Setahun kemudian...
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..."
"Waalaikumsalam..."
Untuk pertama kalinya, sehabis sholat isya berjamaah aku meminta kepada kakek untuk berbicara sebentar kepada jamaah warga desa yang hadir.
"Sebelumnya aku minta maaf, karena harus menahan bapak dan ibu..."
"Kamu ini mau ngomong apa...?"
Aku melotot ke Mas Rendra. "Sebentar dulu, aku bingung nyusun kata-katanya."
"Mau bagi-bagi kambing gratis ya, mas?" celetuk Samsul.
"Kalau kambing sih gampang. Itu --- hmmm..., waktu itu aku dengar kalau kakek dan beberapa kepala keluarga di desa ini habis ditipu oleh biro tour dan travel, haji dan umroh. Meskipun pelakunya udah berhasil ditangkap, tapi --- kecil kemungkinan kalau uang itu akan dikembalikan."
Aku melihat raut wajah kakek yang sedih. Aku bisa memahami, bagaimana susahnya mencari uang --- mengumpulkannya sedikit demi sedikit --- demi tujuan mulia --- namun kemudian, uangnya itu lenyap hanya dalam sekejapan mata.
"Kakek ---"
Kakek menatap padaku.
"Tahun ini, kakek sama nenek berangkat ya ke tanah suci.."
Mata kakek berkaca-kaca. Meskipun wajahnya tetap kelihatan datar, namun aku tahu sepertinya dalam hati beliau seperti ingin mengatakan sesuatu.
"Maafin aku ya, kek. Gara-gara kemaren aku sakit, jadinya harus tertunda.."
"Bagi kakek, yang terpenting adalah -- bisa melihatmu sembuh dan berkumpul kembali dengan kakek dan nenek..."
"Selain kakek dan nenek, aku sudah menyiapkan kuota sebanyak 100 orang yang akan kuberangkatkan ke tanah suci juga."
"Subhanallah..."
"Allahu Akbar...!"
"Apa, Nak Azka --"
"Mas Alvino, pak. Bukan Azka." ujar Adin.
"Oalahh bapak lupa toh, Din. Habis mereka itu mirip sekali."
"Dari 100 orang itu, aku utamakan bagi mereka yang kemarin habis jadi korban penipuan perusahaan abal-abal itu."
"Nak Alvino, apa nak Alvino benar-benar serius?!"
"Kalau cuma 100 orang sih, sebenarnya gak masalah buat aku, bu. Hheehe.."
Kakek tiba-tiba bangkit. Dia mendekatiku, menepuk pipiku, kemudian memelukku sambil menangis.
"Hanya Gusti Allah yang bisa membalas kebaikanmu..."
"Kakek jangan sedih lagi. Sama sekalian aku titip, kalau nanti kakek disana, jangan lupa doain Mas Rendra supaya jadi menikah dengan gadis pujaannya.."
Aku lihat Mas Rendra lagi mesem-mesem salah tingkah.
"Untuk selanjutnya, insya allah setiap tahunnya nanti aku akan rutin memberangkatkan 10 orang untuk melakukan ibadah umroh."
Akhirnya, aku kesampaian juga buat memberikan sebuah kejutan kecil bagi warga di desa ini. Meskipun aku bukanlah siapa-siapa, tapi aku sangat senang hidup dan tinggal disini.
Selain udaranya yang bersih, pemandangannya yang indah, warga-warganya pun sangat rukun, ramah, dan baik kepadaku.
"Kamu menolak tawaranku..." David berjalan di sisiku.
"Tawaran ---" aku menghela. "Jangan lupa, kekayaan kakekku itu nilainya 5 kali lipat dari kekayaan kakekmu. Kamu pikir aku sudah tidak mampu...?"
"Aku paham, tuan muda..."
KAMU SEDANG MEMBACA
-VANO-
Teen FictionHai, namaku Alvino. Dan ini adalah kisahku... :) FYI : Cerita ini bersifat fiktif. Semua nama tokoh, tempat, waktu, kejadian, serta organisasi merupakan imajinasi penulis.