38. Hampir Telat

1.3K 63 1
                                    

"Lamarannya jam berapa?" Teriak Angkasa dari dalam kamar mandi.

"Jam sepuluh. Kamu tuh, ih ... kalau bukan karena Irwan nelfon kamu, kita pasti nggak akan dateng ke acara!" Omel Septi.

"Salah siapa?" Sahut Angkasa.

"Pakai nanya lagi! Kalau kamu nggak lanjutin sampai jam empat pagi, kita nggak akan telat kayak gini. Coba kita selesai jam satu, nggak akan tuh keburu- buru kayak gini."

"Jangan ngomel- ngomel dulu. Masih pagi, baju aku udah kamu siapin kan?" Angkasa baru saja menyelesaikan acara mandinya. Ia keluar hanya menggunakan handuk yang melingkari tubuh bagian bawahnya. Sedang bagian atasnya di biarkan polos begitu saja.

Angkasa melewati pakaian yang sudah di siapkan oleh Septi begitu saja. Langkahnya malah tertuju ke arah Septi yang sedang berdandan di meja rias.

Tanpa aba- aba sedikitpun, Angkasa langsung memeluk Septi, tidak lupa ia mengecup bahu Septi yang polos lantaran kebaya Septi yang bermodelan terbuka di bahu.

"Kamu ihh ... basah! Bukannya pakai baju. Jangan bikin aku dateng terlambat ya, di acara pertunangan sahabat aku! Sampai aku terlambat-" Angkasa membungkam suara Septi dengan mengecup bibirnya.

"Nggak. Nggak akan terlambat. Masih jam tujuh pagi. Kalau mau lanjutin yang semalam juga masih keburu, sangat keburu bahkan. Apalagi aku belum berpakaian gini."

Septi menatap Angkasa geram, tak segan Septi melemparkan gumpalan tisu gulung ke arah wajah Angkasa. "Makin mesum kamu, males aku temenan sama kamu." Septi meninggalkan Angkasa, memilih untuk menuju ruang makan.

Beruntung, Angkasa memesan hotel dengan perlengkapan nomor satu. Sehingga ia masih memiliki ruang untuk menghindar dari Angkasa. Seperti saat ini, ia lebih memilih meninggalkan Angkasa di kamar, dan lebih baik Septi sarapan terlebih dahulu daripada nantinya susah untuk sarapan pagi, karena ulah Angkasa.

Benar saja bukan? Angkasa menghampiri Septi, setelah menyelesaikan aktivitasnya memakai baju. Mengganggu waktu sarapan Septi, yang beberapa menit lalu terasa damai.

Angkasa datang untuk memintanya memakaikan dasi di lehernya. Serta untuk meminta sarapan yang sedang di makan Septi untuk di suapi ke dalam mulutnya.

"Kamu punya makanan sendiri, kenapa harus ganggu makanan aku, sih!"

"Punya kamu lebih menarik, apalagi sendoknya bekas kamu. Lebih semangat jadinya."

Septi memutar bola matanya, terasa jengah mendengar kemesuman Angkasa yang menjadi- jadi. Ia juga menutup kedua telinganya dengan menempelkan kedua tangannya di telinga.

Beruntung Septi dan Angkasa tidak telat. Mereka datang tepat disaat Irwan dan keluarganya sampai dirumah orang tua Nadia. Walaupun tidak ikut dalam iring- iringan, setidaknya mereka tidak sampai melewati acara pertunangan Nadia dan Irwan.

"Kelamaan mainnya? Atau gimana sih, sampai acara sahabat sendiri kalian lupain." Tanya Irwan, ketika Septi dan Angkasa menghampiri Irwan yang masih menunggu keluarganya mengeluarkan seserahan untuk di berikan ke keluarga Nadia.

"Belum sampai telat lah, lo aja belum mulai. Kita cuma telat dateng ke rumah lo, tapi untuk acara kan kita nggak telat." Sanggah Angkasa.

Tidak memperdulikan Angkasa, Irwan kembali bertanya, tapi kali ini langsung di tujukan kepada Septi. "Berapa lama dia ngajak main? Kalau sampai telat, tau kan betapa kecewanya Nadia sama lo."

"Salahin temen lo. Udah harusnya gue ikut rombongan Nadia, sekarang gue malah ikut rombangan lo, betapa nggak makin merasa bersalah gue jadinya." Septi menatap Irwan dan Angkasa bergantian, lalu berhenti menatap ke arah Angkasa dengan tajam. "Lo jagaian deh temen lo ini, gue mau kedalam nemuin Nadia."

Belum juga melangkahkan kakinya, Angkasa sudah lebih dulu menahannya. Dan aksi Angkasa ini terlihat jelas di mata Irwan, dan menimbulkan gelak tawa. "Nggak segitunya juga kali, Kasa!" Irwan menggelengkan kepalanya, dan terdengar jelas kekehannya. "Nggak akan ilang juga, ada orang tuanya di dalam, masa dia mau macam- macam."

"Dan jangan lupakan ada Dean di dalam." Jawab Angksa dengan sinis.

"Ooh ... shit! Jadi, karena itu ... lo nahan Septi."

"Yaa ... nggak perlu gue jelasin kan? Siapa Dean?"

Irwan menggelengkan kedua kepalanya. "Gue paham, dulu jaman sekolah dia juga jadi sasaran gue, eh ... nggak taunya salah sasaran. Untung ketahuan kalau Dean pacaran sama Septi, jadinya gue nggak kesel- kesel ba-nget" Irwan meredahkan suaranya "sama Dean, karena yang di pacari Dean itu, Septi bukan Nadia."

Merasa tidak memiliki salah apapun, Irwan memilih pamit dan meninggalkan Septi dan Angkasa yang akan berselisih pahan kembali.

"Kemarin malam kamu udah nggak kayak gini, sekarang kenapa begini lagi sih!" Protes Septi.

"Nggak tahu, kenapa tiba- tiba kesel lagi aja, ngelihat Dean lebih dekat sama orang tua kamu." Kedua mata Angkasa menatap ke arah Dean dan orang tua Septi. "Lihat, berasa dia yang anak orang tua kamu."

"Apaan sih, cemburunya nggak tepat waktu banget. Dean kenal keluarga aku, udah berpuluh tahun lamanya. Kalau kamu tuh ... baru berapa sih, baru beberapa hari aja."

"Sekarang mau nyalahin aku?" Protes Angkasa.

"Siapa yang mau nyalahin kamu, kalau aja kita mulai hubungan dengan yang 'baik'."

"Iya- iya, aku yang salah oke. Jadi, mau ikutan masuk, atau berdebat disini?"

Angkasa menggandeng tangan Septi, dirangkulnya begitu erat. "Jangan kemana- mana, sama aku terus." Peringat Angkasa. Keduanya pun masuk, mengikuti rombongan dari pihak Irwan, untuk mengikuti prosesi lamaran Irwan dan Nadia, sahabatnya.

***








Udah lama banget nggak update- update, semoga yang baca lanjutannya, kalian nggak lupa ya sama cerita sebelumnya ....

Selamat membaca !!!

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang