"Kita mau kemana?"
Weekend ini Septi sudah harus di pusingkan oleh Angkasa. Bagaimana tidak? Pagi- pagi sekali Angkasa membangunkannya untuk bersiap- siap, tidak ada pembicaraan yang jelas. Angkasa hanya berucap, jika hari ini akan menjadi hari yang sangat padat, maka segala sesuatunya harus di kerjakan sepagi mungkin.
Namun, setiap Septi tanya, ada apa dengan hari ini? Angkasa selalu tidak menjawabnya ia lebih memilih mengalihkannya dengan pembicaraan lain. Bahkan jika dilihat, pertanyaan Septi selalu berulang kali dengan pertanyaan sama, yaitu 'kita
mau kemana?' Sampai sekarang masih urung di jawab oleh Angkasa."Nanti kamu akan tahu. Sekarang pakai safety belt nya. Septi dan Angkasa kini sudah berada di dalam mobil milik Angkasa.
Walau malas- malasan Septi tetap saja tidak bisa membantah segala keinginan Angkasa. Itu semua karena saat ini hubungan keduanya sudah sangat membaik. Lain halnya jika hubungan mereka sedang tidak baik- baik. Jangan harap Septi mau mendengarkan segala keinginan Angkasa, yang ada Angkasa lah yang akan menuruti kemauan Septi tanpa diminta.
"Jadi, sampai sudah sejauh ini perjalanan kita, kamu masih nggak mau ngasih tahu aku, kita mau kemana? Kita mau ngapain, kita mau—" Septi melirik ke arah Angkasa dengan menipiskan matanya. Sambil bersedekap, lalu menutup bibirnya dengan kedua tangan, dengan tatapan curiga. "Kamu ... bukan mau jual aku ke, ke penadahkan?"
Angaksa tertawa kencang sekencangnya lantaran mendengar ucapan Septi yang tidak masuk akal. Angaksa sedikit mengalihkan pandangannya dari jalanan karena ia harus memerhatikan jalanan yang sepi, sambil melirik Septi sepintas. Tidak lupa dengan tangan yang sudah berada di pipi Septi, mengelusnya dengan lembut.
"Pikiran kamu tuh, random banget." Angkasa mengacak- acak rambut Septi.
Septi menahan gerakan tangan Angkasa dengan kesal. "Jangan di berantakin, kamu nggak tau kan bagaimana susah payahnya aku nge curly ujung rambut aku. Dan kamu ngacaknya dengan tanpa perasaan!"
"Bahkan dengan rambut kamu acak- acakan, aku nggak akan peduli. Yang penting kamu selalu ada di sisi aku. Itu yang terpenting." Angkasa merapihkan kembali rambut Septi yang tadi ia acak- acak. Namun sepertinya, malah menambah buruk mood Septi.
"Lepas! Kamu malah semakin bikin kacau rambut aku." Septi mengeluarkan cermin dari dashboard, sebagai tempat penyimpanan barang- barangnya di mobil Angkasa.
"Kalau aja cermin itu bisa bicara, pasti dia bakalan bilang kalau kamu adalah wanita tercantik yang ada di muka bumi."
"Gombal! Agak geli ya aku dengernya." Angkasa meninju lengan Angkasa.
"Serius." Ujar Angkasa gemas, mencubit pelan pipi Septi.
***
Entah sudah berapa lama Septi tertidur. Ia cukup lelah karena tujuan kepergiannya kali ini, ia tidak tahu menahu dengan tunuannya. Sehingga setelah perdebatan kecil, candaan- candaan yang Angkasa berikan dan segala gombolan Angkasa yang membuatnya jengah, justru membawanya dalam lelap.
Dan ketika terbangun, di setengah tingkat kesadarannya Septi kembali lagi di buat kaget oleh Angkasa, sehingga membuatnya benar- benar terbangun. Bagaimana tidak, ketika ia membaca plang hijau yang bertuliskan jalur- jalur perjalanan, dan arah yang di pilih oleh Angkasa adalah perjalanan menuju Jogja.
Septi memiringkan tubuhnya, menatap Angkasa, mengetuk- ngetuk jemarinya di atas dashboard. "Jadi, tujuan kamu?"
"Oh, hai ... udah bangun?" Angkasa yang sedang fokus menyetir, langsung melirikan matanya. Tangan kirinya yang sebelumnya berada di atas stir, kini sudah berpindah berada di pipi sebelah kanan Septi.
Lagi- lagi bukan jawaban yang Septi dapat. Angkasa hanya tersenyum. Namun kali ini senyum itu tidak dapat menyentuh ke hatinya. Mood Septi sudah berubah, lantaran Angkasa yang tak kunjung memberi tahunya. "Aku nggak ngerti sama kamu, kayaknya cuma kamu yang bisa mainin mood aku dengan cepat. Dan bodohnya lagi, bisa- bisanya aku sampai sekarang bertahan sama kamu." Septi melipat mulutnya.
Hanya kekehan Angkasa yang kembali terdengar. "Kamu tuh ... aku udah bilang begini aja, masih bisa ketawa."
"Oooh ... ceritanya kamu lagi ngancem aku?"
"Nggak tahu, aku udah beneran kesal!" Septi melipat kedua tangannya. Mengalihkan pandangannya melihat samping jendelanya. "Kalau beneran aku putusin kamu, gimana? Kamu tetap bakalan ketawa aja, gitu? Aneh banget sih."
"Kamu nggak lagi 'isi' kan?" Tangan Angkasa langsung mengelus perus Septi. "Waah bahaya kalau kamu isi, rencana aku bisa gagal."
Septi mendengkus, menahan segala kekesalannya. "Makin di diemin kamu makin jadi ya! Kamu pingin aku hamil di luar nikah gitu? Sembarangannya."
"Heiii, sayang. Kemarin- kemarin kita nggak pakai pengaman, dan kamu juga nggak minum pill pencegah kehamilan kan? Kita nggak ada yang tahu kedepannya bagaimana. Dan sekarang aku lagi berusaha untuk itu nggak terjadi lebih dulu."
"Maksud kamu? Seandainya aku beneran hamil, kamu mau gugurin kandungan aku? Begitu! Kamu tega banget sih, ya tuhan kenapa aku harus ketemu cowok brengsek kayak kamu!" Septi memukuli lengan Angkasa berkali- kali.
Menerima pukulan Septi yang tidak berhenti- henti dan bisa saja terjadi hal yang tidak diinginkan, berhubung saat ini ia sedang menyetir di jalan tol, beruntung tidak jauh dari jalannya ada rest area yang bisa menjadi tempat pemberhentiannya.
Angkasa langsung memarkirkan mobilnya pada tempat parkir yang tersedia. "Hei- hei dengerin aku." Angkasa menangkup kedua tangan Septi yang sedari tadi memukulinya. "Pikiran kamu tentang aku yang akan gugurin kandungan kamu, seandainya kamu hamil, kamu dapatin dari mana? Apakah menurut kamu, aku adalah pria yang sebodoh itu?"
Angkasa menarik nafas. "Kalaupun kamu hamil aku akan tanggung jawab, dan apakah aku Ayah yang gila, yang akan gugurin calon anak aku sendiri? Aku akan jadi orang pertama yang paling bahagia nantinya jika benar kamu hamil. Tapi sebelum itu terjadi, aku mau nikahin kamu dulu. Dengar. Dan, tujuanku saat ini adalah menuju ke rumah orang tua kamu, aku mau minta restu, aku mau melamar anaknya ini, untuk jadi istri aku."
Angkasa menghapus air mata Septi yang mulai turun dari ujung matanya. "Dari penjalasan aku, ada nggak yang menurut kamu, aku akan gugurin anak kita?" Angkasa melihat Septi menggelengkan kepalanya. "Jadi, buang jauh- jauh pikiran kamu. Dan, aku mohon dengan sangat, untuk kali ini nggak ada pikiran kamu untuk menundanya sampai Nadia dan Irwan menikah. Karena aku sudah mempersiapkan pernikahan ini, dan akhir bulan ini kita menikah, persiapan sudah berjalan hampir enam puluh lima persen, oke?"
"Kamu nggak bisa main sepihak begitu, kalau aku belum siap, gimana? Aku juga nggak mungkin ngedahuluin—"
"Aku bilang nggak ada bantahan. Aku juga sudah minta izin langsung sama Nadia, dan dia setuju aja. Pernikahan mereka masih lama Nad, jadi nggak ada salahnya kalau kita sudah siap lebih dulu, kita yang akan menikah duluan."
"Kalau orang tua aku nggak setuju gimana? Kamu tuh, harusnya mikirin segala hal, bukan cuma mikirin ego kamu aja."
Angkasa mendengkus. Ia lupa betapa keras kepalanya calon istrinya ini. "Bahkan aku ke Jogja atas undangan orang tua kamu, sebelumnya aku sudah menghubungi Ayah, dan Ayah meminta aku datang secara langsung sebagai bukti keseriusan aku kepada kamu."
"Kamu—"
"Nggak ada kamu- kamuan lagi, sayang. Dan kamu nggak bisa ngebantah ataupun nggak setuju."
***
Yeaaay, sebentar lagi kayaknya bakalan Kondangan Online, semoga aja ya ... diberi kelancaran, aamiin .
Jangan lupa ya, di Vote dan di Follow !
Terimakasih ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Starting You
RomanceAngkasa Razel seorang CEO yang berhasil membuat permintaan kepada Septi Muara Sari di hari pertamanya kerja. *** Siapa yang sangka jika Septi Muara Sari harus bekerja menjadi seorang seketaris dengan atasan yang selalu mengambil keputasannya secar...