Dengan perasaan terpaksa, Septi akhirnya menuruti permintaan Angkasa, lebih tepatnya permintaan Miranda. Septi sudah mengumpulkan segala perasaannya untuk membohongi orang tua Angkasa kembali. Jika kemarin ia harus berbohong secara mendadak, kali ini ia sudah mempersiapkan kebohongan dari sepulang kantor tadi.
Selesai pekerjaan mereka tadi, Angkasa juga melatihnya beberapa kata- kata agar kedua orang tua Angkasa semakin percaya dengan kebohongan mereka berdua. Beberapa kata yang di ajarkan Angkasa memang tidak asing, namun sungguh aneh jika ia melakukannya bersama Angkasa, mereka berdua bukan sepasang kekasih sungguhan. Agak geli untuk menyebutkannya.
Saat ini Septi sudah berada di tengah perjalanan bersama Angkasa. Di dalam mobil yang sama, mobil milik Angkasa, ia harus terjebak bersama dengan Angkasa dan hanya berdua saja. Lebih menyebalkannya lagi, jalanan malam ini tidak berpihak padanya. Septi yang ingin buru- buru menyelesaikan malam ini, malah terjebak macet di tengah perjalan.
Septi memilih bertahan diri untuk tidak menyentuh atau menyenggol apapun. Sebagai anak yang sangat aktif, tangannya selalu suka dengan lancang mengobrak- abrik barang yang bukan miliknya, bukannya ingin membuat tidak sopan atai kurang ajar, namun Septi memiliki tangan yang suka sok aktif. Apa saja selalu di pegang olehnya.
Namun karena pelajaran kemarin, Nadia lebih berhati- hati menggunakan tangannya. Ia tidak akan serudak- seruduk menyentuh apapun tanpa izin. 'Kapok say...'
"Tolong ambilin..."
Septi diam tidak bergeming.
"Saya susah, kamu dengar nggak sih?"
Nadia melirik dengan sinis. "Kalau lagi nyetir sendiri pasti lebih mandiri, sekarang anggap saya nggak ada disini."
"Kalau ada kamu di samping saya, buat apa saya susah- susah, tinggal minta tolong bantuan kamu."
"Kalau saya nggak mau?"
"Sept, ayolah, tinggal ambilin tissue diatas dasboard aja, nggak bikin kamu bangkrut."
"Nggak. Saya udah janji nggak akan nyentuh barang apapun."
"Yaampun Sept, gara- gara kejadian kemarin?"
Septi terdiam.
"Serius Sept, dari kemarin kamu ninggalin saya, diamin saya, sampai sekarang, gara- gara hal itu?"
Septi mengangguk.
Jika Septi memberikan jawabannya dengan mengangguk, maka Angkasa hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Septi.
Karena Septi tidak mengindahkan permintaan Angkasa, jadilah kemeja yang Septi gunakan menjadi elap untuk tangan Angkasa.
"Ihh kok jorok banget sih Pak, kemeja saya warna putih, ish ngeselin banget."
Angkasa hanya diam saja tidak bergeming.
Septi kembali memeperkan lengan kemejanya yang menjadi elap Angkasa tadi ke paha Angkasa. Tanpa memperhatikan apapun.
Angkasa yang merasa terganggu langsung menahan tangan Septi. "Gerakan kamu ganggu 'adek saya' dibawah sana, jalanan macet, kalau sampai bangun kamu menyiksa saya, tahu?"
Septi menatap Angkasa dengan takut- takut bercampur dengan tatapan sinis.
"Ini kalau sampai bangun beneran, kamu harus tolongin saya." Gumam Angkasa pelan, namun masih terdengar oleh Septi.
Septi ingin melepas pegangan tangan Angkasa, namun Angkasa menahannya, dan posisi tangan mereka masih berada di atas paha Angkasa.
"Lepasin nggak Pak? Saya nggak mau ya, tangan saya di jadikan bahan mesum untuk Bapak!"
"Eee ... eee Bapak mau ngapain?" Septi mencoba menarik tangannya kembali.
"Buat contoh, kalau tangan kamu berada disini, bukan disini." Tangan Septi diarahkan ke bagian sensitif Angkasa.
Karena merasa kesal Septi menggerakan tangannya dengan kencang, agar terlepas dari genggaman Angkasa, dan berhasil, tangannya sudah terlepas.
Angkasa hanya terkekeh melihat respon Septi, ketawanya tidak berhenti- henti. "Bercanda Septi, saya bosan sama macet, ternyata respon kamu bagus juga kalau di isengin."
"Auw- auw- auw sakiit ... pelan- pelan dong kalau mukul." Septi memukuli lengan Angkasa bertubi- tubi.
"Mana ada mukul orang itu pelan, apalagi mukul Bapak, harus kencang, kalau perlu pakai benda." Septi melihat sekelilingnya, namun tidak ada benda yang bisa ia jadikan alat, sampai matanya berhenti di highheelsnya, highheels setinggi 5cm dengan ujung yang lancip lumayan juga kalau bisa menancap di lengan Angkasa.
"Eeh, mau ngapain kamu, pakai lepas highheels gitu."
"Mukul Bapak pakai ini."
Angkasa kembali menahan tangan Septi ketika Septi sudah memegang highheelsnya. "Taruh- taruh- taruh bayaha, kalau ada setan lewat, itu bisa- bisa nancap di kepala saya."
"Biarin." Septi meletakan kembali highheelsnya, dengan tangan yang masih di genggam Angkasa.
"Begini lebih baik." Angkasa meletakan tangan Septi di atas pangkuan paha Septi sendiri. "Kamu tahu nggak sih, mobil ini kacanya gelap, dari luar orang nggak akan tahu kegiatan kita." Septi menatap Angkasa dengan tajam. "Orang- orang diluar sana mungkin sudah mikir kita yang nggak- nggak. Dengan keadaan macet, mobil berhenti, dan kita bergerak- gerak dari tadi, coba bayangkan, apa yang ada di pikiran mereka?" Angkasa menatap Septi geli. "Tahu nggak?"
Septi langsung mengernyitkan tubuhnya. "Itu pikiran Bapak aja yang mesum, saya yakin orang nggak akan mikir begitu?"
"Masa sih? Kamu aja berfikir begitu, masa kamu nggak?" Angkasa terkekeh.
***
Sudah selama satu jam mereka terjebak macet, namun mereka masih berada tidak jauh dari tikungan kantor. Jalan yang mereka lalui hanya melaju sebentar, lalu berhenti kembali, begitu seterusnya sampai sekarang.
Angkasa menyerah, ia tidak yakin akan sampai ke rumah orang tuanya pada jam yang sudah di tentukan. Melirik ke arah jam di dasboard sekarang sudah jam setengah delapan malam. Bisa- bisa mereka sampai rumah orang tua Angkasa jam sepuluh malam, apalagi melihat kondisi jalanan yang seperti ini.
"Kayaknya saya harus nelfon Mama, terpaksa kita harus batalin janji temu sama Mama."
Septi mengangguk setuju.
"Bisa sampai jam sepuluh kerumah Mama." Gumam Angkasa.
"Harusnya tadi nurut sama saya Pak, saya kan sudah bilang, kalau jalanan lagi macet- macetnya, di tambah lagi, arah rumah orang tua Bapak ada kecelakan truk, dan belum bisa di evakuasi. Nggak percaya sih." Septi memalingkan wajahnya, menyenderkan kepanya menempel pada pintu mobil.
"Iya- iya saya salah." Gerutu Angkasa.
"Udah gitu aja? Nggak mau minta maaf atau apa gitu?"
"Kenapa saya harus minta maaf, saya nggak sepenuhnya salah, kamu juga salah."
"Saya salah dimananya Pak?"
"Kalau kamu aja tadi nggak banyak alasan, kita sudah keluar kantor dan jam empat sore, dan mungkin nggak akan semacat ini, kita aja tadi keluar jam setengah tujuh, berartikan kamu yang salah."
"Kan Bapak yang ada meeting dadakan, kenapa jadi saya."
"Meeting itu bisa saya batalkan, kalau aja saya tadi sudah di luar kantor, dan posisi saya tadi masih di dalam kantor, dan itu gara- gara kamu."
"Terserah Bapak, memang Bapaknya aja yang susah mengeluarkan kata maaf, dari kemarin sampai kejadian sekarang, kayaknya berat banget ya ngucapin kata maaf aja."
Septi memberikan telapak tanggannya, saat Angkasa akan berbicara. Memejamkan matanya jauh lebih baik daripada melihat kemacetan dan mendengarkan ocehan Angkasa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Starting You
RomanceAngkasa Razel seorang CEO yang berhasil membuat permintaan kepada Septi Muara Sari di hari pertamanya kerja. *** Siapa yang sangka jika Septi Muara Sari harus bekerja menjadi seorang seketaris dengan atasan yang selalu mengambil keputasannya secar...