5. Cari Perhatian

2.7K 178 2
                                    

"Abai. Abai. Abai. Abaikan ... saja."  Septi merapalkan kata- kata itu berulang kali dalam hatinya. Bagaimana tidak, waktu sarapannya terganggu karena panggilan dan pesan dari Angkasa yang tidak urung berhenti.

Seharusnya bagian HRD sudah melaporkan kalau dirinya akan masuk siang hari. Untuk apa lagi Angkasa menghunginya, jawabannya tetap sama, ia akan masuk setelah waktu istirahat.

Oke waktu kesabaran Septi sudah habis. Ia segera menghabiskan sarapan paginya. Sebelum pesanan datang, Septi sudah membayarnya terlebih dahulu, jadi sekarang ia tinggal pergi saja meninggalkan sarapan yang susah di telannya ini. Semua karena ulah Angkasa. Nafsu makan sarapannya tiba- tiba hilang begitu saja.

Tadinya ia ingin berlama- lama berada di caffe ini, namun sayangnya harus ia urungkan. Dengan berat hati ia harus meninggalkan caffe ini beserta makanan dan minumannya. Dan mengurungkan niatnya melihat pemandangan macet di luar sana. Ia juga harus turut berada di tengah kemacetan itu.

Di saat akan melangkah kakinya memasuki halaman kantor, Septi menarik nafasnya dalam- dalam. Apalagi setelah ia mengangkat panggilan dari Aya. Aya mengatakan kepada dirinya, untuk segera menemui Angkasa setibanya di kantor. Tidak bisa terbantahkan. Karena ulahnya juga, menurut Aya, dia ikut terkena amukan Angkasa.

Sebelum menuju ke ruangannya, Septi berinisiatif untuk menemui Aya terlebih dahulu, dan meminta maaf karena Aya jadi ikutan terseret dengan permasalahannya.

Belum juga sempat meletakan barang- barangnya. Angkasa sudah berdiri di depan ruangannya. Sari, teman seruangan Septi yang sudah berjalan hampir mendekati mejanya, berbalik undur dengan teratur, ketika melihat kemunculan Angkasa. Baru saja dia berniat menggosip, namun harus ia urungkan niatnya, segera.

Septi menatap heran Sari yang berjalan mundur dengan keadaan menunduk. Ia membuka mulutnya menanyakan 'ada apa' tanpa mengeluarkan suara, hanya melalui gerakan bibirnya saja. Sari hanya menjawab dengan menunjuk- nunjuk kecil ke arah pintu ruangan Angkasa. Setelahnya ia mundur dengan langkah besar menuju mejanya kembali.

Septi tidak peduli sama sekali. Hingga suara dehemen yang mengagetkan dirinya. Septi akan memutarkan tubuhnya tiga ratus enam puluh derajat, untuk lebih meyakinkan dirinya. Setelah berbalik ... Septi memberikan senyuman manisnya. Menyadarkan diri dengan menggelengkan kepala, Septi tersadar kalau seharusnya ia tidak harus memberikan senyum kepada Angkasa. Apalagi atas perbuatannya kemarin, Angkasa tidak layak mendapatkan senyumnya.

"Sorry tidak ada senyum untukmu Angkasa." Bisik Septi dalam hatinya.

***

Sudah satu jam Septi hanya terduduk di ruangan Angkasa tanpa mengerjakan apapun. Setelah menyuruhnya untuk masuk ke dalam ruangannya. Angkasa tidak mengeluarkan suaranya sedikitpun. Angkasa hanya menyibukan dirinya dengan mengetik di laptopnya, serta dengan panggilan telfon yang tidak berhenti- henti setiap menitnya.

Septi tidak akan sepecicilan seperti kemarin. Ia hanya akan duduk manis di sofa yang tersedia di dalam ruangan Angkasa. Sofa ini yang biasa di pakai para tamu yang masuk ke dalam ruangan Angkasa, begitulah yang Septi ketahui kemarin.

Walaupun tidak ingin beranjak dari sofa itu, namun matanya melirik ke segala arah. Terutama, target yang ia cari, pelaku dari, luka goresan yang harus dijahit, ditangannya. Si pelaku dalam keadaan tengkurap. Entah Angkasa yang menutupnya dengan sengaja, atau memang setelah kejadian kemarin Angkasa meletakan begitu saja, Septi tidak tahu, dan tidak ingin mengetahuinya.

Ditengah lamunannya menatap bingkai tersebut, Septi di kagetkan dengan suara 'duk' yang ternyata, Angkasa sedang menutup laptop, laptop tersebut di tutupnya dengan kencang tanpa perasaan, pantes saja ... pantes saja kemarin ia sama sekali tidak merasa bersalah, bahkan sampai sekarang, Angkasa tidak mengeluarkan kata 'maaf' sedikitpun.

"Jadi apa penjelesan kamu, untuk kemarin dan hari ini?" Tanya Angkasa, sambil melangkahkan kakinya, memutari meja kerjanya, dan berhenti didepan meja, sambil menyandarkan tubuhnya di pinggir meja, tidak lupa tangan yang ia lipatkan di depan dadanya.

Septi menunjukan dirinya sendiri dengan jari telunjuknya, menatap Angkasa heran. "Saya?" Terdiam. "Harus kasih penjelasan apa memangnya?"

Angkasa berdecak. Memutar tubuhnya, untuk mengambil ponselnya, Septi melihat sisi lain dari Angkasa. Dengan melakukan hal standar begitu saja, di mata Septi, Angkasa begitu terlihat seksi. Lagi- lagi Septi menggelengkan kepalanya. "Sadar Septi, sadar ... boss di depan itu jahat, sadaaaar." Septi mengeluskan dadanya.

Setelah mendapatkan ponselnya, Angkasa menghubungi nomor Septi. Sebelum memasuki ruangan Angkasa tadi, Angkasa memintanya untuk membawa ponselnya juga.

"Hidup, nyala dan berbunyi." Gumam Angkasa menatap ponsel Septi yang diletakan di atas meja. Sebuah pesan masuk juga muncul di layar kaca ponsel Septi dan beserta notifikasinya. "Pesannya juga masuk, LEDnya juga nyala." Gumamnya lagi. "Apa penjelasan kamu?"

Septi mengernyit. "Ponsel saya baik- baik saja dan tidak bermasalah sama sekali."

"Tepat." Angakasa menjentikkan jarinya. "Seharusnya memang tidak ada masalah dan kenyataannya memang begitu." Angkasa berjalan menghampirinya. "Namun menjadi masalah sekarang." Tubuh Septi terperangkap oleh kukuhan Angkasa. Tubuhnya terhimpit oleh kedua tangan Angkasa, dengan jarak yang ... sangat dekat.

"Kenapa tidak kamu angkat kalau begitu?"

Septi tidak bergeming. "Bisa kita bicara dengan posisi yang benar?"

"Yang benar seperti apa? Menelfon dengan baik- baik saja, tidak kamu angkat." Angkasa menegapkan tubuhnya.

Akhirnya Septi bisa bernafas dengan lega kembali. "Kerjaan saya kayaknya sudah menumpuk di luar, kalau tidak jelas begini, saya permisi."

Septi berdiri berjalan melewati Angkasa yang masih tidak bergeming. Hingga tangannya di cekal kuat oleh Angkasa. "Mau apalagi sih Pak?!" Tanya Septi lelah.

Tidak ada kata- kata yang keluar dari bibir Angkasa. Angkasa menaikan tangan Septi yang di perban, yang ternyata dari tadi sudah menjadi daya tariknya.

"Sakit?"

"Menurut Bapak bagiamana?"

"Ini karena kemarin?"

Septi menghembuskan nafasnya.

Tanpa aba- aba, Angkasa meletakan tangannya diatas telapak tangan Angkasa, mengelusnya dengan lembut menggunakan ibu jarinya.

"Mama meminta kamu kerumah, makan malam."

Kalimat tersebut memang tidak salah sama sekali. Namun ... emosinya meluap begitu saja. Yang tadinya ia sempat terbuai karena elusan Angkasa, ia menghapus pikiran itu jauh- jauh. Septi melepaskan genggaman Angkasa, meninggalkan Angkasa sendiri di ruangannya.

***

Memilih berkutat dengan laptopnya, Septi tidak memperdulikan sedikitpun Angkasa yang sudah duduk di depan mejanya.

Angkasa yang daritadi sudah sibuk bergumam tidak jelas di depannya, tidak Septi hiraukan sedikit pun. Menunjukan sikap- sikap yang absurd, namun lagi- lagi, Septi tidak peduli sama sekali. Angkasa bebas melakukan apa saja di depan sana. Yang terpeting ia harus kuat, untuk tidak terpengaruh dengan aksi Angkasa.

Septi akhirnya menanggapi tingkah Angkasa. Angkasa yang menutup laptonya begitu saja, akhirnya menarik perhatiannya. "Mau Bapak apa lagi sih? Nanti kerjaan saya nggak selesai, Bapak marah- marah lagi smaa saya. Sekarang saya lagi ngerjain pekerjaan saya, Bapak malah ganggu saya. Mau Bapak Apa sih?" Lepas kontrol, Septi meninggikan suaranya. Mejanya saat ini telah menjadi perhatian rekan- rekan sekelilingnya.

"Ikut dengan saya malam ini." Ucapnya tegas, meninggalkan Septi sendiri bersama dengan tatapan- tatapan rekannya.

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang