52. Sibuk

1.1K 63 3
                                    

Diantara semua orang, mungkin saat ini Miranda satu- satunya orang yang paling sibuk. Bagaimana tidak, karena ulah anak bungsunya yang ingin menikah secara dadakan, mau tidak mau ia juga harus turun tangan. Membantu dan memastikan acara anaknya berjalan sesuai dengan keinginan.

Miranda juga harus rela mondar- mandir Jakarta - Jogja, untuk melihat decor yang sedang di kerjakan. Beruntung ia adalah sosok yang mudah akrab, jadi sangat mudah ia berteman dengan Mayang, calon besannya.

Selama di Jogja, Mayang yang selalu menemani Miranda mengurus segala urusan pernikahan kedua anaknya. Bersyukur jika Mayang juga sosok yang mudah bergaul. Jadi tidak sulit menyatukan Miranda dan Mayang menjadi satu.

Setelah segala urusan di Jogja sudah selesai, dan bisa dikerjakan oleh Mayang sendiri, Miranda sudah kembali lagi ke Jakarta. Namun, nyatanya di Jakarta ia tidak bisa berdiam diri. Masih ada seserahan yang harus ia siapkan.

"Mama kayaknya istirahat aja. Aku bisa kok fitting baju sendiri." Septi cukup kaget, ketika melihat calon mertuanya juga ikut hadir dalam fitting baju terakhirnya.

"Mama nggak ngerasa capek sama sekali kok, malah seneng Mama ngerjain ini itu, bahkan bisa ngelihat kamu fitting baju gini. Itu tandanya Mama masih sehat."

"Tapi aku jadi nggak enak. Mama baru aja sampai dari Jogja, bukannya pulang kerumah istirahat, malah nyamperin aku gini. Mana Angkasa nggak bisa jemput Mama di bandara tadi." Septi merangkul lengan Miranda.

"Ihh, Mama tuh udah biasa sendiri. Papa kamu, Langit, Angkasa, semuanya selalu sibuk. Jadi, daripada ngandelin mereka mending Mama langsung aja ngerjain semuanya sendiri." Miranda mengelus tangan Septi yang merangkul di lengannya. "Udah di coba, jangan berdebat terus. Nggak jadi- jadi kamu nyoba bajunya."

"Mana kok udahan, aku belum lihat bajunya lho." Ujar Angkasa, yang terlihat kecewa.

"Makanya jangan sibuk- sibuk. Calon istri mau fitting baju bukannya dianterin malah di suruh jalan sendiri." Bukan Septi yang menjawab, melainkan Miranda.

Angkasa menggaruk tengkuknya yang tidak gatel. "Kalau bukan karena Papa yang ngancem bakal gagalin pernikahan aku, aku pasti udah nganterin Septi, Ma. Bahkan aku yang bakal makein bajunya."

"Sembarangan kalau ngomong." Miranda menarik jambang Angkasa.

"Sakit Ma, ya tuhan anak sendiri di siksa begini." Angkasa menarik tangan Septi, mengarahkan ke jambang yang tadi di tarik oleh Miranda, menggerakan jemarinya untuk mengelusnya. "Sayang, sakiiiit."

***

"Kenapa harus di pingit sih? Kamu juga nurut aja lagi, lawan kek para orang tua itu."

Septi menatap Angkasa lelah. Karena entah sudah berapa kali Angkasa mengulangi kata- kata yang sama mengenai keduanya yang akan di pingit.

Memang sebenarnya bisa saja mereka menolak untuk di pingit. Apalagi di jaman modern seperti ini, sudah banyak para calon pengantin tidak melakukan hal tersebut. Namun, kembali lagi, Septi ingin merasakan hal- hal yang dilakukan sebelum menikah.

Septi ingin merasakan yang namanya kerinduan yang mendalam lantaran tidak dapat bertemu dengan pujaan hati seminggu ini. Tidak lama- lama kok hanya seminggu, dan seharusnya itu tidak akan berasa. Septi akan lebih dulu ke Jogja sebelum Angkasa dan membuatnya memudahkan mengikuti tradisi pingitan ini.

Namun, kemungkinan bisa saja gagal jika Angkasa benar- benar menolak pingitan ini. Angkasa tipe orang yang bisa menghalalkan segala arah, tentu saja.

Seperti saat ini, seharusnya hari ini mereka sudah tidak bisa bertemu. Lagi- lagi bukan Angkasa namanya, dengan beralasan dirinya yang akan resign dari 'Taksi Online' ia mengadakan acara perpipasahan untuk rekan- rekan kantornya. Acara yang sebenarnya sangat tidak ia sukai. Namun, demi bisa menemui Septi, ia buat acara ini sedemikian mungkin.

Selama acara perpisahan berlangsung Angkasa juga tidak berada di tempatnya. Angkasa lebih memilih membuka kamar dan mengurung Septi di dalam kamar. Tidak peduli dengan orang- orang yang mencari keberadaanya, toh ia sudah menitipkan acara ini ke Irwan dan Nadia.

Dan baginya tidak masalah ia mengadakan acara di hotel walau harus mengeluarkan budget yang sangat besar, setidaknya setimpal dengan apa yang sudah ia harapkan. Yaitu, menculik Septi walau hanya seharian ini.

"Kalau Mama tahu mungkin sekarang dia udah nyusul kita kesini." Septi tidak bisa bergerak sedikitpun, gerakannya selalu di kunci oleh Angkasa dengan cara memeluknya. Bahkan untuk ke kamar mandi saja, Angkasa tidak melepaskannya.

"Mama nggak akan tahu kalau kamunya nggak ngasih tahu."

"Tapi kalau boleh aku tahu, aku mau sampai kapan sih dikekep kayak gini? Begah juga aku lama- lama."

"Kalau bisa sampai hari- H itu lebih baik sih." Angkasa mendapat pukulan tepat di dahinya.

"Kamu tuh ... benar- benar nggak bisa ngehargai tradisi pingitan ya? Kamu tuh, bisanya ngegagalin aja. Aku pikir kamu bisa nahan diri kamu untuk nggak ketemu aku, tapi nyatanya ... di hari ke tiga pingitan ini kamu malah—" Septi mendengkuskan nafasnya. "Aku nggak ngerti juga sih, kenapa Irwan bisa- bisanya nurut sama kamu, karena yang aku tahu dia itu tipe yang sangat- sangat menghargai hal- hal seperti pingitan ini. Kamu sogok pakai apaan?"

"Kita nikamatin waktu kita yang sempit ini, kamu nggak perlu banyak mikir itu jadi urasan aku gimana caranya membuat Irwan nurut." Angkasa semakin mengeratkan pelukannya, tidak lupa menyurukkan wajahnya di leher Septi.

"Kamu bayangin deh, mana bisa aku jauh- jauh dari ini selama ini." Angkasa mengecup leher Septi berulang kali. "Wanginya itu, mana bisa aku lewatin begitu aja. Kalau ada kesempatan, kesempatan itu pasti akan aku ambil dengan cepat."

Septi hanya bisa pasrah dengan kelakuan Angkasa. Entah sudah berapa lama lehernya menjadi santapan Angkasa. Septi tidak masalah selama Angkasa tidak meninggalkan bekas, sekali saja Angkasa menggigitnya Septi dengan sigap langsung memukul kening Angkasa. "Jangan digigit."

"Aku gemesh banget serius deh. Besok kamu nggak usah ke Jogja, kita langsung ke KUA aja. Nunggu hari Minggu kelamaan banget, aku udah nggak sabar ngebedah kamu, serius deh."

"Kamu ngomong seakan- akan aku belum kamu bedah ya? Selama ini kalau bukan kamu bedah, aku di apain kamu? Bisa- bisanya ngomong begitu." Septi mendorong dada Angkasa.

Angkasa terkekeh. "Kalau itu kan bedahnya masih takut- takut belum lepas, kalau udah halal aku nggak perlu takut- takut, kalau bisa aku explore ke segala penjuru.

"Kayaknya nggak perlu nunggu sampai halal, kemarin- kemarin kamu mau bilang kalau kamu belum explore, yang bener aja deh."

"Tapikan aku masih pakai pengaman, sayang ..."

Septi menggelengkan kepala, mentapa Angkasa jengah. "Bahkan akhir- akhir ini kamu lepas tanpa pengaman, dan itu buat aku takut. Tapi untung aja masih aman, masih dimasa aku nggak subur. Coba kamu bayangin, kamu lepas dimasa aku subur, mungkin hari Minggu pas nikahan kita aku udah isi."

"Bagus dong, aaaww- aaww ... sakit sayang ..!" Angkasa mengelus- elus pundaknya. "Kalau mau main gigit- gigitan jangan disini dong, sayang ... ditempat yang lain aja, tapi harus lebih lembut jangan kenceng kayak gini."

"Kamu ihh ... kesambet apa sih jadi mesum gini!"

"Kesambet kerinduan, karena dua hari ini kamu nggak mau aku temuin. Malam ini ya, please ..."

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang