23

481 58 4
                                    

Rumahnya Arfan, ternyata gak kalah besar dari rumahnya Jason! Aku sampai bingung, kenapa mereka itu suka banget punya rumah besar, sementara penghuninya aja cuma sedikit.

"Mami --- bunda..., aku pulang sama Vano..!"

Aku terus memperhatikan lantai ruang tamu Arfan yang terbuat dari marmer mengkilat. Aku cuma takut, jejak sepatu dekilku ini, sampai membuat lantainya kotor.

"Selamat sore ---"

"Selamat sore, tante."

"Vano, baru pulang kerja?"

"Iya, mi. Tadinya Vano mau pergi sama temennya, tapi langsung aku tarik paksa aja ke mobil."

"Berarti pemaksaan. Arfan gak boleh begitu..."

"Kata temennya Vano gak papa kok, bunda."

"Arfan, kamu ajak Vano ke kamarmu dulu. Siapa tahu Vano mau istirahat dulu." kata Tante Meysa ramah.

"Ayo, Van..!"

"Vano-nya jangan diajak yang macem-macem ya, Fan."

"Mas Reno, apaan sih...!"

Aku tertawa geli dalam hati. Kayaknya, Mas Reno itu sama jahilnya sama Mas Rio. Cuma bedanya, Mas Reno itu pembawaannya kalem dan keliatan kayak orang terpelajar. Sedangkan Mas Rio --- grasak-grusuk, dan benar-benar sembrono.

"Arfan, ini kamar apa lapangan upacara?"

"Kamu bisa aja, Van."

"Emangnya kamu gak takut, tidur sendirian?"

"Kalo kamu mau nemenin, aku malah seneng banget..."

"Kamu tidur disini, aku di ujung sana. Nanti, kita bicaranya pake telepon kaleng yang pakai benang itu.."

"Telepon benang? Dulu aku juga sering main itu sama Mas Reno."

"Seru kan ya?"

"Seru banget, Van!" Arfan tertawa lebar. Dia memegang pipiku, kemudian kami berdua diam terpaku. "Kamu ---" Arfan berbalik menuju lemarinya. "Ini handuk dan baju ganti."

"Maaf ya Ar, kalo aku bau. Hhheehee.."

"Enggak kok, Van."

Aku masuk ke kamar mandinya Arfan. Untuk ukuran kamar mandi, ini bisa dibilang lebih luas dari kosannya Frans. Bahkan di lantai area wastafel itu, dilapisi sama karpet tebal yang pastinya berharga mahal.

Di wastafelnya, ada banyak skin care milik Arfan. Pokoknya semua merek-mereknya itu sangat asing di kepalaku.

Tok.. Tok..

"Ya...?"

"Kalo kamu kedinginan, suhunya bisa diatur kok."

"Enggak kok, Ar."

Waktu aku nginep di rumahnya David, dia meminjamkanku kaos tanpa lengan. Dan sekarang, Arfan juga meminjamkanku kaos yang sama. Hanya saja --- ukurannya sangat pas dibadanku kali ini.

Kulihat Arfan lagi bengong, sambil duduk menghadap meja belajarnya. Aku berdehem pelan, supaya dia gak kaget.

"Lohh, itu kan..."

Senyum Arfan mengembang. "Mas Reno yang ngambil gambar ini."

"Iya Arfan, tapi ---"

"Kamu ternyata bisa melukis juga ya, Van."

Jadi, waktu aku lagi duduk-duduk sendiri di kafe galeri, aku iseng melukis segala macam obyek. Termasuk -- aku coba untuk melukis wajah Arfan.

"Itu cuma coretan biasa, Ar. Gak usah dibingkai segala."

-VANO-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang