Unspoken: Eighteen ― 18

202 37 16
                                    

Berpikir bahwa Sojung mungkin pergi keluar dan tidak berniat mengajaknya, Seokjin akhirnya memutuskan untuk melakukan hal yang sama. Namun, berhubung hari ini adalah hari peringatan kematian Ibunya, dia berpikir kalau pergi bersama kakaknya adalah pilihan terbaik. Seokjin dan Soojin mungkin akan membicarakan kenangan bahagia bersama Ibunya―persis seperti yang selama ini mereka lakukan. Kepergian Ibu mereka adalah luka abadi yang tak akan mungkin sembuh, jadi untuk mengurangi rasa sakitnya, Seokjin dan Soojin bahkan Ayah mereka sepakat untuk tertawa dan bahagia saat hari peringatan kematian Ibu Keluarga Kim tiba.

"Kim Soojin tidak ada di dalam?" Langkah awal dari rencana Seokjin menjadi berantakan karena ternyata kakaknya tidak ada di kamarnya dan sepertinya sudah keluar lebih dulu.

"Iya. Nona Soojin sudah keluar sejak tiga puluh menit lalu," jawab Sekretaris Jang. "Apa anda perlu bantuan, Ketua Kim? Apa anda mau saya menghubunginya atau mencarinya sekarang?"

"Tidak, tidak. Tidak apa-apa," kata Seokjin. "Ini bukan hal yang mendesak, jadi kau tidak perlu melakukannya. Aku akan mengurusnya sendiri. Silakan lanjutkan aktivitasmu di dalam, maaf sempat mengganggu."

"Tidak apa-apa, Ketua Kim." Sekretaris Jang menunjukkan senyumannya sebelum akhirnya pamit untuk melanjutkan aktivitasnya dan menutup pintu kamar. "Kalau begitu, saya tutup pintunya. Semoga hari anda menyenangkan, Ketua Kim."

Seokjin hanya membalasnya dengan senyuman seadanya dan anggukan kepala yang mempersilakan Sekretaris Jang untuk masuk dan menutup pintu. Setelahnya ... Kim Seokjin kehilangan semangat. Dia hanya melipat tangannya dan bersandar pada tembok di samping pintu kamar. Soojin sudah keluar tiga puluh menit lalu, sebentar lagi dia akan kembali―setidaknya, itu adalah harapan Seokjin pagi ini.

Belum lima menit waktu berlalu. Kim Seokjin yang tadinya berdiri bersandar tanpa semangat, mendadak mengangkat lagi kepalanya dan berdiri dengan tegak. Matanya juga semakin tajam ketika dua orang perempuan yang dia kenali, berjalan mendekat ke arahnya.

"Apa yang sedang kau lakukan, Kim Seokjin?" Soojin langsung memukul pundak adiknya untuk menyapa sekaligus menegur Seokjin yang dengan beraninya memberinya tatapan begitu tajam.

Namun, pukulan yang Soojin berikan sepertinya kurang menarik jika dibandingkan dengan Sojung yang langsung pergi meninggalkan mereka berdua dan masuk ke dalam kamarnya. Seokjin benar-benar memerhatikan istrinya, bahkan sampai wanita itu menutup pintu kamar mereka.

Kim Soojin dibuat tambah takjub ketika Seokjin kembali menatapnya dan memberikan tawa yang dia sendiri tidak pahami―namun itu benar-benar menjengkelkan. "Kau mau mati?" Soojin bertanya demikian lantaran sudah tidak tahan dengan sikap adiknya pagi ini.

"Geurae. Sejak kapan kau begitu akrab dengannya?" Seokjin malah menimpali Soojin dengan pertanyaan yang lain. Pria itu tampak sama sekali dengan ancaman kakaknya dan lebih memilih mengemukakan rasa penasarannya.

Soojin benar-benar merasa bahwa ini lucu. Ini masih pagi, tapi Seokjin sudah cukup menguji kesabarannya. Soojin tertawa, lalu bertanya kembali, "Wae? Kau merasa penasaran?"

"Eo. Bagaimana bisa kau dekat dengannya? Apa sebenarnya selama ini kalian saling mengenal dan selalu membicarakanku?"

Soojin meninju dada Seokjin, meski tidak sekeras yang dilakukan orang professional. "Kubunuh kau jika mencurigaiku sekali lagi!"

"Ah, Noona!" Seokjin memegang dadanya yang baru saja ditinju. Mengeluh, karena dia merasa sakit. "Apa kau tahu kalau semenjak kembali ke Korea tangan dan tenagamu menjadi semakin kuat?"

Soojin tertawa, bangga atas dirinya yang dianggap Seokjin semakin kuat. Namun, memilih tak berlama-lama bangga akan hal itu, Soojin menjawab pertanyaan Seokjin dengan jelas dan sesingkat mungkin. "Kami tidak punya waktu untuk membicarakanmu, lalu kami juga tidak sedekat yang kau bayangkan. Ini hanya profesionalitas, hubungan adik dan kakak ipar. Aku kakak iparnya dan dia adik iparku."

UnspokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang