Prolog

8.8K 309 6
                                    

"Sept ini belum di rapihin ya? Saya harus ngasih kamu waktu berapa lagi sih?" Angkasa melemparkan laporan bulanan-nya ke meja kerja Septi. "Ini udah dua hari, dan kamu janji buat benahin ini? Yang kamu kerjain apaan aja sih?" Angkasa melipatkan kedua tangannya, dan berdiri tepat di hadapan Septi.

Selalu begini. Kalau sudah kena omelan atasannya. Ia tidak bisa membela diri. Mulutnya seakan tidak boleh berbicara sampai atasannya selesai berbicara.

Septi menjadi sekretaris Angkasa. CEO 'Taksi Online' kira- kira sudah hampir satu bulan. Dan selama itu juga, tidak terhitung lagi seberapa banyak Septi menjadi bahan omelan Angkasa. Baik  itu karena kesalahannya, atau karena kesalahan orang lain. Tempatnya Angkasa untuk marah- marah ya di Septi.

"Pak bisa tenang dulu nggak? Bisa kan ya, ngomong baik- baik, tunjukin saya salahnya dimana lagi?" Ujar Septi dengan tenang. Ia mengambil laporan yang tadi di lempar oleh Angkasa.

Septi bukan wanita yang mudah jera. Apalagi masalah di amuk atasan. Mentalnya terbuat dari baja, kalau di depannya. Tetapi kalau di belakang, tetap saja ia bisa menangis.

Dengan teliti Septi mengecek ulang laporan, yang baru ia serahkan. Mengeceknya tanpa berkedip.

Seperti ada yang janggal, batinnya.

"Pak yakin, cuma ada yang ini? Saya tadi ngasih dua laporan, laporan lama dan baru, dan ini laporan lama." Septi mengangkat laporan tersebut dan mensejajarkan pada wajahnya.

Tidak menunggu respon Angkasa. Septi beralih untuk melangkahkan kakinya, ke dalam ruangan Angkasa.

Dan ... laporan itu terjatuh, tergeletak dengan santainya di ubin.

"Ini Pak, yang baru! Bisa nggak sih besok- besok di cek dulu, baru marah- marah. Ini kejadian udah ke tiga kalinya, kenapa nggak pernah belajar dari pengalaman sih!" Ujar Septi.

Kali ini bukan Septi yang terdiam. Melainkan Angkasa.

"Ada lagi?" Tantang Septi.

Tanpa berkata- kata, Angkasa langsung merebut laporan yang di genggam Septi, dan tanpa dosa langsung meninggalkan keberadaan Septi.

Sebelum menutup pintunya, Angkasa berujar. "Kalau ternyata masih ada yang salah, kita lembur lagi." Gumamnya.

Septi terdiam tidak memberikan tanggapan, yang sudah- sudah, kata lembur itu menjadi kata langganan yang di ucapkan oleh Angkasa, jika sudah dalam keadaan terdesak.

Dan dalam lembur itu juga, bukan hanya sekedar kerja didalamnya. Ada hal- hal yang tidak terduga yang terjadi. Dimana Septi harus terus berada dalam keadaan waspada, jika kemesuman Angkasa keluar.

Selang setengah jam, dari pintu ruangan Angkasa yang tertutup tadi. Angkasa menampakan wajahnya.

"Oke, kita lembur!" Ujarnya tidak terbantahkan.

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang