7. Pastry Cake

2.4K 159 2
                                    

Angkasa Razel
Kenapa baru diangkat sekarang?

Septi Muara Sari
Karena saya baru dengar bunyi panggilan masuknya sekarang.

Angkasa Razel
Kamu ya- benar- benar.

Septi Muara Sari
Salah lagi?

Angkasa Razel
Saya sudah basement apartemen kamu.

Septi melirikan pandangannya dengan melihat jam yang tertempel di dinding rumahnya.

Septi Muara Sari
Masih jam segini Pak, janjiannya kan jam sembilan.

Angkasa Razel
Kalau nurutin kamu jam sembilan, yang ada telat sampai sananya.

Septi Muara Sari
Yaudah sabar.

Septi akhirnya mendatangi Angkasa di parkiran bawah. Dengan wajah muram bercampur kesalnya. Yaa, bagaimana tidak kesal, setelah mengakhiri pesannya, Septi tidak langsung turun ke bawah. Bukan salahnya, Angkasa yang datang terlalu cepat, sedangkan ia belum siap- siap sama sekali, mandi saja belum.

Septi mengetuk kaca mobil Angkasa, sepertinya Angkasa belum mengetahui kedatangan Septi. Dengan memberikan senyum manisnya, ketika Angkasa mulai menurunkan kaca mobilnya. Angkasa tidak memandang ke arah Septi melainkan melirikan pandangannya ke arah jam tangannya. Mengetuk- ngetuk kaca jam tangannya, seolah menyadarkan Septi, jika ia sudah lama menunggunya.

Tidak menghiraukan Angkasa yang tampak kesal. Septi dengan rasa tidak bersalahnya, jalan memutari mobil, dan membuka pintu samping kemudi. Menatap Angkasa. "Kapan kita jalannya? Nanti kesiangan, saya lagi yang disalahin." Ujar Septi.

Septi membuka ponselnya, menuliskan alamat tujuannya. "Tenang Pak, jalanan hari ini sepi, nggak ada merah- merahnya." Septi mengarahkan layar ponselnya ke arah Angkasa.

"Ayoo, jalan. Saya udah siap banget, berbohong lagi, demi Pak Angkasa 'SAYANG'." Septi menegaskan kata 'sayang' sesuai permintaan Angkasa kemarin.

Angaksa berdehem. Tidak ingin menanggapi Septi, Angkasa lebih memilih menjalankan mobilnya, tanpa suara yang keluar dari bibirnya.

Di sepanjang perjalanan Septi selalu berbicara sendiri. Segala ucapan maupun pertanyaannya tidak ada yang di jawab oleh Angkasa. Angkasa tanpak tidak peduli sedikitpun dengan ucapannya. Padahal sepanjang jalan tadi, Septi sudah menurunkan egonya untuk bisa berdamai dengan Angkasa. Namun itikad baiknya malah tidak ditanggapi oleh Angkasa.

"Berhenti di depan sana Pak." Pinta Septi.

Angkasa mengalihkan pandangannya dari depan ke samping kearah Septi.

"Didepan sana."

"Mau ngapain?" Angkasa akhirnya mengeluarkan suaranya.

"Mau beli kue buat di bawa kesana, masa datang ke 'calon mertua' nggak bawa apa- apa, aneh banget nggak sih?!" Septi kembali menekankan kata 'calon mertua' untuk menyindir Angkasa.

"Berhenti dimana?"

"Itu di depan sana." Septi menunjukan toko kue yang akan di tujunya.

Pastry Cake, toko kue yang menjadi langgananya. Selama tinggal di Jakarta ini, Pastry Cake sudah menjadi favoritnya. Perpaduan cake dengan pastry-nya itu menjadi daya tariknya sendiri. Cake yang ditengahnya ada pastry, dilapisi selai dengan pilihan rasa, dan ada buah freshnya, untuk Septi menjadi campuran yang sangat sempurna. Dan pas sekali di cita rasanya.

"Mama atau Papa kamu, sukanya rasa apa?"

Septi dan Angkasa sudah berada di dalam pastry cake, Septi menunjukan berbagai rasa di dalam etalase yang memajangkan berbagai rasa, dan jenis cake.

Septi memberitahu jika yang menjadi favorit disini itu cake pastrynya, dan untuk rasa yang menjadi favorit adalah coklat dan peach. Septi juga memberi tahu kalau ia suka membeli rasa peach, karena menurutnya rasa peachnya di cake itu sangat unik.

"Yang mana?" Septi menanyakan lagi ke Angkasa.

"Terserah kamu aja."

"Jangan terserah. Kamu yang lebih tahu orang tua kamu. Gimana sih? Mau jadi cewek ya jawabannya terserah."

"Terserah, apa aja. Mereka bakalan suka apa yang kamu bawa."

"Sok tahu kamu, aku aja baru kenal mereka, masa mereka udah percaya begitu aja sama aku. Ngobrol aja belum pernah Pak." Gumam Septi.

"Nggak tahu kenapa, dari semenjak awal Mama ketemu kamu, dia selalu nanyain kamu, nggak pernah berhenti untuk nggak nanyain kamu."

Septi mengernyit.

Angkasa mendekatkan dirinya, menempelkan bibirnya ke arah telinga Septi. "Kayaknya kamu bisa jadi mantu kesayangannya."

Setelah memberikan serangan merinding, dengan masa bodonya, Angkasa menunjuk cake, yang tadi sudah di jelaskan oleh Septi, membayarnya dan meninggalkan Septi yang masih terpatung di tempat.

Angkasa kalau bicara sepertinya memang tidak pernah di saring. Lihat saja hasil bicaranya yang sembarangan tadi membuatnya jadi patung. Apa tadi katanya? Mantu kesayangan? Ada hubungan apa ia dengan Angkasa dan bisa menjadi mantu kesayangan? Mereka hanya berpura- pura, lebih tepatnya Septi, ia hanya membantu Angkasa, dan itu hanya jebakan. Jebakan yang membuat ia berada dalam kebohongan ini. Kenapa sekarang ia di buat seolah- olah menjadi 'calon mantu' sesungguhnya.

Septi masih menjadi patung dengan segala pikiran- pikiran yang menajadi pertanyaan untuk dirinya sendiri, hingga suara mengagetkannya. "Mau sampai kapan kamu berdiri disini? Rumah Mama, bukan disini."

Septi menatap Angkasa kesal.

Hingga sebuah tangan mengapit jari jemarinya. Tangan kanan Angkasa yang kosong sudah terpenuhi dengan tangan Septi. Sedangkan tangan kirinya, dipenuhi dengan cake yang di pesannya.

Sambil bergumam, Angkasa mengatakan "Mama suka buah peach, pasti Mama nerima cake pilihan kamu dengan senang banget."

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang