kabutnya tebal, dan udara sangat dingin, tapi kalau di dekat tungku gini, hawanya kan jadi hangat.

"Nek, nanti aku sama Mas Rendra mau beli sapi."

"Sapi untuk apa, cu?"

"Buat ternak, nek. Nanti kan sapinya bisa beranak, terus makin banyak."

"Kamu gak inget, dulu itu kamu pernah nyuri uang kakek dan nenek buat kurban?"

Sontak aku noleh ke Mas Rendra, yang baru aja selesai mandi. Kutatap seperti itu, Mas Rendra seperti salah tingkah.

"Sudah, kalian jangan suka mengungkit yang lalu-lalu."

Mas Rendra duduk di sebelahku. "Maaf ya, Vin. Mas gak bermaksud..."

"Emang senakal itu ya adeknya, mas?"

"Mas sampai nyerah dengannya, Vin." Mas Rendra menatap kedua telapak tangannya. "Hampir setiap waktu, kedua tangan ini mas gunakan untuk memukulnya."

Jika Mas Rendra selalu memukul adiknya, tapi denganku, dia selalu menggunakannya untuk memeluk, dan membelai kepalaku.

"Nenek mau lihat keadaan kakek dulu."

"Emang kakek kenapa, nek?" tanyaku.

"Cuma masuk angin biasa."

Pantes aja, tadi kakek gak sholat subuh berjamaah di masjid. Aku aja yang masih muda gini, gak tahan sama udara dinginnya. Apalagi kakek yang udah tua renta..?

"Mas, nanti jadi beli sapi?"

"Beli sapi itu mahal, Vin."

"Berapa?"

"Tergantung besar dan umurnya."

"Sepuluh juta dapet gak ya, mas?"

Mas Rendra mengambil alih pisau yang lagi kupakai untuk mengupas kulit singkong.

"Tergantung, Vin."

"Yaudah, nanti tolong jualin jam tanganku."

Mas Rendra malah tertawa seolah meledek. "Memangnya jam tangan seperti itu laku berapa?"

"Ini hadiah dari kakekku. Harganya kalo gak salah sekarang itu --- sekitar, tiga ratusan juta."

Mata Mas Rendra membelalak. "Untung kamu gak dijambret."

"Kalo jambretnya kayak Mas Rendra, aku ikhlas kok.."

Mas Rendra memegang kepalaku. Menarikku, lalu mencium dahiku. "Kalau mas, daripada jambret jam tangannya -- mending bawa kamu pergi sejauh mungkin."

Sambil ngegoreng singkong, aku jadi inget kejadian waktu di sungai kemarin. Aku masih agak syok dan gak percaya aja, kalo ternyata Adin dan teman-temannya selalu ke sungai itu untuk melakukan sebuah perbuatan mesum yang konyol.

Awalnya sih, aku juga pura-pura jijik dan mau muntah gitu. Supaya mereka gak ada yang curiga. Tapi yang namanya cowok desa, emang pada polos-polos banget. Mau aja lagi, aku isepin satu satu kontolnya.

"Kemaren gimana? Seru?"

"Seru banget, mas."

"Azka itu gak pernah suka sama Adin. Bukan cuma Adin, tapi dia --- hampir semua teman-temannya di desa ini, gak ada yang mau berteman dengannya."

"Berarti Azka udah brengsek dari lahir ya, mas?"

"Entahlah."

Aku membuatkan segelas kopi untuk Mas Rendra. Dia menyesapnya, dan mengatakan bahwa kopi buatanku sangat enak.

-VANO-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang