36. Seperti Anak

1.4K 83 1
                                    

Pertemuan Angkasa dengan kedua orang tuanya berjalan dengan baik- baik saja. Awalnya.

Mayang dan Arya sepertinya sudah menganggap Angkasa seperti anaknya sendiri sedari awal Septi menceritakan hubungannya dengan Angkasa.

Terutama Arya, Ayah Septi. Sangat senang ketika mengetahui hobi Angkasa yang sama dengannya. Sama- sama suka memancing. Hal ini juga, baru saja di ketahui Septi. Faktanya selama mengenal Angkasa, Septi tidak pernah melihat Angkasa memancing, atau mengajaknya sekedar menemani Angkasa memancing.

Hal ini menjadi kecurigaan bagi Septi. Apakah Angkasa benar- benar bisa memancing atau hanya pura- pura untuk menarik perhatian Arya.

Namun anehnya jika hanya berpura- pura, Angkasa mengetahui segala hal tentang pancingan, umpan dan apapun yang berhuhungan dengan memancing. Bahkan sampai detail- detail terkecilnya.

Septi hanya menggeleng- gelengkan kepala melihat dua pria berbeda usia di depannya bicara tidak henti- hentinya. Bahkan Arya yang selalu memanhakan Septi, itu tidak terlihat sama sekali. Biasanya jika Septi pergi jauh dan lama pulangnya, Arya pasti tidak akan melepasnya.

Seperti tahun lalu, ketika ia pulang dari Jakarta, dan Arya tahu jika Septi hanya satu atau dua hari di Jogja. Arya tidak pernah sedikit pun melepaskan Septi dari pertanyaan- pertanyaannya.

"Ayah, bener- bener deh!" Septi memanyunkan bibirnya, menatap ke arah Arya dan Angkasa. Namun masih seperti sebelumnya, tidak ada respon dari Arya maupun Angkasa. "Ayah! Awas aja ya, kalau aku nanti udah balik lagi ke Jakarta, terus Ayah nanti bilang nyesel nggak bisa ngobrol banyak sama aku, nggak akan aku ladenin, lihat aja!" Ancam Septi.

Septi juga sudah berpindah tempat duduk di sebelah Angkasa. "Kamu juga!" Septi menggoyangkan lengan Angkasa.

"Diam dulu." Secara kompak, Arya dan Angkasa menyuruh Septi diam secara bersamaan.

"Ibu ... lihat." Septi mengadu kepada Mayang. "Benar- benar deh Bu, aku di diemin. Nanti kalau salah satu dari mereka udah pisah, baru deh aku di kejar- kejar." Adu Septi.

Mayang hanya tertawa melihat tingkah anaknya. Septi yang manja terhadap Ayahnya, Mayang jelas tahu, betapa kesalnya Septi di diamin oleh Arya.

"Udah biarin aja dulu, Ayah kamu kan baru pertama ketemu calon mantu yang hobinya sama. Kakak iparmu hobinya bertolak belakang banget kan."

"Ibu kok jadi belain Ayah!"

Mayang menggelengkan kepalanya. "Anak ini, semakin tua bukannya makin dewasa, malah makin manja."

"Nak Angkasa, jangan di manja ya Septinya. Dia udah keseringan di manja Ayahnya, apa- apa harus nomor satu, jadinya gini. Dulu aja sering berantem sama kakaknya, padahal hidup juga cuma berdua."

"Haha, iya Bu, anaknya sendiri yang suka minta di manja." Ujar Angkasa.

"Iya memang. Nak Dean aja tuh, ampun deh kuat banget manjaiin Septi. Ibu sampai geleng- geleng kepala kalau udah nurut banget sama Septi."

Ucapan Mayang mampu membuat raut wajah Angkasa berubah seketika. Dan membuat sekujur tubuh Septi merinding seketika.

"Kemarin itu lho ... Nak Dean nungguin kamu, kasihan. Katanya sebentar lagi jalan, tapi malah nggak jadi datang. Jadilah Nak Dean di kerjain Ayah habis- habisan, disuruh lap- lapin pancingannyan."

Respon yang di berikan Septi hanyalah seperlunya. Ia tidak berani menanggapi Mayang dengan kata- kata. Dengan cengiran saja, Angkasa sudah menatapnya tanpa kedip, bagaimana jika dengan kata- kata, mungkin bola mata Angkasa akan langsung keluar menatapnya.

***

"Jangan ngambek sama aku dong, kan Ibu yang mulai. Aku juga nggak ngasih respon apa- apa." Septi merayu Angkasa yang lagi- lagi, mulai merajuk kembali. "Aku aja tadi nggak ngasih tanggapan sama sekali. Jangan marah sama aku dong, sayang ..."

"Hmm." Hanya gumamam Angkasa yang tidak jelas keluar dari bibirnya.

"Jangan 'hmm hmm' aja, bicara apa gitu, biar aku tahu kalau kamu nggak marah."

"Nanti kalau aku bicara, malah lebih marah. Mending aku diam sekalian."

"Kalau kamu diam, aku yang lebih bingung menghadapi kamu."

Benar bukan? Awalnya semua baik- baik saja. Benar- benar di awal.

Dan sepertinya akan berakhir tidak baik- baik saja di akhir. Apalagi ketika Mayang menyamperinya di halaman belakang, dan mengabari jika Dean berada di depan.

Seketika, Septi merasakan akan ada hal besar yang tidak akan bisa ia tanggung.

Septi melirik ke arah Angkasa ketika nama Dean di sebut. Benar saja, wajah yang menekuk semakin bertambah menekuk dan mengeras. Tidak ada senyuman sedikit pun terpancar dari wajah Angkasa.

Septi juga tidak berani menjawab panjang- panjang ucapan Mayang. "Iya Bu, nanti Septi ke depan." Hanya beberapa kata saja yang Septi ucapkan, dan kata- kata itu ia ucapkan secara hati- hati.

Setelah Mayang meninggalkan Septi dan Angkasa. Septi menatap Angkasa dengan mengangkat kedua bahunya dengan pasrah. Menunjukan bahwa ia sama sekali tidak mengetahui jika Dean kembali kerumahnya.

Ia juga tidak mendapatkan kabar apapun dari Dean. Jelas saja Septi tidak dapat kabar apapun dari Dean. Selain menghapus nomor Dean dari kontak ponselnya, Angkasa memblokir nomor Dena terlebih dahulu, setelahnya ia baru menghapus kontak Dean.

"Gimana?" Septi menatap Angkasa. "Aku harus ke depan atau tetap di sini sama kamu? Kalau kamu melarang aku ke depan, aku akan cari alasan ke Ibu, kalau aku nggak bisa ikut ke depan."

"Kita ke depan sama- sama. Sekalian aku mau kenalan sama, Dean- Dean kesayangan kamu itu."

Septi menutup kedua matanya, mendengkus mendengar ucapan Angkasa. "Kesayangan aku cuma kamu! Kamu satu- satunya." Entah sudah berapa kali, Septi harus mengeluarkan gombalan yang tidak pernah ia lakukan sebelum- belumnya. Yang terpenting baginya adalah merayu Angkasa untuk tidak merajuk kepadanya.

"Tapi aku ingetin kamu ya-apapun yang Dean lakukan ke aku, semuanya karena persahabatan kita. Nggak lebih. Dan jangan mikir macam- macam dan sangkut pautin dengan hubungan yang sebelumnya pernah terjalin. Karena aku sama Dean udah nganggap hubungan itu nggak pernah ada dan aku juga-"

"Ayuk cepat. Kamu ngomong kayak gini, malah buat aku makin- makin penasaran, sama apa yang akan di lakukan Dean ke kamu."

"Kamu jangan mikir macam- macam-"

"Cepat." Angkasa mengenggam jemari Septi menariknya pelan, untuk mengikuti langkah Angkasa.

"Mereka ngobrol dimana?" Angkasa bertanya kepada Septi, lantaran tidak menemukan orang tua Septi dan Dean di ruang tamu.

Septi menarik nafas dengan kasar. "Biasanya di balkon atas."

"Sespesial itu, sampai punya tempat pribadi."

"Ya karena memang kita sedekat itu. Orang tua kita juga berteman, jadi ya-"

"Besok aku bawa Mama sama Papa kesini. Jadi nggak ada alasan lain lagi, kalau perlu sekalian nikahin kamu. Nggak apa- apa nggak usah pakai perayaan dulu, yang penting 'sah' dulu, jadi aku punya hak kamu secara penuh-"

Septi mencium bibir Angkasa. "Kalau nggak di giniin, kamu nggak bisa diam kayaknya." Sekali lagi, Septi mencium kembali bibir Angkasa.

"Septi ..."

Ditengah- tengah ciuman Septi kepada Angkasa, ada suara yang mampu menginterupsi kegiatannya dengan Angkasa.

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang