Malam Mingguuuuu....
Jangan lupa votenya ya ...
Love u all 💕***
Sejujurnya untuk Septi memasuki rumah ini ada perasaan yang masih menakuti dirinya. Teringat dengan kejadian ketika ia memasuki kamar Angkasa, lantaran keinginan dari Miranda, mau tidak mau Septi hanya menurut saja.
"Sebenarnya ada acara apa dirumah kamu, sampai Mama mewanti- wanti kita untuk nginap?"
"Mama nggak bilang apa- apa. Cuma minta datang, dan harus bawa kamu. Kalau kamu nggak datang aku di coret dari kartu keluarga, kataya."
Septi menatap Angkasa tidak percaya. "Bisa- bisa kamu aja. Kalau memang Mama minta aku datang juga, biasanya Mama langsung hubungin aku sendiri nggak pakai perantara."
"Nggak percaya banget sih sayang." Angkasa mengacak- acak rambut Septi.
"Baru aku sisir—ish!"
"Acak- acakan juga cantik, nggak perlu rapih." Angkasa merapihkan rambut Septi kembali dengan jarinya.
"Nyebelin." Septi melipat kedua tangannya di dadanya.
"Ayo turun." Pinta Angkasa.
Mereka sudah sampai dari lima menit lalu. Namun keduanya belum juga turun, lantaran Septi yang ingin merapihkan tatanannya dahulu. Mobil Angkasa juga sudah terparkir rapih di carport dalam keadaan masih menyala.
"Nggak di matiin dulu mobilnya?"
"Kamu turun aku matiin mobil. Takut kamu kegerahan."
"Apaan sih—lebaaay."
Septi mengangkat tangan Angkasa melihat jam yang masih mengikar rapih di pergelangan Angkasa. "Udah jam sebelas malam, nggak apa- pa ini?"
"Dari tadi yang kamu bahas ini terus. Bosen aku." Angkasa menarik lembut tangan Septi. "Kamu udah ngabarin Nadia? Nanti dia kayak orang kesetanan lagi nyariin kamu."
"Iya. Tadi sebelum pulang aku ke ruangannya. Lagi berduan aja sama Irwan."
Disaat memasuki ruang tengah ternyata Miranda dan Awan masih setia duduk di sofa panjang yang terlihat nyaman sekali jika di duduki. Tidak hanya berdua saja. Orang tua Irwan juga ditemani oleh televisi yang masih setia menyala.
Sepertinya tontonan yang mereka tonton sudah biasa mereka setel. Terlihat dengan jelas, mereka membandingkan bintang tamu hari ini dengan bintang tamu kemarin. Keduanya terlihat kompak. Melihat kebersamaan orang tua Angkasa, ia jadi merindukan kedua orang tuanya sendiri yang berada di Jogja.
***
"Ya ampun ... sori- sori sayang. Keasikan nonton nggak sadar kalian udah sampai aja."
Bukan Angkasa namanya kalau dehemannya tidak membuat orang- orang di sekitarnya menyadari dirinya.
"Kenapa nggak manggil sih, malah ehem- ehem aja." Miranda memukul lengan Angkasa.
"Kebiasaan deh mukul- mukul anaknya."
"Mana mantu Mama?" Miranda melirikan matanya "Nah ini dia mantu ku. Apa kabar sayang?" Miranda memeluk Septi dan mencium kedua pipinya.
"Anaknya di pukul, Septi malah di cium. Kesenjangan sosial namanya."
"Iri aja kamu." Awan juga ikut menimpali percakapan mereka.
Septi juga tidak lupa menyalami Awan.
"Sudah langsung tidur saja sudah malam." Miranda mengelus punggung Septi. "Kamar kamu sudah Mama beresin ya, nanti biar diantar sama Angkasa. Nggak jauh dari kamar Angkasa."
"Kenapa pisah kamar Ma? Satu kamar aja sama aku."
Miranda memukul punggung Angkasa. "Sembarangan aja. Udah cepat sana anterin Septi dulu, kasihan kan mau istirahat. Pasti capek banget jadi seketarisnya Angkasa. Mana anaknya random gitu, aduuuh ... nggak ngebayangin deh Mama jadi kamu, pasti—"
"Kayaknya nggak jadi tidur, kalau Mama ngomong terus."
"Ck. Yasudah sana- sana." Usir Miranda.
Sebelum naik ke kamar yang akan Septi tuju. Septi berpamitan terlebih dahulu dengan kedua orang tua Angkasa. Awalnya ia berniat untuk ikut menemani kedua orang tua Angkasa, namun sepertinya Miranda yang tidak tega melihat wajah lelah Septi, lebih meminta Septi untuk segera beristirahat saja.
"Mereka memang selalu tidur malam?"
"Hmm."
"Bukan karena aku datang jadi mereka terpaksa tidur malam kan?"
"Perlu turun lagi nggak, untuk memastikan?" Angkasa menarik pelan tangan Septi.
"Iih ... bukan gitu." Septi menahan tangan Angkasa. "Kamu mah—malah bikin aku tambah nggak enak jadinya."
"Mereka memang selalu tidur malam sayang ... Papa suka sibuk sendiri kalau pagi, akhirnya Mama suka minta temenin nonton sebelum tidur dan selalu nggak ingat waktu kalau udah kena tv gitu." Angkasa memeluk Septi. "Jadi bukan karena kamu."
"Sampai kapan kayak gini ya?" Septi mendengakkan kepalanya. Belum ada niatan Angkasa untuk melepaskan pelukannya. "Mama nyuruh aku tidur tadi. Tapi anaknya kayak nggak rela aku tidur deh."
"Memang." Angkasa semakin mengeratkan pelukannya. "Susah banget ngelepasin kamu kayaknya."
"Hubungan kita lucu nggak sih? Di awal kita cuma terpaksa, di tengah jalan kamu maksa aku buat bikin hubungan ini nyata, dan sekarang aku dipaksa tidur di rumah orang tua kamu. Hubungan kita penuh paksaan kayaknya."
"Yang penting hati aku ke kamu nggak memaksa." Angkasa mengecup kening Septi. "Mengalir dengan sendrinya. Ada perasaan hilang kalau kemarin aku nggak maksa kamu buat jalanin hubungan ini jadi sungguhan." Angkasa menunjuk kening Septi dengan jari telunjuknya. "Yang penting disini jangan mikir macam- macam. Aku tulus sama kamu."
"Aku harus percaya?" Septi menelusupkan kepalanya ke dada Angkasa. "Gimana kalau aku udah benar- benar sayang kamu, kamu ninggalin aku di tengah jalan? Dan aku sendiri—berjalan sendiri dengan perasaan ku tanpa kamu."
"Bantu aku—bantu aku agar aku semakin yakin dengan hati aku ke kamu."
Septi terdiam.
Menghembuskan nafasnya. "Aku mau tidur."
"Aku tidur sini." Setelah melepaskan pelukannya. Angkasa berlari ke arah kasur, merebahkan dirinya di atas kasur tersebut, tanpa perasaan bersalah.
"Kamu tidur di kamar kamu."
"Kita tidur disini berdua."
"Jangan macam- macam ANGKASA! Kalau Mama tahu nanti mikirnya kemana- mana." Septi menarik tangan Angkasa, memaksanya untuk bangun dari kasur yang akan ia tuduri. "Bangun! Kamu berat banget."
"Tidur di kamar ku berarti." Angkasa bangun begitu saja, berbalik sekarang ia yang menarik Septi.
"Nggak." Septi menahan dirinya sekuat mungkin. Kekuatannya dengan Angkasa pastinya tidak sebanding. Ekspresi wajahnya juga sudah berubah suaranya juga terdengar parau. "Lepas."
Mendendar suara Septi yang terdengat ketakutan Angkasa melepaskan tangan Septi. Meneliti ekspresi wanita di depannya. Ada ekspresi takut yang terlihat jelas dari wajah Septi. "Lain kali." Gumam Angkasa.
Mencium kening Septi. "Lain kali—kita tidur dikamar ku, dibantu kamu untuk menyembuhkan ini." Angkasa menarik tangan Septi dibawanya untuk menyentuh dadanya. "Cuma kamu—"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Starting You
RomanceAngkasa Razel seorang CEO yang berhasil membuat permintaan kepada Septi Muara Sari di hari pertamanya kerja. *** Siapa yang sangka jika Septi Muara Sari harus bekerja menjadi seorang seketaris dengan atasan yang selalu mengambil keputasannya secar...