22. Terdiam

1.5K 112 0
                                    

Sore- sore nih...
Jangan lupa sama vote-nya yaaaa
Love u all  💕💕💕

***

Angkasa menariknya. Membawa Septi keluar dari rumah orang tuanya. Langkah kakinya yang besar ditambah jalannya yang terburu- buru membuat Septi sulit mengimbangi langkah kaki Angkasa.

Dibelakang sana, Miranda sedikit berlari untuk mengejar langkah anaknya. Miranda juga berulang kali memanggil nama Angkasa. Namun Angkasa enggan untuk menghentikan langkah kakinya dan menjawab panggilan tersebut.

Merasa tidak tega dengan Miranda, Septi mencoba untuk menahan gerakan Angkasa. Sayangnya gagal. Tangan yang di genggam oleh Angkasa kini semakin mengerat. Angkasa semakin menariknya.

Setelah tangan ini di lepas, Septi yakin tangan ini akan memerah meninggalkan bekas karena tekanan jemari Angkasa.

Selangkah lagi mereka sampai pada pintu utama. Namun belum juga pintu tersebut tersentuh. Pintunya sudah terbuka lebar sendiri. Didepan sana terlihat jelas sepasang kekasih, atau—mungkin sepasang suami istri yang tidak lain yaitu Kakak Angkasa berserta istrinya. Septi hanya menebak- nebak saja dari raut wajah. Raut wajah sang pria didepan sana memiliki bentuk yang sama dengan Angkasa. Secara simpel, Septi akan menyimpulkan jika dia kakak dari Angkasa.

Keduanya terdiam saling bertatapan. Hawa panas begitu terasa. Septi melirik dari ujung matanya. Angkasa menahan kesal, marah dan benci, menatap pria didepannya. Begitupun sebaliknya. Hanya saja tatapan yang di berikan pria itu, adalah tatapan meledek dan penuh kemenangan.

Genggaman Angkasa yang semula berada di pergelangan tangannya, menjadi turun mengapit jemarinya. Jemari Angkasa mengisi rongga- rongga kosong dari jari- jari Septi. Angkasa seakan membutuhkan sebuah kekuatan untuk meghadapi sepasang pasangan yang berdiri didepannya saat ini.

Septi membalas genggaman Angkasa di jarinya. Septi juga memberikan elusan di punggun tangan Septi. Dan sepertinya berhasil. Walau genggaman itu masih mengerat, namun tidak memberikan tekanan pada jemari Septi. Jemari Angkasa sudah mulai terasa rileks.

Septi menatap ke depan, setelah sebelumnya tatapannya hanya menatap kesamping, untuk melihat ekspresi Angkasa. Menatap lekat pada wanita didepannya. Tampak berfikir, seakan pernah melihat wanita didepannya. Dan—ya ...

Wanita yang berada di dalam foto yang sama dengan Angkasa. Wanita yang selalu membuat Angkasa menjadi kasar kepadanya. Wanita yang saat- saat ini menjadi titik ketakutannya. Dia berada tepat dihadapannya saat ini.

Dan—siapa dia? Batin Septi.

Terdiamnya kedua pasangan itu, akhirnya terlepaskan karena suara Miranda. Miranda menghapiri Angkasa, mengelus lengan Angkasa yang kosong. Sebelah tangannya lagi ia gunakan untuk mengelus lengan anak laki- laki satunya. "Temu kangennya didalam ya? Saling kenalan. Septi pasti bingung." Ujar Miranda hati- hati.

Miranda mengisyaratkan Septi untuk membawa Angkasa kembali masuk. Di belakang sana ternyata sudah ada Awan, yang telah memperhatikan mereka sedari tadi. Septi pun mengangguk ketika langkahnya melewati Awan.

***

Hawa- hawa panas masih saja terasa. Padahal posisi saat ini sudah duduk tenang, di bawah semburan pendingin ruangan yang menyala.

Septi menatap bingung dengan keadaannya saat ini. Karena hanya ia seorang lah, yang sama sekali tidak mengetahui keadaan yang ada. Selama dekat dengan Angkasa. Angkasa tidak pernah menceritakan tentang keluarganya. Sangat berbeda dengan Septi yang selalu menceritakan tentang keluarganya kepada Angkasa.

Untuk mencairkan suasana, Miranda mulai mengenalkan pria dan wanita yang berada di depannya. Si pria adalah kakak dari Angkasa bernama Langit. Dan si wanita istri dari Langit yaitu Diana—.

"Sekaligus 'mantan pacarku'." Angkasa menekan kata 'mantan pacar' sambil menatap Septi. Kedua mata mereka bertemu. Septi melihat bola mata Angkasa yang seperti menyimpan penuh kesakitan dan kekecewaan.

Septi mendengar tawa kecil mengejek dari Langit. Langit seakan menunjukan sebuah kemenangan. Kemenangan atas dirinya yang telah berhasil mengambil Diana dari Angkasa. Septi hanya menggelengkan kepala ketika melihat situasi yang aneh seperti ini.

Bukannya ingin membandingkan dengan keutuhan di keluarganya. Namun keadaan di keluarga Angkasa sangat berbeda dengan keluarganya. Keluarganya selalu hidup harmonis dan saling tolong menolong ketika ada yang kesusahan. Serta di keluarganya tidak ada yang saling menjatuhkan. Sangat berbanding terbalik dengan disini.

Angkasa sudah tidak lagi mengenggam jemarinya. Seakan ingin menunjukan hubungannya, Angkasa merangkul pinggang Septi. Sesekali ia mengelusnya, menunjukan kemesraanya untuk menutupi kekesalannya. Dengan perlakuan Angkasa yang seperti ini, membuat Septi penasaran dengan wanita didepannya.

Septi tahu, jika Diana menyimpan kecemburuan yang masih coba ia tahan. Apalagi ketika Angkasa melakukan skinship terhadap Septi untuk menghilangkan kekesalannya. Beberapa kali Septi memergoki Diana yang menatap Angkasa dengan tatapan rindu dan memuja. Walau sedikitpun Angkasa tidak pernah menatap balik Diana. Septi tahu jika ada sesuatu hal yang ditahan oleh Angkasa.

Percakapan- percakapan itu hanya keluar dari ayah dan anak pertamanya saja. Angkasa seakan enggan untuk bergabung dalam percakapan mereka. Begitu juga dengan Miranda. Miranda hanya sesekali mengajak bicara dan Diana. Selebihnya Miranda akan mengajaknya bicara. Septi melihat terdapat dua kubu di dalam keluarga ini.

Suara Miranda akhirnya memecahkan suasana. Miranda mengajak keluarganya untuk makan siang. Pas sekali makanan yang dimasak oleh ART nya sudah siap semua. Sayangnya Angkasa sudah tidak berselera lagi untuk makan siang bersama keluarganya.

Septi mengeluarkan suaranya untuk mengintrupsi keadaan. Dalam posisi ini harus ia yang banyak bicara. Karena setelah kedatangan Langit dan Diana. Angksa seperti tidak punga mulut. Ia selalu menutup rapat- rapar bibirnya. Jika ada yang mengajaknya bicara, jawabannya hanya 'hmm' atau gerakan tubuhnya saja. Dan disinilah keadaanya yang sangat dibutuhkan oleh Angkasa.

Gelagat- gelagat tanda tak nyamannya sudah terlihat jelas di mata Septi. Hampir dua puluh empat jam Septi bersama dengan Angkasa, bodoh jika ia tidak bisa membaca gelagat tersebut. Dan seperti biasa, angel penolongnya jika sedang dalam situasi seperti ini, tidak lain dan tidak bukan yaitu dirinya sendiri.

Septi meminta izin jika dirinya dan Angkasa tidak dapat ikut dalam acara makan siang. Memberikan alasan jika ada pekerjaan kantor yang harus ia kerjakan segera secara mendadak. Raut kekecewaan bukan hanya didapatkan dari Miranda saja, namun juga dari Diana.

Karena merasa tidak enak dengan Miranda, Septi akhirnya memberikan janjinya untuk makan siap bersama dengan Miranda jika ia mendapatkan waktu kosong. Walaupun merasakan kekecewaan, Miranda akhirnya menerimanya saja dengan lapang dada.

***

Kebisuan yang dilakukan Angkasa, masih terus saja berlanjut. Bahkan sampai keduanya sudah sampai di apartemen Angkasa, Angkasa masih saja enggan berbicara.

Sejujurnya jika dirasa Septi sebenarnya kelaparan. Namun karena melihat ketidak nyamanan Angkasa dan kecemburuan dirinya, lebih baik mereka menghindari acara makan siang tersebut.

"Sampai kapan kamu nggak mau ngomong?" Tanya Septi ketika Angkasa tidak ada pergerakan. Angkasa masih saja merebahkan tubuhnya di sofa tidak ada pergerakan sedikit pun.

"Kamu nggak lapar sama sekali?" Septi masih saja berusaha, memancing suara Angkasa. "Aku lapar banget. Serius deh. Denger nggak perut aku bunyi?" Septi mendekatkan perutnya ke arah telinga Angkasa. "Denger nggak, denger kan?"

Pancingannya berhasil. Angkasa membuka matanya yang sebelumnya ia tutupi denga lengannya. Walau baru hanya meliriknya, setidaknya ia berhasil mencari perhatian Angkasa.

Angkasa mendengkus, mengarahkan tangannya ke perut Septi. Dielusnya lembut. "Seharusnya bukan suara perut lapar disini, tapi suara detak jantung janin." Goda Angkasa masih dengan wajah datarnya.

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang