17. Tidak ada Kabar

2K 120 2
                                    

Sudah Jum'at lagi,
Happy weekend ya ...
Jangan lupa vote-nya
Love u all  💕




***



"Mbak, are you ok. Kan?" Tanya Asma. Teman- temannya berhasil manarik Septi dari kursi kemalasannya.

Biasanya disaat pagi Septi datang lebih cepat dan sudah menduduki kursi kebesarannya, Septi tidak akan mau beranjak dari kursinya. Apalagi jika tahu Angkasa belum berada di tempatnya. Septi akan setia menunggu kedatangan Angkasa, barulah ia akan bisa meninggalkan kursinya.

Alasannya bukan karena ia benar- benar ia menunggu Angkasa. Namun Angkasa akan menjadi orang yang resek jika kedatangannya tidak disambut olehnya. Angkasa bisa mengirimkan pesan dan telfon berkali- kali untuk dirinya. Bahkan berbagai alasan seperti 'sarapan' tidak akan mempan untuk Angkasa terima.

Intinya yang Angkasa mau, ketika ia sampai di depan ruangannya, sudah harus ada Septi yang menyambutnya dengan senyuman manis. Setelah itu, Septi mau izin kemanapun, Angkasa tidak akan melarangnya. Ia hanya butuh senyuman manis dari Septi, agar harinya penuh dengan positif vibes.

"Aku sama Bella nungguin Mbak sampai jam delapan, tapi nggak ada pergerakan apa- apa. Jadi kita mutusin pulang duluan."  Ucap Sari, sambil meletakan gorengan di meja kantin yang mereka duduki.

"Tapi tenang aja Mbak. Kita sudah bekerja sama, sama Pak Mandi, kebetulan Pak Mandi yang lagi jaga ruangan kita, pas Pak Mandi bilang Mbak aman, kita semua lega jadinya." Ujar Agung.

"Kalian mikir aku diapa- apain sama Pak Angkasa?" Tanya Septi penasaran.

Kelima temannya mengangguk secara bersamaan.

Septi melirikan matanya, menatap teman- temannya satu persatu.

"Memangnya yang ada di fikiran kalian apa? Sampai begitu mengkhawatirkan aku?" Septi kembali bertanya. Ia juga sambil menyeruput teh hangat yang tidak lagi hangat.

Ika yang awalnya asik mengunyah gorengan yang dibeli oleh Sari, langsung menelannya begitu saja. "Mbak coba deh kalau posisinya ada di kita. Melihat Mbak yang masuk ruangan Pak Angkasa, dengan wajah yang menyeramkan waktu negor kita—"

"Minum dulu." Septi mendekatkan air mineral ke arah Ika, yang terihat berbicara sambil menelan gorengan, yang begitu sulit tertelan.

Ika menegak air mineral pemberian Septi. "Makasih Mbak." Ika tampak lega setelah meminum air mineral tersebut. "Apalagi pas Mang Tatan datang, bawa vacum cleaner juga, kita pikiran udah macam- macam Mbak. Mana itu ruangan kedap suara, nggak bisa dengar apa yang terjadi di dalam."

"Iya Mbak, mana pas Mang Tatan keluar, dia bawa pecahan kaca. Serius deh Mbak, kita khawatir banget." Tambah Ika.

Beruntungnya memang ruangan Angkasa kedap suara. Ketika Angkasa membanting bingkai foto tersebut, teman- temannya di luar sana tidak bisa mendengarnya. Kalau sampai mereka mendengarnya, ntah makin seberapanya mereka mengkhawatirkan dirinya.

"Itu, kaca apa Mbak yang pecah?" Tanya Sari, yang dari tadi sepertinya tidak tahan kalau tidak bertanya.

Septi menghembuskan nafasnya. "Bingkai foto. Jatuh kesenggol, kacanya pecah." Septi terpaksa berbohong, sangat tidak mungkin ia menambahkan kekhawatiran lagi untuk teman- temannya. Entah apa yang akan mereka fikirkan kalau sebenarnya, Angkasa yang melempar pigura tersebut.

"Ngeri aja Mbak kalau ternyata Pak Angkasa kasar. Padahal wajahnya kayak nggak ada kekasaran sama sekali." Ujar Asma, bergidik ngeri. Diikuti juga oleh teman- teman lainnya yang smaa terlihat ngeri.

Septi terkekeh geli, melihat ekspresi teman- temannya. "Yah emang nggak ada yang kasar, kan tadi aku udah bilang, kesenggol. Kalian aja yang mikirnya kemana- mana. Kalau kalian udah bikin suara keluar, aku yakin gosip ini bakalan dibumbu- bumbui."

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang