45. Kangen

1.3K 72 2
                                    

Septi menjadi orang pertama yang terbangun dari tidurnya. Setelah perdebatan keduanya mereka hanya benar- benar tertidur tanpa melakukan hal apapun. Hanya ada tangan yang melingkari pinggang Septi sebagai kebiasaan Angkasa, ketika mereka tidur bersama.

Di saat Septi ingin melepaskan pelukan Angkasa, tubuhnya malah semakin terasa mengerat. Walau masih dalam keadaan mata tertutup, Angkasa seakan tidak mau Septi terlepas dari pelukannnya. Angkasa justru semakin membawa Septi mendekap semakin dekat kearahnya.

Sebelum membuka kedua matanya, Angkasa lebih dulu mencium kening Septi. Ciuman di kening Septi begitu terasa hangat dan merindu. Angkasa melirikan matanya ke arah jam yang terletak di dinding. "Masih pagi banget." Kembali Angkasa menelusupkan wajahnya di leher Septi.

Septi ikut menatap jam di dinding. Septi mendengkus. "Iya tapi aku harus mandi, habis itu aku harus balik lagi ke apartemen, ganti baju, lalu berangkat kerja, dan itu memerlukan banyak waktu."

"Atasan kamu aja masih ada disini, dikasur yang sama, sama kamu. Apa yang perlu kamu takutin? Dan jangan merasa untuk tidak enak." Suara Angkasa terdengar seperti gumaman karena bibirnya yang masih tertahan di leher Septi. Menimbulkan rasa geli bagi Septi.

"Atasan yang tiga hari terakhir ini tidak pernah dateng ke kantor?" Sindir Septi.

Angkasa terkekeh. Mencium kening Septi, lagi- lagi membenamkan wajahnya ke leher Septi kembali. "Lebih baik aku menghindari kamu, daripada harus berdebat sama kamu."

"Nggak ada bedanya kan? Ketemu kamu, akhirnya kita juga berdebat lagi. Jadi, nggak ada ngaruhnya mau kamu menghilang sebulan pun, kita pasti akan berdebat."

"Yah nggak akan sampai sebulan juga, sayang ... kamu mau bikin aku mati karena terlalu kangen sama kamu?"

"Nggak ada orang mati cuma gara- gara kangen."

"Tiga hari aku menghilang dari kamu aja, aku rasanya udah mau mati, Septi ..."

"Setidaknya kamu bisa ketemu wanita lain? Untuk ngobatin rasa rindu kamu."

Angkasa melonggarkan pelukannya. Menatap Septi penuh tanda tanya, dan ada rasa sedikit rasa tidak suka ketika ada kata sindiran yang keluar dari bibir Septi. "Wanita mana?" Tanya Angkasa.

"Yah ... barangkali aja, ada wanita yang kamu temui di luar sepengetahuan aku."

"Nggak usah mikir yang aneh- aneh. Tiga hari aku nggak nemuin kamu, bukan berarti aku nemuin wanita lain."

"Yaudah oke. Aku milih percaya aja sama ucapan kamu. Mau iya atau tidak, yang tahu juga kamu sendiri kan? Aku di bohongin pun nggak akan pernah tahu."

"Jangan memulai perdebatan Septi ... bisa aja aku menanyai hal yang sama, sama kamu, tapi aku nggak mau. Karena aku percaya sama kamu. Dan untuk kejadian tadi malam antara kamu dan-"

"Rian?" Septi menimpali ucapan Angkasa. "Dia mantan pacar aku, kalau kamu penasaran. Aku hampir menikah dengannya." Septi melirik Angkasa yang semakin melepaskan pelukannya di tubuh Septi.

"Aku mau ke kamar mandi." Angkasa turun dari ranjang, meninggalkan Septi sendiri.

***

Setelah keduanya mandi dan sarapan, Angkasa check out dari hotel yang ia tempati tiga hari terakhir ini. Dengan membawa Septi kembali ke apartemennya.

"Kita nggak ke kantor?" Septi heran, jalan yang Angkasa pilih sangat berbeda dengan jalan menuju kantor mereka. Jalan yang di lewati, justru mengarah ke apartemen Angkasa.

"Nggak ada kerjaan penting kan? Kerjaan di kerjain aja dari apartemen. Aku lagi males ketemu banyak orang. Aku cuma lagi pingin berduan aja sama kamu."

Septi mendengkus. "Dikantor kamu juga bakalan di dalam ruangan, yang udah- udah kamu bakalan nyuruh aku ke dalam ruangan kamu, dan nggak ijinin aku keluar ruangan. Sama aja kan?"

"Bedalah. Kalau di kantor kamu susah di ajak mesra- mesraan, kalau di apartemen aku bebas sama kamu." Tangan Angkasa menjulur ke bibir Septi, mengelusnya dengan lembut. "Kangen banget ..."

"Mesum."

"Sama kamu doang, ya nggak apa- apalah. Yang nggak boleh kan sama wanita lain."

"Berisik!"

Angkasa terkekeh, mengacak rambut Septi, lalu mengelus pipi Septi yang mengembang menahan kesal.

"Kenapa pacar aku gemesin banget sih?"

Septi menatap Angkasa sinis. "Kamu kesambet apa sih? Aku takut jadinya."

"Haha." Kekeh Angkasa.

"Lihat kedepan, jangan lirik- lirik kesini, fokus aja nyetir, ini juga tangannya, jangan pegang- pegang." Septi menyingkarkan tangan Angkasa yang sudah masuk ke dalam blouse yang ia gunakan.

Sesampainya di apartemen Angkasa benar- benar sibuk dengan pekerjaannya. Ia tidak bisa sedikit pun untuk di ganggu. Laptop dan tabletnya sudah berjejer rapih di meja kerjanya. Meski sedang melakulan kerja secara daring dengan laptop, di tangannya juga tidak lepas dari tablet.

"Kalau memang banyak kerjaan kenapa tidak datang aja ke kantor, kenapa harus repot- repot bekerja secara daring kayak gini?" Septi yang tidak bisa mengajak Angkasa berbicara, akhirnya menuliskan sebuah kalimat di atas kertas dan ia berikan langsung kepada Angkasa.

Angkasa tersenyum menatap Septi yang berdiri di depannya sambil melipat kedua tangan di dadanya. Hanya ekspresi tidak percaya yang terlihat dari wajahnya.

Angkasa menggerakan bibirnya tanpa bersuara. "Sebentar." Ucapnya. Mengangkat tangan dan memberikan tanda lima di jarinya, yang menandakan Septi harus menunggu lima menit lagi untuk waktunya.

Bukan Septi namanya jika tidak mengomel dalam satu hari saja. Setelah Angkasa menyelesaikan pekerjaannya, kecerewetan Septi siap untuk di keluarkan.

"Jangan ngomel sekarang, aku laper banget." Potong Angkasa sebelum Septi siap berbicara.

Dengan wajah cemberut, Septi meletakan masakan yang ia masak sendiri selama menunggu Angkasa bekerja.

"Tau nggak sih, ngelihat keadaan kita sekarang yang kayak gini, benar- benar kayak pasangan suami istri. Aku kerja, kamu masak. Setelah aku selesai kerja, aku keluar dari ruangan, terus ngelihat istri ku lagi menata meja makan dengan hasil masaknya." Angkasa tersenyum seakan sedang membayangkan khayalannya menjadi nyata.

"Nggak usah jadi suami istri dulu, dari kemarin aku juga udah ngelakuin ini semua, bahkan sampai ke masalah ranjang juga begitu, kan?"

"Haha, iya iya sayang. Yaudah sekarang duduk, kita makan-" Angkasa berfikir. "Ini kita jatuhnya sarapan atau makan siang?"

"Makan siang. Tadi pagi aku kasih kamu bubur, kamu yang nolak."

"Bosen. Dari kemarin aku makan bubur setiap pagi. Besoknya bubur lagi. Kalau siang sampai sore, nggak sempet mesen. Jadi, setiap pagi selalu makam bubur sampai tiga mangkuk."

Septi menggelengkan kepala. "Kenapa nggak mesen, di hotel pasti menyediakan makanan yang bisa di anter ke kamar."

"Males, nggak sempet juga. Biasanya makanan selalu kamu siapin, kalau nggak ada kamu, aku jadi males ngapa- ngapain." Angkasa menyuapkan makanannya kedalam mulut. "Masakan kamu yang paling aku kangenin."

"Yaudah ditambah lagi." Gumam Septi.

"Pasti." Angkasa memberikan ibu jarinya untuk Septi.

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang