24. Sebuah Cerita

1.5K 101 4
                                    

Septi tengah duduk di sofa, menunggu Angkasa selesai mandi. Tadi, setelah Septi dan Angkasa selesai sarapan, Angkasa mengatakan akan mandi terlebih dahulu sebelum menceritakan semuanya.

Angkasa harus membasuh kepalanya, agar ketika berbicara nanti ia tidak terbawa emosi. Setidaknya guyuran air dingin kepalanya, bisa menurunkan kadar emosinya.

Hampair dua puluh lima menit ia menunggu Angkasa selesai mandi. Pria yang di tunggunya kini sudah berada di hadapannya. Menggunakan kaos rumahannya beserta celana chino pendeknya, Angkasa masih saja terlihat gagahnya. Wangi khasnya pun sangat tercium di hidung Septi. Musk bercampur dengan wood. Septi menyukainya.

Menduduki sofa yang sama dengan Septi. Angkasa mengikis jaraknya, untuk memudahkannya merengkuh tubuh Septi. Hidung Angkasa menempel sempurna di leher Septi. Menciumnya dan menghirup aroma Septi yang menjadi favoritnya. "Kamu belum mandi aja masih harum gini." Angkasa meniup lembut leher Septi. "Aku bisa betah begini doang selama seharian. Aku bener- bener ingin mengurung kamu di kamar." Ucapnya menggoda.

Septi menggerakan bahunya, untuk menyingkirkan Angkasa dari tubuhnya. Sayang hanya sia- sia. Gerakannya semakin di kunci oleh Angkasa.

"Kamu mau mandi dulu, atau—" Angkasa seperti berfikir. "Nggak usah mandi deh, begini aja. Aku suka harumnya." Sekali lagi Angkasa menghirup harum Septi. Membuat Septi mengernyit kegelian, karena nafas hangat Angkasa menyentuh lehernya.

"Kamu kesurupan apa pagi- pagi?" Tanya Septi heran. Ia tahu Angkasa orang yang bisa merubah moodnya secepat kilat. Namun pagi aneh sekali.

Angkasa tersenyum, memundurkan kepalanya menatap Septi. "Akhirnya ..." nafas lega Angkasa begitu terdengar. "Kamu bersuara juga, aku mikir kalau sampai seharian ini kamu nggak bersuara lagi, aku bener- bener bakalan kurung kamu di kamar. Apapun itu Septi, aku lakuin apapun asal kamu bersuara lagi." Ucapnya sungguh- sungguh.

"Lepasin—kamu aneh banget tahu!" Septi mengedikkan bahunya. "Aku mau mandi sana minggir."

"Nggak usah mandi, nanti nggak kayak gini lagi wanginya."

"Apaan sih!"

"Percaya, aku bisa ngurung kamu seharian dengan posisi seperti ini. Kamu tuh—"

"Aku heran. Kamu bersikap begini, memang benar- benar? Atau mau cari alasan aja sih, biar nggak jadi cerita. Kayak sengaja banget buat mundur- mundur- mundur, terus aku lupa gitu jadinya. Iya, kan?"

Karena ucapannya. Angkasa melepaskan tubuhnya dari rengkuhannya. Menatap Angkasa. Matanya langsung bertemu dengan mata Angkasa yang juga menatapnya. "Kamu. Kalau belum mau cerita juga nggak apa- apa. Asalkan kamu tetap disamping aku, dan janji nggak akan pernah ninggalin aku. Aku—"

Angkasa menggeleng memeluknya kembali. "Siapa memang yang bilang aku bakalan ninggalin kamu?"

Septi terdiam. Septi tidak mengatakan apapun untuk membalas ucapan Angkasa, ia justru ikut membalas pelukan Angkasa. Memeluknya erat. Ia takut Angkasa akan pergi meninggalkannya. Perasaanya terhadap Angkasa membuat dadanya sesak. Kenapa pada akhirnya ia harus mengalami perasaan seperti ini. Kenapa tidak dari awal ia menolak ajakan bodoh yang dibuat oleh Angkasa. Kenapa ia berani berurusan kembali dengan seorang pria yang belum bisa meninggalkan masa lalunya. Ia benar- benar bodoh.

"Wajar nggak kalau aku merasa takut? Aku takut kamu pergi. Dan aku terjebak sendiri dengan perasaanku."

"Wajar. Tapi kamu harus percaya, aku nggak akan pernah ninggalin kamu sampai kapanpun."

"Mana aku tahu."

"Dia sudah menikah dengan Langit."

"Oh ..." Septi menggakukan kepalanya. "Diana, wanita itu yang selalu menjadi pusat kemarahan mu?"

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang