31. Nyebelin

1.4K 93 2
                                    

"Masa aku jadi iring- iringannya Irwan? Yang ada aku tuh di iring- iringannya Nadia, gimana sih." Ujar Septi, setelah Angkasa melarangnya untuk cuti dan pulang ke Jogja.

"Yah aneh kan, kalau kita jalannya pisah."

"Ya nggak apa- apa, kita ketemu disana aja. Nanti juga ujung- ujungnya sama kan." Septi berdecak. "Tinggal tanda tangan aja susah. Aku mau cuti dulu. Cuti dari kerjaan sama cuti dari kamu."

Angkasa menatapnya tidak suka.

"Kita cuma kepisah dua hari. Aku juga kan harus bantu- bantu Nadia, aku sahabatnya lho... asal kamu tahu."

"Tapi aku juga calon imam kamu, kalau kamu lupa."

"Masih calon, belum tentu jadi." Goda Septi.

Tanpa berbasa- basi, Angkasa langsung menyobek pengajuan surat cuti Septi dan membuangnya kedalam tempat sampah.

Geram melihat Angkasa yang main merobek pengajuan cutinya, memilih melangkah untuk meninggalkan Angkasa.

"Jangan hubungi aku, aku pulang sendiri, jangan paksa- paksa aku buat nginap di apartemen kamu! AKU MASIH PUNYA APARTEMEN SENDIRI!!!" Sebelum benar- benar keluar dari ruangan Angkasa, Septi menyempatkan dirinya untuk meneriaki Angkasa. "BYE!"

Dan seharian ini, Septi tidak berada di meja kerjanya. Meninggalkan Angkasa, yang sedari tadi mencoba untuk membujuk Septi kembali keruangannya, namun nihil hasilnya. Septi sedang tidak bisa di rayu.

Dengan rasa tidak pedulinya, Septi lebih memilih bekerja di ruangan Nadia dan Irwan. Mengalihkan semua pekerjaannya di dalam ruangan Nadia. Biarkan saja dirinya kali ini menganggu kebersamaan calon pengantin ini.

Belum tentu nantinya setelah Nadia dan Irwan menikah, hubungan mereka bisa sedakat ini lagi. Septi dan Nadia saja sekarang- sekarang ini sudah lama tidak tinggal bareng. Jangan dianggap mereka bertengkar ya... mereka bukan bertengkar. Namun Septi dan Nadia memiliki pasangan yang-rasa memilikinya itu tinggi.

"Mbak, balik Mbak. Ini Pak Angkasa sebentar lagi bisa banting meja." Sari menghubunginya melalui telfonnya. "Udah tiga orang masuk ke dalam ruangannya, keluar- keluar wajahnya pucet banget Mbak. Ini aja Bella lagi nangis- nangis, laporannya dibuang gitu aja, padahal ngerjainnya berhari- hari. Cepet deh Mbak, jangan sampai ada korban lagi, aku nggak sanggup melihatnya."

"Kalau kamu kapan kenanya?"

"Mbak ihh, kok ngomongnya gitu. Bukan doain aku yang baik- baik tega deh." Ada suara panik yang Septi keluarkan. "Tuh kan Mbak aku di panggil, Mbak sih doanya. Aduuh, aku takut banget Mbak ... gimana Mbak?"

"Yaudah masuk dulu, nanti tambah ngamuk lagi. Aku jalan kesana." Septi menatap ke arah dua sahabatnya, dengan tatapan geram.

"Ngamuk kan anaknya? Gue bilang apa. Masalahnya sama lo, kenanya pasti ke anak- anak deh." Irwan menyampaikan pendapatnya.

"Temen lo tuh, lo tenangin kek."

"Yah jangan gue dong, yang ada makin ngamuk. Harus lo Septi, lo! Masa gue."

"Lo kan sahabat sejatinya, harusnya tahu gimana cara jinakinnya."

"Karena gue sangat tahu, makanya gue minta lo yang kesana. Langsung diam dia, kalau lo yang kesana percaya deh."

"Nadia, bisa nggak sih calon suami lo bergun sedikit-aja."

"Susah. Kalau ngomongin Irwan sama Pak Angkasa, udah kayak anak kembar, sifat aja sama. Jadi sabar- sabar aja. Sabar- sabar haru jadi kekasih mereka." Ujar Nadia.

"Bisa di tuker nggak sih?"

"Sana- sana balik deh. Ngajarin Nadia yang nggak bener aja." Irwan memeluk Nadia, seakan takut perkataan Septi benar terjadi.

"Hadeeuh. Lo bungkus deh sekalian."

***

Septi tiba di ruangannya tepat ketika Sari keluar dari ruangan Angkasa. Benar saja, wajahnya memerah menahan nangis. Septi juga menyempatkan untuk melihat wajah teman- teman lainnya. Semua wajahnya penuh dengan tekanan. Bahkan Bella yang menangis sedari tadi, belum juga berhenti menangis. Masih ada air mata yang coba ia tahan.

"Mbak ... telat banget deh." Sari tidak bisa menahan air matanya ketika melihat Septi di depannya. "Padahal aku udah bantu jaga rahasia Mbak, tapi Mbak nggak bantu aku sih."

Memeluk Sari untuk menenangkannya dari tangisnya. "Iya- iya maaf ya." Mengelus punggung Sari. "Udahan dong nangisnya. Aku jadi merasa bersalah."

"Mbak memang salah, harusnya datangnya dari tadi." Ujar Sari ditengah tangisnya.

Di saat Septi masih menenangkan Sari. Tiba- tiba suara Angkasa berteriak kencang memanggil Asma dari dalam ruangannya, yang sepertinya akan menjadi target berikutnya.

Asma berhenti tepat di depan Septi. Wajahnya memelas seakan meminta bantuan. "Aku takut banget Mbak." Menunjukan tangannya yang gemeter. "Belum masuk aja tangan aku udah begini, di dalam mungkin aku pingsan Mbak." Asma mengenggam tangan Septi. "Berasa kan Mbak dinginnya? Temenin aku masuk ke dalam."

Setelah menenangkan Sari, Septi dan Asma masuk secara bersamaan ke dalam ruangan Angkasa.

Baru saja Angkasa hampir mengeluarkan bentakannya, namun diurungkan ketika melihat Septi yang berada di samping Asma. Melipat kedua tangannya di depan dada. Menatap wajahnya dengan tidak suka.

"Taruh laporan kamu di atas meja saya, setelah itu langsung keluar." Ujar Angkasa tegas dengan sedikit bentakan.

Setelah Asma benar- benar keluar, Angkasa berjalan ke arah pintu lalu menguncinya. "Harus pakai cara itu kamu balik?"

"Dan harus pakai cara itu, kamu nggak seprofesional ini?" Tantang Septi. "Kamu itu atasan mereka. Setidaknya bisa membedakan mana kerjaan mana urusan pribadi. Bukan begini caranya."

"Kalau nggak kayak gini, apa mungkin kamu bisa kembali ke ruangan?" Angkasa menggelengkan kepalanya. "Cuma karena mereka kamu balik, kalau aku bicara baik- baik pasti kamu nggak akan datang, kan?"

Septi mendengkus, menatap prianya yang ternyata sangat egois seperti ini.

"Kalau aku minta untuk kamu bedain mana pekerjaan, mana urusan pribadi, bisa?"

"Ya tergantung kamu! Semua yang ada di diri aku bahkan sikap aku ke orang- orang ya ... tergantung kamu."

"Kamu ... tuh-"

"Mood aku ya bagaimana kamu ke aku, jadi jangan salahin aku, tapi salahin diri kamu sendiri yang udah membuat aku kayak gini."

"Aku bingung harus ngomong ke kamu pakai bahasa apalagi."

"Pakai bahasa ini." Angkasa melangkah mendekati Septi, menahan tengkuknya dengan sebelah tangan. Menempelkan bibirnya ke bibir Septi. "Kayak gini." Mengecupnya dan-melumatnya. "Cukup pakai bahasa ini, mood aku udah balik lagi seperi awal. Beres, kan?"

"Kamu kira, aku apa-"

"Ssst." Angkasa menempelkan jari telunjuknya ke arah bibirnya. "Jangan mancing- mancing aku marah lagi, mood aku udah membaik. Dan keputusan aku untuk nggak ngizinin kamu cuti itu udah sangat pas.

"Pas darimananya? Jangan di buat- buat deh."

"Pas kita berdua nanti sampai Jogja, kita sama- sama ketemu orang tua kamu. Aku mau minta izin, masukin anaknya." Mendengar ucapan Angkasa yang sembarangan Septi memukul lengannya kencang. "Sakit sayang. Maksudnya, aku mau minta izin untuk nikahin anaknya, baru aku masukin. Selama ini kan belum aku masukin, iya nggak sih? Atau mau aku masukin dulu, nanti di Jogja?"

"Nyebelin, dasar!"

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang