23. Balkon

1.5K 104 1
                                    

Septi meninggalkan Angkasa sendiri yang sudah terlelap dari tidurnya. Bergerak perlahan, sebisa mungkin memberikan sedikit gerakan. Ia butuh sendiri. Kejadian yang baru saja terjadi dihari ini, membuat dirinya susah tidur. Banyak hal yang terjadi di luar dugaannya. Dan satu hal yang paling ia hindari. Ketakutannya muncul di hari yang sama.

Tubuhnya terasa lelah. Namun ia enggan memejamkan matanya. Ia takut ketika membuka mata, Angkasa pergi meninggalkannya. Dan—ya, ia mulai mencintai Angkasa. Perasaan yang selama ini selalu ia singkirkan. Kali ini ia harus mengakui perasaannya, kalau ia sudah jatuh cinta pada Angkasa. Sosok yang selalu menaik dan menurunkan emosinya.

Berdiam diri di balkon bukan suatu hal yang buruk juga bagi Septi. Dulu sekali, sepertinya ia pernah melakukan hal yang sama. Berdiam diri di balkon ditemani dengan hembusan angin malam, yang membelai wajah dan rambutnya.

Dulu ia pernah berjanji tidak akan pernah melakukan hal yang sama seperti ini. Putus cinta hanya sekali saja sesuai dengan janjinya. Namun belum juga merasakan putus cinta, ia sudah membutuhkan hembusan angin.

Wanita itu memang istri dari Langit, kakak Angkasa. Namun tidak bohong, Septi meragukan itu. Tatapan matanya, saat menatap Angkasa terlihat menyimpan ribuan kerinduan. Walau Angkasa terlihat acuh, kata yang keluar dari bibir Angkasa 'istri Kakak ku, sekaligus mantan pacar ku', masih sangat terngiang di pikirannya.

Nada suara itu, terdengar begitu rapuh, begitu lemah dan—Septi tidak mau mengatakannya. Menarik nafasnya—ada rasa rindu, ketika Angkasa bersuara. Suaranya begitu lirih, membuat hatinya ... sakit.

Foto- foto kebersamaan mereka masih Angkasa simpan. Angkasa juga tidak mengizinkan siapa pun, untuk melihat atau menyentuh foto kebersamaannya bersama dengan Diana. Wajar jika Septi merasa takut, jika Angkasa meninggalkannya. Walau ia belum mengetahui drama seperti apa yang sedang ia lakoni, namun ia harus waspada. Ia harus pandai menjaga perasaannya.

Sebuah rangkulan tangan yang melingkari pinggangnya, membuat Septi terkejut. Pasalnya selama memikirkan nasibnya, Septi sama sekali tidak mendengar langkah kaki maupun suara pintu di geser. Sampai sepasang tangan ini, sudah melingkar sempurna di pinggangnya.

"Kenapa keluar? Nggak dingin?" Menyadari keterkejutan Septi, Angkasa membelai lembut lengannya. "Ngelamunin apa? Sampai aku datang kamu nggak sadar gini?"

Tidak merespon. Septi hanya terdiam. Belaian Angkasa di lengannya, sedikit mulai membuatnya merasa tenang.

"Kalau karena mikirin masalah tadi siang, besok aku akan cerita." Angkasa mengecup bahu Septi yang terbuka. Hembusan angin berhasil membuat salah satu bahunya terbuka. "Sekarang bukan waktunya aku bercerita. Pikiran aku lagi berantakan banget, dan kamu—mungkin dengan segala persepsi yang kamu buat, pastinya sulit untuk mempercayai ucapanku.

Mendengar ucapan Angkasa, Septi menolehkan wajahnya kesamping. Menatap Angkasa yang sudah merebahkan kepalanya di bahunya. Septi masih bertahan dengan keterdiamannya.

Septi medengkus. "Apa aku harus percaya?" Septi menggelengkan kepala. Mengganti kalimatnya. "Siapa yang harus dipercaya?"

"Aku." Jawab Angkasa penuh kepercayaan. "Aku yang harus kamu percaya, bukan keadaan yang baru kamu lihat." Angkasa seperti mengerti dengan kegundahan yang saat ini sedang dirasakan oleh Septi. "Jadi izinkan aku untuk bercerita, tapi tidak sekarang. Aku janji akan menceritakan semuanya dari awal dan sampai sekarang, dan bagaimana dengan perasaanku saat ini."

"Apakah suata yang menyakitkan untuk ku, pada akhirnya?"

Angkasa menggelengkan kepalanya. "No." Suara itu terdengar tenggelam. Lantaran, Angkasa sedang menenggelamkan kepalanya di tengkuk belakang Septi.

"Aku ngantuk banget." Manja Angkasa. "Aku nyariin kamu, mau meluk, tapi adanya cuma guling. Panik banget. Pas lihat gorden kebuka, aku leganya bukan main." Angkasa berbicara sambil terus menciumi tengkuk Septi. "Tidur ya ..." tidak membutuhkan persetujuan Septi. Angkasa langsung mengangkat Septi, menggendongnya ala bridal style menuju kasurnya.

***

Keterdiaman Septi masih berlaku sampai pagi. Ia enggan mengeluarkan suaranya jika Angkasa tidak memberikan pertanyaan. Suara yang keluarpun hanya sekedar iya dan tidak. Tidak ada kalimat tambahan yang selalu ia gunakan.

Semalam pun ketika di kasur, Angkasa selalu memancing suaranya dengan sentuhan- sentuhan ditubuhnya, sayangnya sama sekali tidak membuahkan hasil, Septi tetap menahan suaranya.

"Aku harus ngapain lagi sih, biar kamu bersuara? Aku sentuh pun semalam kamu nggak berdesah sama sekali. Aku hampir frustasi, kalau kamu nggak berdesah—" Angkasa menatap Septi dengan  mengerutkan dahinya. "—aku bisa gila kayaknya." Angkasa meletakan bubur ayam di depannya.

Angkasa sudah membuka bungkusan bubur ayam miliknya, namun Septi sama sekali tidak berniat membuka bungkusan bubur ayamnya. "Kamu harus makan, semalam kita nggak makan apapun. Aku yakin perut kamu pasti kelaparan."

"Serius deh, kamu mau makan sendiri? Atau, aku suapin kamu dengan cara yang tidak biasa?" Ancam Angkasa.

Cara yang tidak biasa itu ... Septi sepertinya pernah merasakannya. Angkasa menyuapinya menggunakan bibirnya, bukan sendok, dan ewwh ... Septi segera membuka bubur ayam miliknya dan menyendokan bubur tersebut ke dalam mulutnya dengan terpaksa. Satu atau dua sendokan sepertinya cukup untuk membuat Angkasa terdiam.

"Udah." Septi mendorongkan bubur ayamnya, tanda bahwa ia sudah selesai memakannya.

Tatapan Angkasa menajam menatapnya. Septi kira Angkasa akan memarahinya atau memberikan nasihat- nasihat seperti biasanya jika ia tidak habis menghabiskan makanannya. Namun kali ini berbeda. Angkasa lagi- lagi mewujudkan ancamannya.

Menyuapkan buburnya kedalam mulutnya, lalu ia berjalan kearah Septi, mendongakkan kepala Septi dan—bubur tersebut sudah berpindah kedalam mulut Septi. Angkasa menahan tengkuk Septi dengan tangannya. Ia tidak akan melepaskan tangan dan bibirnya sampai Septi menelan bubur tersebut. Menjijikan memang, namun itu langkah satu- satunya, agar Septi menghabiskan makanannya.

Septi mendorong lengan tangan Angkasa. Memaksanya untuk melepaskan dirinya. Dengan terpaksa ia menelan bubur tersebut. Hingga akhirnya Angkasa melepaskan dirinya.

"Mau makan sendiri? Atau mau aku suapin lagi?"

Tidak ada pilihan lain, Septi segera mengambil buburnya kembali, secara perlahan ia mulai menyuapkan kembali buburnya.

"Jadi penurut bukannya lebih baik?" Angkasa mengelus rambut Septi, sambil menunggu Septi menyuapkan kembali buburnya.

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang