Sekarang..., aku bingung dengan semua celengan yang ikut kubawa pindahan ini. Mau kuapakan semua uang yang ada di celengan itu...?
"Istirahat bentaran, baru kita jalan agak sorean..."
Hal itu terus yang diributkan sama Mas Rio. Mulai dari perjalanan menuju kosan yang baru tadi, dia udah ribut mau ngajakkin aku jalan ke mall inilah, itulah, makan steak disinilah, ke Kota Tua-lah. Padahal umurnya udah 25, tapi kadang kelakukannya masih kayak abege.
Gak banyak barang yang kita bawa. Tapi tetap aja, barang bawaanku yang paling banyak. Soalnya, aku harus bawa buku kuliah, dan laptop juga.
"Anjrit...!"
Aku noleh ke belakang. Sekarang, dia kenapa lagi...?
Mas Rio bergegas turun. Dia mendekatiku, lalu berbicara dengan suara mendesis.
"Dek, si Agus bilang katanya Gavin ngekos disini juga!"
"Gavin siapa, mas?"
"Kamu inget kan, waktu itu Agus pernah bilang kalo Gavin itu senior barista yang paling tengil!?"
Penghuni sebelah, namanya juga Gavin. Apa mungkin, mereka itu orang yang sama...?
"Enggak-enggak! Bukan itu masalah utamanya...!"
"Terus apa?"
"Dia itu homo, Van!" Mas Rio bicara dengan mata membulat.
Aku menghela pelan. Waktu itu, Mas Rio sama barista lain lagi ngomongin Koko Oliver saat jam istirahat. Mereka ngegosip kalau Koko Oliver itu gay.
Terus, di jam istirahat lain, mereka juga gosipin salah satu waiter, yang katanya simpenan om-om gitu.
Mas Rio nepuk-nepuk pahaku pelan. "Kita --- terutama kamu, harus hati-hati sama dia. Soalnya, yang aku tahu nih ya --- si Gavin itu suka sama cowok yang imut --"
"Umurku 19 tahun, mas. Lagian, aku imut darimana?"
"Putih ---"
Kujulurkan tanganku. "Putih mana, mas?"
"Hheehe..." Mas Rio malah garuk-garuk kepala sambil cengengesan. "Pokoknya kamu harus hati-hati sama dia!"
Aku menghela pelan. "Yang harus hati-hati itu Mas Rio. Kenapa malah aku...?"
"Dih...!" Mas Rio bergidik. "Aku ini masih normal, Van! Seganteng apapun dia, masa iya mau main pedang-pedangan..?"
"Mas Rio barista. Kak Gavin juga barista. Nanti, kalian kerja di outlet dan station yang sama."
Mata Mas Rio membulat. "Bener juga!"
"Jangan sampai ngecewain Bu Nanis, mas. Apalagi nanti kan diawasin langsung sama Koko Oliver."
"Koko...?"
Degh...!
"Koko...?" Mas Rio mengulangnya lagi, dengan sepasang matanya yang menatap intens padaku. "Kamu panggil Pak Oliver --- koko...?"
"Yaa, itu kan panggilanku aja. Soalnya dia itu matanya sipit."
Mas Rio makin merapatkan posisi duduknya ke aku. "Gimana kalo kamu panggil aku, hyung...?"
"Mas -- abang -- kakak -- Kenapa juga harus hyung...?"
"Biar kerenlah, Van."
"Hmmm..."
Mas Rio malah mengang kedua tanganku. "Makan pizza yuk."
"Kalo aku gak salah, tadi aku ngeliat warung nasi sunda deh, mas."
KAMU SEDANG MEMBACA
-VANO-
Teen FictionHai, namaku Alvino. Dan ini adalah kisahku... :) FYI : Cerita ini bersifat fiktif. Semua nama tokoh, tempat, waktu, kejadian, serta organisasi merupakan imajinasi penulis.