29. Mencari

1.6K 97 1
                                    

Baru semalaman tidak mendapatkan kabar dari Septi, sudah membuat sebagian hidup Angkasa berantakan. Ia tidak dapat membayangkan jika Septi akan mengikuti jejak Nadia yang pergi diam- diam untuk menghindari Irwan waktu itu.

Ditinggal semalaman saja nyawanya hilang separuh. Tidak ada semangat hidup. Kenapa Septi harus pergi dengan mematikan ponselnya. Kalau ponselnya menyala ada kemungkinan Nadia mengetahui dimana Septi. Tapi ini-berulang kali Angkasa menghubungi Septi namun hasilnya tetap sama. "Belum ada balasan, Pak. Nanti kalau ada kabar langsung saya kabari."

Segalau ini Angkasa merasa kehilangan Septi. Lebay sih. Walau jarak kehilangan Septi baru sore sampai malam, namun ia sudah merasa uring- uringan. Bagaimana jika hari Minggu besok, Septi masih belum ada kabarnya. Bagaimana jika hari Senin nanti Septi tidak masuk kerja? Hanya memikirkan itu saja sudah membuat hatinya terasa mengganjal.

Ada rasa takut jika Septi tidak kembali. Ia menyesal sungguh menyesal. Namun sayangnya penyesalannya saat ini, tidak dapat membuat Septi langsung berada di apartemennya.

"Belum ada kabar?" Lagi- lagi Angkasa menghubungi Irwan untuk menanyakan keberadaan Septi.

"Belum, kalau ada pasti gue kabarin langsunh. Serius deh, Kasa. Ini jam tiga pagi, ck." Decak Irwan dari balik telfonnya. "Nggak ada waktu yang lebih pagi lagi, buat lo hubungi gue?"

"Gue nggak bisa tidur."

"Ya lo yang nggak bisa tidur, gue yang bisa tidur jadi ke ganggu. Awas aja kalau sampai Nadia kebangun. Lo sabar- sabar aja, ini juga belum sampai dua puluh empat jam Septi hilang-"

"Lo pernah kan pastinya merasakan Nadia lepas dari jangkauan lo? Dan perlu gue ingetin lagi? Segiala apa lo dulu."

Terdengar gelak tawa dari balik telefon. "Iya‐ iya sori. Lo udah coba hubungi anak- anak kantor yang dekat sama Septi? Kalau dia lari ke gue sama Nadia, pasti nggak akan ada pikiriannya. Karena itu tempat yang paling mudah dilacak sama lo."

"Udah dan mereka bilang nggak tahu. Sampai besok Septi nggak ada kabar, gue bakalan lapor polisi."

"Angkasa ... polisi nggak akan memprosesnya, ini belum dua puluh empat jam. Terus alasan hilang apa? 'Karena saya nyakitin dia' yang ada lo diketawain. Tunggu aja sampai Senin. Senin belum balik, gue bantu semampu gue. Gue mau tidur lagi, oke."

***

"Mbak- Mbak..."

Septi menggeliat dari tidurnya. Lelapnya terganggu karena sentuhan Sari di lengannya. Serta suara yang memanggilnya terdengar begitu panik dan merasa bersalah. "Kenapa?" Ujarnya dengan nyawa yang belum terkumpul penuh.

"Mbak jangan marah ya ... aku-Pak Angkasa telfon, aku main angkat aja. Terus-karena posisi aku yang setengah sadar, aku-nggak sengaja bilang Mbak ada dirumah ku."

Pucat pasih. Itulah yang Septi lihat dari wajah Sari. Walau berbicara sambil menundukan kepalanya. Septi tahu jika wajah Sari sudah sangat pucat.

"Pak Angkasa juga marah- marah sama aku Mbak. Aku takut banget. Kalau aku di pecat gimana Mbak, aku-"

Septi menarik nafas. Menyentuh pundak Sari yang gemeter. Mengelusnya pelan, untuk menenangi rasa takut dan cemas di dalam tubuh Sari.

"Kamu nggak salah. Nanti jadi tanggung jawab aku. Kalau kamu dimarahin lagi, aku yang maju."

"Mbak. Kalian punya hubungan apa sih? Nggak mungkin kayaknya kalau kalian nggak punya hubungan. Pak Angkasa panik gitu suaranya, setiap nanya ada Mbak apa nggak."

"Ya begitulah-" Septi ragu untuk melanjutkan kata- katanya

"Jadi yang di gosipin orang- orang itu benar? Dan yang aku lihat waktu itu-oh ... Mbak, ya ampun. Seharusnya aku engeh ya dari awal."

"Kamu orang pertama yang tahu, kalau sampai gosip itu keluar lagi-kamu berari orangnya."

"Ihh, kok aku? Gosip itu masih ada tapi nggak seheboh dulu. Soalnya kan kalian nggak nunjukin kemesraan, jadi anggapnya biasa aja."

"Yang penting jangan sampai bocor!" Septi menatap sinis Septi.

"Iya Mbak."

"Aku mau tidur lagi ngantuk."

"Hmm. Mbak." Sari menimang- nimang untuk berbicara. Bibirnya terbuka, lalu ditutup berulang kali.

"Apaan sih? Mau ngomong tinggal ngomong."

"Mbak jangan tidur lagi." Sari menggaruk kepalanya. "Jangan marah ya, please ... Pak Angkasa-lagi on the way kesini Mbak." Septi menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia tidak sanggup menatap wajah Septi.

Septi menggeram, tidak mampu mengeluarkan kata- katanya.

"Aku udah nahan- nahan untuk nggak ngasih tahu alamat aku Mbak, tapi-Pak Angkasa ngancam aku, Senin aku mau di mutasiin kalau aku nggak ngasih tahu alamat aku." Sari mengenggam kedua tangan Septi. "Aku minta maaf Mbak, beneran aku terpaksa. Maaf Mbak ..."

"Yasudah, sudah terlanjur mau gimana lagi kan."

"Mbak siap- siap sekarang kan? Kalau Pak Angkasa datang, Mbak belum siap aku-"

"Iya aku bangun, aku siap- siap."

***

"Oke terimakasih Sari. Semoga lain kali kamu lebih mudah diajak kerjasamanya. Jadi saya nggak kelimpungan kesana- kemari." Angkasa menatap Sari sinis.

Sari hanya bisa menganggukan kepalanya. Ia tidak berani menatap wajah Angkasa yang sedang marah.

"Dalam sehari ini, aku kehilangan kamu dua kali." Angkasa melirik ke arah Septi dari balik kemudinya. "Dan aku benar- benar hampir gila."

Tepat pukul empat pagi, Angkasa sudah berada di halaman rumah Septi. Menjemput wanitanya. Beruntung tidak ada perlawanan dari Septi. Mungkin karena berada di rumah orang, Septi tidak akan membikin keributan dengan susah untuk diajak masuk kedalam mobil.

Septi hanya menurut ketika Angkasa memintanya masuk kedalam mobil. Namun kebisuan kembali lagi. Septi sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata apapun. Bahkan gerakan tubuhnya untuk menjawab pertanyaannya pun tidak ia lakukan. Septi hanya diam membisu.

"Aku nggak mau ke apartemen kamu." Septi mengalihkan tatapan Angkasa, sepanjang jalan ia alihkan tatapannya kearah jendela. Tak ada niatan sedikit pun, untuk menatap Angkasa.

Di sampingnya, Angkasa sudah menatap tajam kearahnya. Angkasa sudah tidak secerewet tadi. Namun ia masih berusaha untuk mencairkan suasana. Ia harus mengalah kepada Septi, di sini ialah yang bersalah. Sekalipun Septi pergi, itu dikarenakan ulahnya sendiri.

Tangannya mengambil jemari tangan Septi. Mengenggamnya. Sesekali ia mengecup punggung tangan Septi. Beruntung Septi tidak memberikan perlawanan dengan menghentak tangannya.

Ia menyesal. Angkasa benar- benar menyesali perbuatannya. Menatap Septi yang begitu rapuh karena perbuatannya, hatinya terasa begitu sakit. Ia tidak dapat membayangkan perasaan Septi, saat ia tinggali begitu saja. Wajar jika Septi tidak ingin kembali ke apartemennya.

"Aku mau ke apartemen ku." Melihat Angkasa yang menurunkan kecepatannya, sebelum mencapai pecahan jalan antara apartemennya dengan apartemen Angkasa. Septi kembali bersuara untuk memberitahu tujuannya.

"Nggak ada Nadia di apartemen." Angkasa melirik ke arah Septi yang masih setia menatap jalanan.

"Aku mau sendiri."

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang