9. Cafe

2.2K 163 1
                                    

Beruntung Miranda berhasil menahan Angkasa, kalau tidak, ia pastikan saat ini akan pulang diantar oleh Angkasa. Septi melihat betul bagaimana rahang yang mengeras itu menatap kepulangannya. Angkasa sempat menahan tangannya, ketika akan memasuki mobil, namun Miranda berhasil melepaskan tangan tersebut.

"Biarin Septi pulang duluan, dia tadi sudah bilang sama Mama nggak bisa lama- lama, kamu disini aja dulu, ada yang mau Mama bicarakan."

"Tapi Septi berangkat sama aku, udah jadi kewajiban aku untuk mengantarnya pulang.

"Ada supir Mama, Mama yang akan tanggung jawab." Miranda menatap Angkasa dengan yakin. "Udah lepasin tangan Septi, kasihan kesakitan gitu sampai merah, kebiasaan kamu!"

Dengan terpaksa, Angkasa melepaskan tangannya yang secara tidak sengaja, sudah menekan pergelangan tangan Septi.

"Aduh ... jadi merah gini tangan mantu Mama, maaf ya sayang." Miranda mengelus tangan Septi yang memerah. Begitu juga dengan tatapan seperti menyesal ketika melihat tangan Septi yang memerah.

"Minta maaf!" Miranda memukul kencang punggung Angkasa.

"Sakit Ma ..."

"Kamu fikir, tangan Septi yang kamu pegang kenceng itu nggak sakit? Benar- benar." Kali ini Miranda memukul Angkasa di dadanya.

Karena tidak enak melihat Angkasa yang dipukul oleh Miranda, Septi akhirnya ikut berbicara.

"Nggak apa- pa Ma, ini cuma merah biasa, tangan aku memang gampang—". Ucapan Septi terhenti karena secara tiba- tiba, Angkasa menarik tangannya lembut, lalu mencium pergelangan tangannya yang memerah.

Merasa risih, dan kaget. Apalagi detakan jantungnya yang tiba- tiba tidak stabil. Septi segera mungkin langsung melepaskan tangannya yang masih di kecup oleh Angkasa.

Miranda yang melihat kejadian itu hanya tersenyum. "Lihat kurang baik apa Septi sama kamu, kamu udah jahatin aja dia masih bela kamu, jarang ada wanita seperti ini."

Septi mengernyit karena ada perasaan yang tidak enak, apalagi dengan kebohongan yang sedang ia lakukan.

Setelah mengecup pergelangan tangan Septi, Angkasa menarik tangannya lembut, lalu membawa Septi dalam pelukanny.

"Maaf."

Satu kata itu yang selalu ingin Septi dengar akhirnya terucapkan. Walau hanya satu kata, namun terasa sangat tulus di pendengarannya.  Bukan hanya kata itu saja, yang membuat ribuan kupu- kupu beterbangan, kecupan di pelipisnya pun juga sangat terasa, dan sebuah elusan di pergelangan tangannya. Rasanya kakinya sudah seperti jelly, mungkin jika Angkasa tidak mendekapnya, tubuhnya sudah berada di lantai saat ini.

Setelah pelukan itu selesai. Septi segera berpamitan, dan mengucapkan kata maaf karena tidak bisa berlama- lama menemani Miranda.

Seperti adegan di film- film, tangan Septi dan Angkasa baru terlepas ketika Septi masuk kedalam mobil, sungguh ironis keadaanya.

***

Diperjalanan Septi mengubah tujuannya. Ia mengatakan kepada Pak Karim, supir Miranda untuk menurunkan dirinya di cafe tidak jauh dari apartemennya. Awalnya Pak Karim menolak, lantaran dia sudah di amanatkan untuk mengantarkan Septi sampai ke apartemennya. Namun dengan meyakinkan Pak Karim kalau ia sudah meminta izin kepada Miranda melalui pesan. Akhirnya Pak Karim menurut, dan menurunkan Septi sesuai dengan permintaanya.

Selama menunggu pesanannya datang, banyak hal yang menjadi pikiran Septi. Kenapa setiap ia ketahuan melihat foto dengan gambar Angkasa dan wanita yang tidak ia ketahui, Angkasa berubah menjadi sangat menyeramkan. Padahal ia sama sekali tidak melakukan hal apapun, bahkan merusaknya pun tidak.

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang