Rasanya Septi ingin buru- buru kabur dari meja kerjanya. Setelah berhasil menyelesaikan tumpukan dokumen kerjaannya, bukannya berkurang malah semakin bertambah. Septi jadi curiga, dengan apa yang di kerjakan oleh Angkasa selama ini, sebelum dirinya datang.
Apa Angkasa yang tidak becus mengerjakan pekerjaan ini, atau memang selama ini dia tidak mendapatkan seketaris yang rajin atau para seketaris itu yang tidak cocok dengan Angkasa. Ia tidak mengetahui dimana letak salahnya. Namun jika melihat seperti ini, Angkasa-lah seharusnya yang salah, bisa di lihat dia tipe orang yang menumpukan pekerjaannya.
"Mau kemana? Saya kan sudah bilang kalau kita lembur hari ini." Angkasa sudah berada di depan meja kerjanya, bersama dengan tumpukan- tumpukan kertas.
Septi banya bisa melongo melihat tumpukan kertas itu di tumpukan di meja kerjanya. "Nggak ada yang lebih banyak lagi Pak tumpukannha?" Tantang Septi.
"Tenang masih ada, yang ini kerjakan dulu, sumpek saya lihatnya."
"Ck." Septi berdecak. Lalu melewati Angkasa begitu saja.
"Ini dikerjakan, malah kabur lagi ..."
"Siapa yang kabur sih Pak, cobaan banget deh. Saya mau ambil kunci mobil di teman saya, hari ini saya lembur, yang nggak tahu, bisa pulang jam berapa, saya cuma takut saja, nanti sudah tidak ada kendaraan umum." Tantangnya.
"Nggak usah di ambil kuncinya, biar teman kamu saja yang bawa mobilnya."
"Nggak bisa Pak, dia juga pulang sama temannya, kalau nggak saya ambil kuncinya, nanti saya susah pulangnya."
"Nggak usah diambil saya bilang." Angkasa menahan pergelangan tangan Septi.
"Apaan sih Pak, kenapa jadi atur- atur saya begini."
"Saya yang nyuruh kamu lembur, berarti saya juga yang akan antar kamu pulang."
"Nggak perlu Pak, saya masih punya kendaraan."
"Saya, nggak kasih izin."
"Buat apa saya izin sama Bapak."
"Jangan membantah saya!"
"Ish. Terus mobil saya, siapa yang bawa kalau begitu?"
"Tinggal saja di kantor, besok pagi ketika berangkat saya jemput lagi."
"Nggak-" Angkasa memotong ucapan Septi dengan menutup bibirnya menggunakan jari telunjuknya.
"Duduk dan kerjakan saja, pekerjaan kamu, tidak ada bantahan."
***
Septi melirikan jam di tangannya, saat ini sudah menunjukan pukul setengah sebelas malam. Tiba- tiba sekujur tubuhnya terasa merinding. Ia melirikan matanya ke seluruh ruangannya. Sepi tak berhuni, selain dirinya, lampu- lampu juha sudah pada mati, hanya lampu di atas mejanya saja yang masih menyala. Untung saja pendingin ruangan masih di nyalakan, kalau nggak, tidak tahu betapa engap dirinya.
Yang lebih menyeramkannya lagi adalah ia disini, di lantai ini, di ruangan ini, ia hanya berdua saja dengan Angkasa, itu yang lebih menakutkan baginya. Mengingat hal itu, tubuhnya semakin merinding, bulu kuduknya berdiri semua. Ia mengelus- elus kedua tanganya untuk mengurangi rasa merindingnya. Ia tidak tahu lagi harus berada disini sampai berapa lama lagi. Tidak ada tanda- tanda dari Angkasa yang akan pulang.
Septi berulang kali merikan matanya, ke arah ruangan Angkasa. Namun sama sekali tidak ada pergerakan sedikit pun. Daripada mengharapkan yang tidak pasti, Septi memilih untuk mengerjakan dokumennya kembali, ketimbang ia diam saja, dan merasakan ketakutan yang semakin- makin.
Entah terlalu fokus atau apa. Ia sama sekali tidak menyadari jika sudah ada seseorang yang bersandar pada mejanya. Jantungnya benar- benar bedeguk sangat kencang. Apalagi ketika orang itu mengeluarkan suaranya. Rasanya nafasnya benar- benar tercekik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Starting You
RomanceAngkasa Razel seorang CEO yang berhasil membuat permintaan kepada Septi Muara Sari di hari pertamanya kerja. *** Siapa yang sangka jika Septi Muara Sari harus bekerja menjadi seorang seketaris dengan atasan yang selalu mengambil keputasannya secar...