Septi terbangun dengan tubuh yang— begitu melelahkan. Rasa- rasanya tulang berulangnya seperti ingin rontok semua. Bagaiman tidak, dalam waktu dua jam, Angkasa tidak berhenti dan tidak melepaskannya.
Kini waktunya ia untuk bangun dan bersiap mandi. Sebentar lagi waktu sudah menunjukan pukul enam sore. Namun, geraknya masih saja terbatas. Dibalik selimut yang menutupi tubuhnya, masih ada sepasang tangan yang melingkari tubuhnya dengan erat.
Septi melepaskan lingkaran tangan tersebut, sayangnya nihil. Bukannya melonggar, lingkaran tangan di pinggannya semakin mengetat. "Kamu udah bangun kan? Lepas, aku mau mandi."
Tidak ada suara jelas, hanya gumaman yang keluar dari bibir Angkasa.
"Badan aku remuk banget, dan kamu kekep begini, tambah sakit semua."
Angkasa membuka kedua matanya, dengan mata yang masih sayu, menjauhkan wajahnya dari leher Septi. "Bagian mana yang sakit banget? Aku cium biar sembuh." Ujar Angkasa, tanpa malu- malu. Lalu tangannya menunjuk ke arah bawah. "Yang ini kayaknya yang sakit ya?"
"Kamu tuuuh!" Septi menahan kepala Angkasa yang semakin turun ke bawah.
Angkasa terkekeh. "Becanda."
"Nggak lucu!" Septi menonjok lengan Angkasa.
"Mau aku gendong nggak ke kamar mandinya?" Angkasa sudah bersiap mengangkat Septi dalam gendongannya, namun Septi sudah lebih dulu melemparnya dengan bantal, jadi saat ini yang dalam pelukannya adalah bantal yang dilempar oleh Septi. "Haha, hati- hati jalannya, aku nggak akan ganggu kamu." Angkasa semakin terkekeh melihat Septi yang berlari memasuki kamar mandi.
Suara ketukan pintu yang terdengar membuat Angkasa memakai kembali pakaiannya. Namun, ketika ketukan pintu itu tidak berhenti- henti, Angkasa melupakan pakaian atasnya, dan segera membuka pintunya. Pakaian atasnya hanya bersandar rapih di legannya.
Ada raut wajah memerah menahan malu, dari si pengetok pintu. Angkasa juga tidak menutup tubuh bagian atasnya, ia justru sengaja membiarkannya begitu saja. Apalagi ia menyadari jika ada beberapa tanda merah bagian tubuh atasnya.
"Ada apa?" Tanya Angkasa.
Diana hanya terdiam, tidak mampu menjawab, fokusnya hanya pada kissmark yang berada di dada Angkasa.
Yaa, si pengetok pintu itu adalah Diana. Wanita yang saat ini, ingin ia tegaskan kalau- kalau dirinya sudah mampu untuk melupakannya.
Angkasa menyentuh lengan Diana, untuk menyadarkannya. "Kenapa?"
"Hmm, itu— eee, Mama nyuruh kalian siap- siap." Diana menjawab sambil terbatah- batah.
"Ooh, oke. Tunggu sebentar lagi, Septi lagi mandi, kalau kita mandi bareng yang ada bukannya makin cepet, malah makin lama." Tidak ada rasa malu- malu ketika Angkasa mengucapkan kata- kata tersebut. "Aku juga mau beresin kamar dulu, berantakan banget bekas tadi." Angkasa sengaja menggeser tubuhnya, agar Diana bisa melihat isi kamarnya yang begitu berantakan, serta pakaian luar dan dalam milik Septi yang masih berserakan di mana- mana.
"Kamu ..."
"Yaa, dulu sama kamu aku suka ragu, tapi kalau sama Septi aku yakin banget. Dan keyakinan itu berani aku ambil dan semakin aku merasa sangat bertanggung jawab kepada Septi." Angkasa mengelus pundak Diana. "Dan satu lagi, jangan pernah lagi menemui aku di malam hari, karena ajakan kamu untuk pergi lari, tidak akan berguna lagi. Hatiku sepenuhnya sudah diisi oleh Septi. Dan tidak ada yang bisa merubahnya."
Angkasa menutup pintu kamarnya. Meninggalkan Diana yang diam pasif dengan wajah memucat. Bagaimana tidak, ajakannya pada malam itu untuk pergi secara diam- diam, dibalas begitu sakit oleh Angkasa. Angkasa telah menolaknya mentah- mentah tanpa memikirkan perasaannya sedikit pun. Angkasa yang dulu sangat mencintainya, kini tidak ada lagi.
***
"Ya, udah saya kirim gambarnya. Saya mau persis yang seperti itu."
".................."
"Proses lamaran di paginya, siang hari langsung aja ke akad, malamnya langsung ke resepsi."
"...................."
"Harusnya cukup waktunya, saya mempercayai ini ke kalian, karena saya yakin kalian mampu memenuhi kemauan saya."
"..................."
"Saya tunggu lagi kabarnya H-2, H-2 sudah benar- benar selasai." Ucap Angkasa tegas. Pas sekali, Angkasa mematikan sambungan telfonnya ketika Septi keluar dari kamar mandi.
"Aku nggak bisa pakai baju yang Mama udah siapin." Ujarnya sedih.
Angkasa menghampiri Septi. "Kenapa?"
Septi mendengkus. "Pakai nanya lagi. Leher aku, tengkuk aku, kamu bisa lihat kan? Pakaian yang Mama kasih kerahnya lumayan terbuka, dan nggak mungkin aku pakai dengan keadaan begini."
"Keadaan begini, gimana? Bagus kok. Ada motif jadinya." Angkasa menahan pukulan dari Septi secara bertubi- tubi dengan lengannya. "Iya- iya aku becanda."
"Aku maluuu, kesannya aku wanita murahan banget."
"Siapa yang bilang? Kamu wanita yang terlalu mahal banget buat aku."
"Tapi dengan mudahnya, aku—"
"Ssst." Angkasa mencium bibir Septi. "Kenapa ribet banget sih, jadi panjang kemana- mana. Kamu bisa pakai hoodie aku. Nanti aku yang cari alasan ke Mama."
"Hmmm." Septi bergumam, wajahnya menempel di dada dalam pelukan Angkasa.
"Kalau nurut gini, makin pingin ngurung kamu."
"Ish.' Septi memukul dada Angkasa. "Mandi sana. Udah mau jam tujuh." Angkasa mengangguk cepat, mencium kening Septi. Lalu, segera masuk ke dalam kamar mandi.
***
Sesuai dengan janjinya tadi. Angkasa terus menjawab desakan Miranda yang menanyakan Septi, yang tidak menggunakan pakaian pemberiannya.
Seakan tidak puas dengan jawaban Angkasa yang mengatakan Septi kedinginan setelah mandi, Miranda langsung menempelkan telapak tangannya di kening Septi.
"Yaa, agak anget sih. Aduuuh, Mama buat kamu kecapean ya?" Miranda megenggam tangan Septi.
"Nggak kok Ma—"
"Bukan Mama yang bikin Septi kecapean, tapi aku." Angkasa langsung memotong ucapan Septi. Dan langsung mendapatkan pelototan dari Miranda.
"Jangan macem- macem ya kamu! Awas kalau kamu nikahin Septi karena—"
Lagi- lagi Angkasa memotong ucapan lawan bicaranya. Kali ini Miranda. "Sebelum itu terjadi, Angkasa udah nikahin Septi duluan, walaupun Septi maunya nanti- nanti Angkasa akan paksa."
"Kebiasaan sukanya maksa." Miranda meninju perut Angkasa.
Dibalik itu semua Miranda tidak tahu, jika apa yang Angkasa ucapkan adalah kalimat fakta. Angkasa akan berusaha meyakinkan Septi untuk segera menikahinya. Karena Angkasa tahu, dua hari ini ia tidak menggunakan pengaman. Dan sesuatu bisa saja terjadi lebih cepat, di luar dugaannya.
***
*Jangan lupa Vote ya dari kalian ya, karena Vote dari kalian membuat aku semakin semangat nulis ....
Jangan lupa juga lupa Follow nya ya...
Selamat membaca, semoga kalia suka ...*
Love you All ♡♡♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Starting You
RomanceAngkasa Razel seorang CEO yang berhasil membuat permintaan kepada Septi Muara Sari di hari pertamanya kerja. *** Siapa yang sangka jika Septi Muara Sari harus bekerja menjadi seorang seketaris dengan atasan yang selalu mengambil keputasannya secar...