19. Pantry

2.1K 114 2
                                    

Pagi- pagi sekali Septi sudah sampai di kantor. Di saat belum ada teman- temannya yang datang. Septi memilih menyibukan dirinya di pantry untuk membuat teh manis hangat. Seperti sudah menjadi kebiasaannya. Teh manis hangat akan menemaninya ketika ia mengawali waktu kerjanya.

Ia sengaja tidak meminta bantuan Mang Tatan untuk membuat kan tehnya, lantaran ia menyukai suasana pagi yang sepi di pantry. Dan di jam- jam segini, Mang Tatan masih sibuk bersih- bersih di ruangan Angkasa.

Septi tersentak kaget saat merasakan sebuah tangan melingkar pada perutnya. Mengusap terus perut itu, tanpa mengizinkan sang punya perut tersebut melawan.

Walau sempat tersentak ia mengetahui siapa yang telah memeluknya dari belakang saat ini. Harum tubuhnya sudah sangat tidak asing di indera penciuman. Bukan hanya di indera penciumannya saja. Bahkan respon tubuhnya juga sudah terbiasa mengimbangin usapan tangan milik Angkasa.

"Kamu ninggalin aku pagi- pagi?" Angkasa mencium tengkuk Septi, sebelum merebahkan kepalanya di bahu Septi.

Subuh- subuh sekali saat Angkasa berada dikamar mandi, Septi meninggalkan Angkasa tanpa pesan. Sengaja meninggalkan Angkasa lantaran, tidak ingin apa yang mereka lakukan semalam, terulang lagi di waktu subuh ini. Septi jelas mengenal siapa Angkasa. Jika sekali saja Septi mengizinkan Angkasa, maka Septi harus siap ketika Angkasa memintanya berkali- kali.

"Lepas. Kita lagi di kantor." Septi memaksa Angkasa untuk melepaskan kedua tangannya yang masih setia di perutnya.

"Belum ada yang datang."

"Siapa yang tahu? Kita nggak tahu didepan siapa yang datang."

"Bukannya jauh lebih baik jika ada yang tahu, jadi kita nggak perlu ngumpet- ngumpet lagi." Angkasa semakin menelusupkan wajahnya di leher Angkasa.

Cekrek

Suara handle pintu terdengar memaksa untuk di buka. Septi mengerdikan bahunya, meminta Angkasa untuk melepaskan pelukannya.

"Aku kunci pintunya." Suara Angkasa terdengar jelas di telinganya.

***

"Mbak tadi kemana? Tahu nggak pintu pantry tadi ke kunci. Mang Tatan aja nyerah bukanya." Gumam Sari yang mendatangi Septi di mejanya.

Septi teringat kembali dengan ucapan Angkasa tadi di pantry, jika Mang Tatan sudah diajaknya bekerja sama. Septi kira Angkasa bukan orang yang santai. Nyatanya ia juga harus bekerja sama dengan Mang Tatan agar pantry tidak dapat dibuka.

"Nggak tahu. Sakit perut, lama di toilet." Jawab Septi santai.

"Tapi aku curiga deh Mbak? Mang Tatan ngelarang Agung untuk telfon teknisi, alasannya nggak tepat aja. Takutnya nih ya Mbak, ada pegawai yang berbuat mesum di pantry."

Mendengar ucapan Sari. Hampir saja Septi menyemburkan air yang ia minum. Demi menutupi kegugupannya, ia harus rela menelan air yang tidak berhenti ia minum.

"Mbak ihh ... hampir aja nyembur kena aku." Sari sudah waspada menutupi wajahnya. "Mbak kaget banget begitu, kenapa sih? Curiga aku."

Septi menelan air yang berada di mulutnya secara perlahan. "Nggak aku kaget aja sama omongan kamu. Sembarang banget! Masih pagi pikiran udah kemana- mana aja."

"Habisnya ngapai coba Mbak ... tadi pas aku tanya Mang Tatan, benar kan? Ada yang ngunci dari dalam."

Kali ini Septi harus terbatuk- batuk, ketika menelan air minumnya.

"Udah sana balik! Makin ngaco aja kamu. Mau lihat Pak Angkasa ngamuk lagi kamu?"

"Nggak deh Mbak. Aku balik aja ke mejaku. Daripada kena semprot, pulang malam, banyak tugas—"

"Tugas apa?" Bukan lagi suara Septi yang bertanya.

"Iii- ni Pak, tugasnya Mbak Septi, katanya butuh bantuan Bapak."

"Aku?"

"Mbak udah ya Mbak, aku balik dulu. Ngajakin aku ngobrol mulu nih si Mbak. Misi ya Pak, jangan galak- galak sama Mbak Septi."

"Sari nggak tahu aja kalau kamu digalakin suaranya berubah menjadi desah—"

"Auw- auw- auwww." Angkasa meringis karena cubitan Septi di pinggangnya. "Sakit sayang."

"Buat suatu alasan, mereka ngelirik ke arah sini." Septi memperhatikan teman- temannya yang memandang ke arahnya dan Angkasa.

***

"Cubitan kamu masih terasa banget di pinggang. Ninggalin bekas ya kamu?"

"Makanya jangan suka macam- macam. Sengaja banget narik emosi aku."

"Salahnya dimana sih? Memang benerkan kalau di galakin erangan kamu makiiiiiin merdu ..."

"Mau aku cubit lagi? Sekarang sebelah kiri biar impas." Ucap Septi sambil bersiap berancang- ancang memberikan cubitannya.

"Kita lagi dijalan ya. Kalau aku jadi nggak konsentrasi gara- gara cubitan kamu, bisa bahaya."

"Makanya nyetir aja yang benar, nggak usah macam- macam."

"Iya sayang. Satu macam aja seperti semalam. Tapi besok- besok bermacam- macam ya ..."

"Sengaja—" Angkasa menahan tangan Septi. Untungnya mereka sedang berhenti karena lampu merah. Sehingga Angkasa bisa menahan tangan Septi.

"Tangan ini nggak bagus kalau untuk cubitin pinggang aku. Bagusnya aku cium." Angkasa membawa tangan Septi mendekati bibirnya. Sambil menunggu lampu menjadi hijau. Angkasa terus mengecup punggung tangan Septi sampai lampu menjadi hijau kembali.

"Ngomong- ngomong benaran ini kita nggak perlu bawa apa- apa?"

"Hmm." Angkasa hanya memberikan dehemannya. Sudah empat kali totalnya pertanyaan Septi yang sudah ia jawab sedari tadi.

"Kok cuma 'hmm'?"

"Jawabanny sama Septi, seperti pertanyaan kamu sebelumnya, sebelumnya dan sebelumnya." Angkasa mengusap kepala Septi. "Mama nggak mau kamu jadi repot, dia cuma mau kamu nginap dirumah."

"Tapi kebangetan nggak sih? Setengah dua belas malam kita baru jalan ke rumah Mama." Septi sudah membiasakan dirinya menyebut orang tua Angkasa dengan panggilan Mama di depan Angkasa. Dari sebelumnya ia memanggil 'tante' di saat berdua saja dengan Angkasa.

"Mama udah biasa. Aku pernah datang jam dua malam. Mama oke- oke aja."

Septi menarik nafas. "Kamu anaknya ya! Dan aku—"

"Menantu kesayangan Mama." Potong Angkasa.

Septi menipiskan matanya menatap Angkasa. "Tapi kamu kebangetan banget jam dua malam pulang ke rumah. Kalau aku jadi Mama—"

"Kamu nggah usah jadi Mama. Kamu jadi istri aku udah sangat cukup kok Septi... "

"Ish—nyebelin banget."

"Haha." Kekeh Angkasa.

"Mama lebih senang aku datang jam dua malam, daripada aku nggak datang sama sekali ketika dia telfon aku." Angkasa mengusap punggung tangan Septi. "Jadi nggak perlu kamu pikirkan perasaan- perasaan kamu yang nggak enak itu."

"Trust me Sept."

"Hmm."

"Dibalas nih jadinya pakai 'hmm'?"

"Apaan sih! Nyetir aja yang benar."

"Siap Nyonya Angkasa."

"Geli ah—"

"Harus terbiasa dong sayang ..."

Septi menutup kedua telinganya. Terasa merinding mendengar gombalan yang di berikan oleh Angkasa untuknya. Walau sebenarnya tidak membohongi hatinya. Ia selalu senang ketika Angkasa menggoda dirinya. Namun terkadang ia merasa takut. Takut jika ini hanya sementara.

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang