Septi terbangun lebih dahulu. Menatap wajah lelah Angkasa. Ditatapnya lekat- lekat wajah itu. Pria yang selalu memorak-porandakan hatinya, yang saat ini sedang tidur dalam pelukannya. Tidak terlihat guratan lelah sedikitpun dari wajahnya, setelah apa yang telah mereka lakukan sebelum tertidur.
Nafas hangat Angkasa terdengar begitu teratur. Dengan rambut yang berantakan menutupi keningnya. Sangat berbeda jauh sekali ketika Angkasa sedang bekerja. Rambut yang biasaanya di tata serapih mungkin. Tidak ada rambut yang boleh keluar dari tatanannya sehelai pun.
Jika dilihat- lihat Septi lebih menyukai model rambut Angkasa yang berantakan seperti ini. Angkasa jauh terlihat lebih santai dan tidak menunjukan raut seriusnya.
Apapun itu. Septi sepertinya sudah mulai menyukai keseluruhan dari Angkasa. Ia juga sudah mulai bisa merasakan takut. Takut ketika Angkasa pergi meninggalkan dirinya. Takut jika hati Angkasa untuknya saat ini hanya sementara saja.
Bagaimana jika 'wanita itu', wanita yang ada di dalam foto itu kembali? Apakah posisinya akan tetap sama? Apakah Angkasa tetap memilihnya? Septi mulai menakuti hal- hal seperti ini.
Septi mengosongkan pikiran- pikiran takutnya. Mengambil ponselnya. Memotret wajah damai milik Angkasa. Mengubah tampilan depan ponselnya, menjadi foto Angkasa yang baru ia potret.
Tidur Angkasa mulai terganggu karena kecupan- kecupan yang diberikan Septi diseluruh wajahnya. Septi mengecupnya memastikan tidak ada titik yang terlewatkan.
Tiba- tiba Septi merasakan tengkuknya ditahan. Angkasa membalas kecupan Septi di bibirnya. Melumatnya tanpa ampun. Angkasa tidak memberikan waktu berang sedikit pun untuk Septi mencari udara. Angkasa membuat bibir Septi terbuka, dan mulai mengabsen didalam sana tanpa ada yang terlewatkan.
"Mesum." Septi melempari bantal ke arah wajah Angkasa.
Angkasa terkekeh. Memeluk Septi kembali. Mencari posisi tidur yang nyaman untuknya. Kepalanya ia rebahkan kembali dileher Septi. Menghirup aroma favoritnya. "Aku bisa betah tidur disini." Angkasa mendusel leher Septi. "Serius, nyaman banget." Guraunya setengah tidur. "Cuma aku yang boleh menempati ini." Setelahnya hanya ada nafas hangat beraturan yang menyentuh leher Septi.
Septi menepuk pelan tangan Angkasa yang telah melingkar kembali di pinggangnya. Melirik ke arah jam dinding, yang sudah menunjukan pukul tiga pagi. Yang baru saja Septi sadari, bahwa mereka sedang berada di rumah orang tua Angkasa. Angkasa harus segera bangun dan pindah kembali ke kamarnya, sebelum orang rumah bangun untuk memulai aktivitasnya.
Setelah menepuk- nepuk tangan Angkasa agar Angkasa terbangun, sepertinya sia- sia. Bukannya terbangun. Angkasa malah semakin melingkarkan tangannya, kali ini bukan di pinggang. Lingkaran tangannya naik tepat melingkar di dadanya.
Melihat keadaanya. Mereka tertidur tanpa sehelai benang sedikit pun di tubuhnya. Tubuh mereka hanya tertupi oleh selimut besar disana.
Sekali lagi. Septi menepuk lengan yang melingkar didadanya dengan kencang. Tidak peduli sekeras apa. Angkasa harus terbangun dari tidurnya, dan kembali ke kamarnya.
"Bangun. Kamu harus pindah." Septi menggerakan tubuhnya agar terlepas dari Angkasa.
"Hmm." Angkasa enggan membukakan matanya. Hanya gumaman yang terdengar dari bibirnya.
"Angkasa!" Septi meneriakan nama Angkasa. Ketika Angkasa semakin mengeratkan lingkarannya.
"Sst." Angkasa mengecup tengkuk Septi.
Septi berdecak, karena tidak ada respon sedikitpun dari Angkasa. "Kamu harus bangun, pindah ke kamar kamu sendiri."
"Buat apa?"
Septi menarik nafas. Menghembuskan nafasnya kuat- kuat. "Kok buat apa?"
"Kamu mau Mama mergoki kita dalam keadaan seperti ini? Atau ketika kamu keluar dari kamat ini?" Septi nyaris putus asa. "Yang benar aja Angkasa! Mau di taruh dimana muka ku?"
"Disini." Angkasa menunjuk ke arah wajah Septi. "Memang bisa dipindahin kemana lagi, selain hanya disini tempatnya?"
Menyebalkan bukan?
"Angkasa ..." parau Septi.
"Iya- iiya sayang." Angkasa mengecup kening Septi. Ia mulai menegakan badannya. Meregangkan tubuhnya. Mencari pakaiannya yang belum ia gunakan kembali.
Setelah mendapatkan pakaiannya. "Kamu nggak mau pakaiin aku ini?" Mengangkat pakaiannya agar bisa terlihat oleh Septi.
Septi mendengkus menatap tajam ke arah Angkasa.
"Oke. Setelah aku keluar, jangan lupa kunci pintunya. Aku nggak mau siapapun masuk kamar kamu, dengan-" Angkasa menatap Septi dari atas sampai bawah. "Dengan, kamu yang masih tanpa baju ini." Angkasa mencium kening Septi. Setelahnya ia keluar dari kamar membukanya pelan- pelan, meninggalkan Septi yang masih setia berada dibawah selimut.
***
Septi menatap kesal ke arah cermin. Pasalnya Angkasa benar- benar keterlaluan. Ia tidak hanya meninggalkan satu jejak di lehernya. Namun Angkasa hampir memberikan jejak disepanjang lehernya. Mau memakai foundation pun untuk menutupinya percuma rasanya.
Pakaian yang digunakannya pun percuma. Dengan belahan yang cukup lebar, benar- benar terasa sia- sia.
Pintu kamarnya terbuka. Septi meliriknya dari cermin didepannya. Angkasa masuk tanpa dosa sedikitpun. Tidak ada ketuk maupun salam. Ya ... terserah saja. Selama ini masih rumahnya, Septi tidak bisa melarangnya. Semalam juga seperti itu bakan?
"Lihat! Apa yang kamu perbuat?" Septi menatap kesal Angkasa, sambil menunjuk lehernya.
Angksa menatap melas ke arah Septi. Menunjuk ke arah leher yang di beri tanda oleh Septi semalam. "Lalu ini?"
Septi mendengkus. "Kamu cuma satu Kasa ... masih bisa di tutupi pakai ini." Berjalan mendekati Angkasa, memberikan foundation pada jejak merah itu. "Aku gimana? Mana kerah bajunya lebar banget." Septi menghembuskan nafas kembali.
"Kamu bukannya suka nyimpen scarf di tas, yang biasa kamu gunain pas rapat?" Angkasa tampak berfikir.
Septi melebarkan matanya. Seakan mendapatkan jackpot. "Pinter- pinter." Ucapnya. Septi mencari- mencari keberadaan tasnya.
Menatap melas ke arah Angkasa. "Tas ku ketinggalan di mobil. Bisa tolong-". Belum juga menyelesaikan permintaanya. Angkasa sudah langsung meninggalkannya.
Scraf ini berhasil membantunya. Walau terasa tidak nyaman. Namun setidaknya ia tidak akan terlihat menyedihkan.
***
Setelah sarapan pagi, Miranda sempat menyinggung soal scarf yang melingkari lehernya. Miranda menanyakan apa tidak scrafnya mengganggu. Karena tidak ingin di komentari lebih jauh, Septi hanya mengatakan jika ini adalah model baju. Yang sudah sepaket dengan pakaiannya. Setelah diberi penjelasan, Miranda tampak mengerti dan tidak menyinggungnya kembali.
Saat ini mereka sedang bersantai di halaman belakang. Angkasa tidak pernah menjauh darinya sedikit pun. Tanpa rasa malu- malu, Angkasa juga melingkarkan tanganya di pinggang Septi. Menyadarkan kepalanya di punggung Septi.
Beberapa- beberapa pertanyaan untuk menggoda Angkasa juga seringkali keluar dari bibi Miranda dan Awan. Seakan senang menggoda anaknya. Kedua orang tua Angkasa justru lebih senang membela Septi ketimbang Angkasa sendiri, yang berstatus sebagai anak.
Ditengah- tengah perbincangannya. Septi menanyakan kenapa dirinya harus menginap dirumah orang tua Angkasa. Karena jika bertanya ke Angkasa, Angkasa juga sama tidak mengetahuinya. Karena begitu penasaran Septi memberanikan diri untuk bertanya.
Namun sepertinya. Jawaban yang keluar dari bibir Miranda bukan jawaban yang menyenangkan untuk Septi. Lingkaran tangan di pingganya mengerat. Septi merasakan sebuah remasan kencang dipinggangnya dari jemari Angkasa.
Jawaban takut- takut yang keluar dari bibir Miranda juga tak lepas dari perhatian Septi.
"Kakaknya Angkasa dan istrinya akan datang ke rumah, karena itu, Mama mengundang kalian kerumah." Jawab Miranda pelan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Starting You
RomanceAngkasa Razel seorang CEO yang berhasil membuat permintaan kepada Septi Muara Sari di hari pertamanya kerja. *** Siapa yang sangka jika Septi Muara Sari harus bekerja menjadi seorang seketaris dengan atasan yang selalu mengambil keputasannya secar...