40

307 40 0
                                    

Semua baju yang ada di kontrakkan ini, baunya apek. Baik yang masih digantung, ataupun sudah disetrika dan ditaruh di dalam lemari --- pokoknya gak ada sedikitpun bau-bauan sabun detergen.

Cklek.

"Loh, kok balik lagi bang?"

Wajah Bang Rendra kelihatan gelisah. Dia buru-buru memasukkan baju-baju ke dalam tas ransel.

"Bang Rendra..."

"Kamu gak usah banyak tanya! Cepat bereskan semua baju dan barang-barang yang bisa dibawa!"

"Iya-iya, bang!" Aku mengikutinya. Pura-pura panik dan cemas.

Setelah semua barang dikemas, Bang Rendra mengajakku menuju toilet.

"Buka pintunya, Rendra!! Kau pikir aku tak tahu kalau kau ada di dalam...!"

"Siapa, bang?"

Bang Rendra gak menjawab. Dia malah membuka skrup di salah satu dinding kamar mandi, yang terhalang oleh seng tua.

"Kamu keluar duluan."

"Ohh, iya bang."

Kalau aku gak hati-hati mungkin aku udah terposok ke dalam got.

"Bang Rendra!"

"Sebentar!" Bang Rendra menuangkan sesuatu dari botol air mineral. Dia berjalan agak merunduk, kemudian berbalik, dan melemparkan korek api gas ke dalam kamar mandi.

Mataku membelalak, saat melihat api yang berkobar dengan dahsyatnya.

"Cepat, naik!"

Aku naik ke dalam taksi tuanya Bang Rendra. Aku melihat ke sekeliling. Semuanya terlihat gelap dan sepi. Hanya truk-truk besar saja yang masih terlihat berlalu lalang.

Bang Rendra langsung tancap gas. Wajahnya yang masih tegang itu, malah membuatnya terlihat tampan. Terlebih, bulir-bulir peluh yang mengalir di lehernya itu, membuat jantungku berdebar.

"Kita turun!"

"Turun, bang?"

Bang Rendra turun terlebih dahulu. Aku gak tahu ini dimana. Tapi, begitu dia mengajakku melewati sebuah lahan kosong dengan semak belukar, aku baru tahu kalau ternyata kami berdua sudah sampai di sebuah terminal.

"Kamu tunggu dulu disini."

"Iya, bang."

Aku menguap beberapa kali. Mataku rasanya lengket dan berair. Padahal tadi itu, aku rencananya udah mau tidur. Tapi tiba-tiba, Bang Rendra balik lagi dan malah ngajakkin aku pergi.

"Ayo, Az."

Aku menurut saja waktu Bang Rendra menarik tanganku. Kami berdua setengah berlari, mengejar bis bertingkat yang sedang parkir di gerbang keluar terminal.

"Malang, mas...?!"

"Iya, pak."

Malang...? Rupanya aku mau diajak pergi ke Malang.

"Wahh, bagus banget bang!"

Bang Rendra mengajakku naik ke lantai atas. Sesuai dengan nomer tiket yang dia beli, bangku kami ada di urutan paling belakang.

"Ada selimut sama bantalnya."

"Kamu laper, Az?"

"Enggak terlalu, bang."

Aku sudah duduk dengan posisi ternyaman. Dengan kaki menyelonjor, aku melihat-lihat pemandangan luar.

"Di Malang, nanti kita ke rumah siapa?" tanyaku.

-VANO-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang