25. Merapihkan

1.5K 113 2
                                    

Angkasa benar- benar membawanya kembali kedalam rumah orang tuanya. Disana begitu banyak kenangan Angkasa dan Diana. Ketika Angkasa menarik lengannya untuk masuk ke dalam kamarnya, Septi sempat menahan langkahnya. Kejadian itu masih sangat terasa jelas diingatannya. Bagaimana begitu kasarnya Angkasa terhadap dirinya.

Namun sebuah pelukan hangat mendekap tubuhnya. Angkasa memeluknya. Membisikan kata maaf berulang- ulang kali. Secara perlahan Angkasa berhasil membawanya masuk ke dalam kamar.

Septi masih setia berdiri di depan pintu kamar. Ia takut untuk melangkah lebih dalam. Melihat sekelilingnya. Ia baru menyadari jika begitu banyak foto Angkasa dengan Diana yang menempel di dinding kamar.

Melihat Septi yang hanya diam di depan pintu. Angkasa menarik lembut tangan Septi. Membawanya ke arah ranjang. Membiarkan Septi duduk diatas ranjang. Sedangkan dirinya, mulai menurunkan satu persatu bingkai foto yang tertempel di dinding.

Angkasa menurunkan bingkai tersebut tanpa keraguan. Seakan menunjukan bahwa perkataannya bukan sekedar ucapan belaka. Ia akan menunjukan bahwa kehadiran Septi disisinya mampu menggantikan Diana.

Sekali lagi Angkasa memastikan hatinya. Ketika tadi memasuki rumah orang tuanya. Angkasa dan Septi bertemu dengan Diana yang sedang berada di dapur. Angkasa menatap Diana untuk memastikan hatinya. Getaran itu telah hilang. Jika dulu setelah Langit dan Diana menikah, beberapa kali Angkasa pernah bertemu dengan Diana, ia pasti akan mencuri- curi tempat, untuk bisa berduaan dengan Diana.

Namun sekarang ketika ada Septi disisinya, Angkasa mampu mengabaikan hal itu. Ia berhasil melewati Diana tanpa merasakan apapun. Dan keputusannya sudah tepat. Tepat ketika memilih Septi untuk berada di sampingnya.

"Kalau memang berat, nggak usah di paksa." Septi mendekati Angkasa yang sedang melamun.

"Sama sekali ngggak." Angkasa menggeleng, kembali menurunkan bingkai- bingkai foto.

"Dimana lagi selain di dinding?"

Angkasa menunjuk ke arah meja kerjanya. "Disana, diatas meja sama di dalam lacinya."

"Kalian tipikal yang suka mengabadikan segala sesuatu dengan memfoto ya?"

Angkasa menghentikan kegiatannya, mendekat ke arah Septi. "Apa kita perlu melakukan itu juga?"

"No. Jangan samakan aku dengan kalian." Septi menyilangkan tangannya di dada. "Kalau kamu sampai melakukan hal itu, berarti kamu belum move on."

Angkasa tertawa. "Bercanda sayang. Kita abadikan dengan tindakan." Angkasa merengkuh tubuh Septi, menciumi wajahnya tanpa celah sedikitpun.

"Jangan macam- macam ya kamu!" Septi menepuk dahi Angkasa, mendorongnya dengan jari telunjuknya.

***

Satu jam sudah Septi dan Angkasa membereskan segala kenangan Angkasa bersama Diana. Bukan hanya foto- foto saja yang mereka benahi. Namun banyak juga benda- benda pemberian Diana untuk Angkasa yang ikut di bereskan.

Hampir lima puluh persennya, kamar ini di dominasi oleh barang- barang pemberian Diana. Septi selalu menggelengkan kepalanya, disaat Angkasa menemukan barang- barang pemberian Diana.

Dan setiap kali Septi mengatakan kepada Angkasa, jika barang tersebut masih berguna dan Angkasa masih ingin menggunakannya Septi tidak masalah. Septi tidak sepicik itu yang akan selalu mempermasalahkan sebuah barang dari mantan.

Namun bukan Angkasa namanya jika ia bisa mengikuti kemauan orang lain. Mau jadi boss ataupun pacar, Angkasa tetap saja sama. Sama- sama keras pendiriannya.

"Selesai." Ujar Angkasa.

Septi menatap Angkasa. "Barang yang masih bisa dipakai dan masih bagus, kita kirim aja untuk panti asuhan. Sayang kalau cuma di buang begitu saja."

Angkasa mengacungkan ibu jarinya. "Setuju." Melirik kearah sekelilingnya. "Tugas kamu sekarang."

Septi tampak bingung.

"Kamu harus isi barang- barang yang hilang disini. Mau dirubah semuanya dari awal juga boleh." Angkasa mengenggam jemari Septi. "Senyaman kamu aja. Nantinya kalau kita sudah menikah kamar ini juga milik kamu. Jadi dari sekarang kamu yang mendesain ulang kamar ini."

Septi tersenyum. "Kamu yakin banget?"

"Sekarang aku sudah lebih yakin sama pilihan ku."

"Jangan berubah."

"Tidak akan, sayang-"

"Kamu kenapa enteng banget sih, sama kata- kata 'sayang'? Semudah itu kamu nyebut, sayang- sayang- sayang?"

"Mudah. Kalau itu kamu orangnya."

Septi mendengkus, tangannya sibuk mencepol rambutnya dengan asal. "Kamu salah minum apa pagi ini? Bisa tiba- tiba jadi pria penggombal."

Angkasa terdiam. Septi tidak mengetahui jika cepolan rambutnya membuat Angkasa mengerang. Menarik Septi dalam dekapannya. Menciumi bagian tengkuk serta leher Septi tanpa ampun.

Diperlakukan seperti itu, Septi hanya bisa menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Menahan suara desahannya keluar dari bibirnya. Nafasnya memburu. Hingga sebuah ketukan pada pintu kamar menyelamatkan dirinya dari dekapan Angkasa.

"Pengganggu." Angkasa melepaskan dekapannya, sambil berbisik di telinga Septi. "Nanti malam, kamu nggak akan lepas dari kamar ini."

***

"Mmm ... maaf ganggu, Mama minta kalian turun untuk ikut makan siang." Diana mengucapkan kata dengan canggung. Matanya melirik ke arah kamar, yang setengahnya hampir kosong. Diana mengetahui jika tempat yang kosong tersebut, sebelumnya diisi oleh barang- barangnya. Selagi menatap, matanya bertemu dengan mata Septi. Mengalihkan pandangannya, matanya berfokus pada leher Septi, ada beberapa tanda merah pada lehernya.

"Aku permisi. Segera turun karena Mama dan Papa sudah menunggu."

Angkasa hanya menganggukan kepalanya. Keduanya terlihat sangat canggung.

Septi yang sempat di tatap oleh Diana merasa risih. Tatapannya begitu menusuk. Kilatan mata Diana juga berubah ketika menatap lehernya. Dan benar saja kecurigaannya. Melihat ke arah cermin. Menarik nafas dalam- dalam. "Kamu apain lagi leher aku?"

Angkasa terkekeh. "Aku kasih cap, biar semua orang tahu kamu milik aku."

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang