48. Pemenang

1.1K 94 6
                                    

Seharian ini Angkasa di buat uring- uringan oleh Septi. Bagaimana tidak, Septi yang hanya izin sebentar meninggalkannya, nyatanya belum kembali. Di hubungi pun, panggilan telfonnya di alihkan.

Ditambah kesal lagi, sang Mama yang menghubunginya terus menerus memintanya untuk datang kerumahnya. Hanya makan malam biasa, namun sang Mama terlalu kekeh menyuruhnya datang. Tidak taukah, jika Angkasa saat ini sedang resah. Resah memikirkan Septi yang tidak ada kabarnya.

Berbagai ancaman telah Angkasa kirimkan untuk Septi. Layaknya seorang penjahat ia mengirimkan berbagai ancaman untuk Septi melalu pesan. Namun tetap saja, tidak ada balasan sama sekali.

"Ingat, jam tujuh malam Mama tunggu, tidak ada bantahan sama sekali."

"Ma ..."

"Apa sih, kamu tuuh. Bantah mulu, susah banget kalau Mama minta kamu dateng, cuma makan malam lho ... gimana Mama minta tolong yang lain."

"Bukan begitu. Aku mau dateng, tapi ..." Angkasa menghela nafasnya. "Dari tadi Septi susah banget di hubungi, gimana aku bisa makan tenang, kalau seharian ini aja, kabarnya nggak ada."

"Mama cuma minta kamu dateng, nggak perlu ngajak Septi."

"Mama ngertiin aku dong, walaupun Mama nggak ngajak Septi, setidaknya aku butuh kabar darinya, seharian ini Septi nggak ngehubungin aku sama sekali."

"Nggak mau tahu, kamu harus dateng jam tujuh teng, Kakak kamu aja bisa dateng. Apapun itu, Mama nggak butuh alasan kamu."

***

Miranda mematikan sambungan telfonnya, tanpa memerlukan jawaban dari Angkasa. Angkasa tidak tahu saja, jika di tempatnya Miranda sedang tertawa. Setelah berakting tadi, dan menahan tawanya, akhirnya ia bisa mengeluarkan tawanya dengan puas. Bahkan ia sampai mengeluarkan air matanya.

"Ma, Mama nangis?" Septi menyentuh pundak Miranda, tidak sengaja ia melihat Miranda yang sedang mengusap air matanya berulang kali.

"Apa wajah Mama kelihatan seperti orang bersedih?"

Septi menyelami wajah Miranda. Menggelengkan kepalanya. Tanpak berfikir, mengerutkan keningnya. "Nggak sih Ma, justru kebalikannya. Mama nangis bahagia, atau gimana?"

"Bahagia. Bahagiaaaa, sekali." Ujarnya, mengenggam tangan Septi. "Kamu tahu, Mama puaaas banget."

Septi semakin mengerutkan keningnya.

"Baru kali ini, rasa- rasanya Mama berhasil ngisengin Angkasa. Biasanya anak itu kan, yang selalu ngerjain Mama, sekarang gantian Mama yang ngisengin anak nakal itu."

"Mama ngisengin apa memang?"

"Yaa ... dengan ngumpetin kamu disini, dan melarang kamu memegang ponsel, seharian ini dia ngehubungin kamu, dan nggak kamu bales kan jadinya." Miranda tertawa puas. "Terus tadi Mama telfon Angkasa, maksa dia dateng, nggak peduli dengan masalahnya apa, yang penting dia harus dateng untuk makan malam."

"Ma ... ya ampun. Ujung- ujungnya aku yang akan kena jadi sasarannya Angkasa."

"Nggak apa- apa, sesekali anak itu harus di bikin susah, jangan di bikin senang terus. Nanti, kalau kamu di apa- apain, aduin aja sama Mama, nanti Mama yang maju. Oke?"

"Haha, siap Ma." Septi memberikan tanda hormat, menyetujui ucapan Miranda.

"Yaudah sambil nunggu cake kamu matang, kamu istirahat, mandi bersih- bersih. Dikamar Angkasa aja, udah Mama siapin pakaian baru juga untuk kamu disana, Mama juga mau mandi dulu. Keburu Papa pulang, masa nanti Papa lihat Mama dekil begini sih, nggak banget kan?"

Septi terkekeh melihat Miranda yang masih memikirkan penampilan di depan suaminya. Padahal pernikahan mereka sudah berpuluh- puluh tahun.

Terdiam, memikirkan dirinya yang terlalu cuek dengan penampilanya. Bahkan ada waktu ia tidak peduli, jika Angkasa menemukannya dengan keadaan yang belum mandi seharian. Baginya, selama Angkasa tidak melakukan protes, itu masih baik.

***

Setelah memastikan cake masakannya sudah matang, dan hanya menunggunya dingin. Septi melangkahkan kakinya ke kamar milik Angkasa, sesuai dengan intruksi Miranda.

Kamar, yang menurutnya memiliki history buruk baginya. Septi sempat terdiam, dengan tangan yang menempel pada handle pintu. Cukup ragu untuk membuka kamar tersebut.

Namun, bukannya ia menemukan keraguan dalam dirinya, justru ia menemukan kekagetan yang luar biasa. Bagaimana tidak, ia harus melihat seorang wanita yang sudah lebih dulu memasuki kamar Angkasa.

"Aku nggak nyangka, ternyata pengaruh kamu kuat juga ya, untuk Angkasa."

Diana. Diana lah wanita yang saat ini sedang berada di kamar Angkasa.

"Dan, yaa... seharusnya kamu malu dengan sikap kamu yang seperti ini." Jawab Septi.

"Kalau aku masih bisa merebut Angkasa kembali, kenapa tidak?"

"Mungkin hanya akan ada di mimpi kamu!"

"Aku akan buktikan, karena aku yang pertama ada di kehidupan Ang—"

Septi memotong ucapan Diana. "Mungkin kamu yang pertama, dan aku nggak akan mengelak sama sekali. Namun, ada hal yang harus kamu ketahui." Septi menatap Diana tajam. "Aku yang akan menemani kehidupan Angkasa setelahnya dan selamanya."

"Kalau kamu lupa, pintunya sebelah sini." Septi membuka kan pintu kamar Angkasa. Mengusir Diana dengan sebuga isyarat. "Oh, ya... jangan lupa, daripada kamu ngurusin pria lain, ada suami kamu yang kamu nikahin yang perlu kamu urus." Ucapan Septi keluar begitu saja, ketika Diana tepat berada di depannya.

Diana tidak dapet membalas ucapannya sdikitpun, selain sudah tidak dapat berkata apa- apa, sebuah panggilan berupa namanya yang membuatnya harus mendatangi suara tersebut, yang tidak lain adalah suaminya.

Dan mengenai keberaniannya, jiwa- jiwa semasa sekolahnya yang selalu hidup dengan keberanian, akhirnya kembali lagi. Keberaniannya harus kembali untuk melindungi apapun yang ia miliki saat ini. Karena jelas, Septi tidak mau apa yang ia miliki saat ini, akan di ambil oleh orang lain.

***

Septi melihat sekelilingnya.

Perdebatannya dengan Diana tadi, berhasil menghilangkan keraguannya. Seakan setuju dengan ucapan Diana tadi, Septi melihat banyak sekali perbuhan dari kamar Angkasa dari sejak ia melihatnya.

Benar saja, tidak lagi ada foto Diana satupun yang terpasang di dinding maupun di meja kerja Angkasa, semua foto sudah tergantikan dengan wajahnya.

Seutas senyum tergambar dari wajahnya, berbarengan dengan suara pintu yang terbuka dan tertutup dengan suara pintu yang terkunci, di belakang sana.

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang