42. Masa Lalu

1K 75 0
                                    

Selama perbincangannya dengan Miranda di dalam mobil. Satu hal lagi yang Septi tahu. Bahwa wanita yang akan Septi hadiri pertunangannya ini, pernah dekat dengan Angkasa, bahkan pernah menjadi kandidat sebagai calon istri Angkasa.

Fakta yang tidak seharusnya ia cemburui. Namun, hatinya tidak dapat berbohong. Ada rasa sesak di dadanya. Bagaimana bisa ia harus menghadiri acara pertunangan, yang sebelumnya mungkin saja di isi oleh Angkasa sebagai pria dalam pertunangan tersebut.

Namun rasa sesak itu teralihkan ketika ia menatap penampilannya kali ini di cermin besar yang ada di depannya saat ini. Cermin tersebut telah menampilkan tampilannya saat ini. Tampilannya yang mungkin saja sangat di benci oleh Angkasa.

Tengah asik menatap tampilannya saat ini, Septi dikagetkan dengan sebuah jas yang sudah menutupi tubuhnya. Serta, sebuah bisikan yang terdengar jelas di telinganya. "Harus pakai apa aku kali ini ngerobek gaun kamu yang begitu menganggu mata ini?"

Septi menatap tatapan mata yang seakan ingin menusuknya dari pantulan cermin yang terpasang di depannya.

Ada kalimat protes yang keluar dari bibir Angkasa ketika Angkasa bertemu dengan Miranda. Dari nada suaranya, Angkasa seperti menahan kekesalannya. Bagaimana sang Mama bisa tidak melarang Septi dalam berpakaiannya kali ini. Pakaian yang begitu tidak di sukai oleh Angkasa.

"Mama nggak bisa larang begitu aja dong, kalau Septi suka yah Mama juga suka. Lagi pas gitu di badannya, cantik. Cantik banget malah."

Septi hanya tersenyum sinis, ketika Angkasa kembali menatapnya.

"Ini apa- apan sih kamu." Miranda mencoba melepaskan jas Angkasa yang ada di tubuh Septi. Namun terhalang oleh tangan Angkasa, yang memeluk Septi dari belakang. "Kamu tuh ihh, kayak anak kecil aja. Jangan berlebihan gitu ah."

"Lain kali aku nggak ijinin Mama jalan berdua sama Septi. Hasilnya kayak gini, mana nggak ada yang ngabarin aku lagi sebelumnya."

Selama percakapan Angkasa dan Miranda, Angkasa masih terlihat enggan melibatkan dirinya dalam pembicaraan keduanya. Septi tahu ada kilatan amarah yang sangat di tahan oleh Angkasa di dalam sana.

"Kayak anak kecil aja, udah lepasin Septi nya, nggak nyaman gitu kamu peluk- peluk. Lagi malu ah, dilihatin banyak orang. Lepas- lepaaas." Miranda melepaskan rangkulan Angkasa di lehernya. "Udah sana, Mama mau ngenalin dulu ke Tante Indri."

Indri. Satu nama yang tak asing di telinga Septi. Seperti nama yang selalu ia ucapkan dengan manja dan rasa hormat. Seharusnya pikirannya bisa saja salah. Jika didepan sana, nama Indri yang ia dengar berbeda dengan bayangannya. Sayangnya. Itu tidak sesuai dengan harapannya. Karena, Indri yang di depannya saat ini, adalah sama dengan yang ia pikirkan.

***

Tante Indri yang di depannya saat ini, Tante Indri yang dulu selalu menanyai kabarnya, hari nya, dan selalu meminta waktunya untuk bertemu. Dunianya seakan berhenti. Bagaimana tidak, ia berada di dalam acara dimana yang isinya tidak ingin ia temui.

Jika anak kedua Tante Indri yang bertunangan, maka tidak mungkin jika anak pertama Tante Indri tidak hadir dalam acara ini.

Septi tidak dapat menghindar lagi, apalagi disaat tatapan Indri sudah mengarah kepadanya. Ada kening yang mengkerut ketika mentap Septi, namun kerutan itu hanya sebentar saja, disusul oleh senyuman sumringah ketika Indri berhasil mengingat dirinya.

Senyuman Indri untuk Septi tidak pernah berubah. Ada binar bahagia ketika melihat Septi kembali. Namun, senyum itu seketika berubah ketika Miranda mengatakan kalau Septi adalah calon mantunya. Ada raut kekecewaan yang terpancar dari wajah Indri.

"Kamu apa kabar? Kangen banget Tante, akhirnya ketemu lagi." Ucapan Indri keluar begitu saja, seakan ia ingin memberitahu kepada Miranda, bahwa ia juga mengenal Septi.

Septi tidak pernah ada masalah dengan Indri, ia tetap memberikan salamnya untuk Indri, mencium punggung tangan Indri sebagai penghormatannya. "Baik Tante, Tante apa kabar? Makin cantik aja."

"Kamu kali yang makin cantik, Tante mah makin tua, gimana cantiknya. Kerutan Tante aja udah di mana- mana." Indri mengenggam kedua tangan Septi.

"Tante selalu cantik di mata aku, gimana pun usia Tante."

"Kalian saling kenal?" Miranda akhirnya mengeluarkan suaranya, dari keterdiamannya.

"Kenal banget." Indri langsung menjawabnya. "Wanita yang aku bilang, yang membuat Rian gagal move on."

"Dan ... Septi kok bisa sama kamu?" Tanya Indri , heran.

"Calon istrinya Angkasa." Miranda mengelus pundak Septi.

Raut kekecewaan semakin terpancar dari wajah Indri. "Yaah. Keduluan dong. Tante senang banget pas melihat kamu, nggak taunya udah mau jadi milik orang lain." Ujar Indri, sembari mengelus kedua tangan Septi yang masih dalam genggamannya.

"Nggak salah kan berarti aku milih calon mantu? Kamu aja masih mengharap Septi jadi mantu kamu."

Indri mengangguk, memberikan persetujuannya. "Kalau aku ketemu duluan lagi sama Septi, pasti udah aku nikahin sama Rian, nggak perlu persetujuan Rian malah."

"Bisa aja kamu. Tapi jangan macem- macem ya, Septi sekarang mantu ku, jangan di rebut."

Baik Miranda maupun Indris terkekeh bersama. Septi hanya memberikan senyuman tipis. Ia berada di tengah- tengah seorang Ibu yang sedang merebutkannya, di saat ia sedang tidak siap bertemu dengan kedua anak mereka.

"Kamu udah ketemu Rian? Makin ganteng lho ..."

"Dri, masih aja. Septi calonnya Angkasa lho ..."

"Haha, iya- iya aku tahu. Tapi tetap aja kan, janur kuning belum terpasang, masih bisa lah di selak." Kekeh Indri.

"Yang ada makin membuat Angkasa sama Rian, makin nggak akur."

"Angkasa sama Rian nggak pernah akur dari jama sekolah dulu, selalu jadi saingan di dalam pelajaran maupun olahraga. Sekarang malah nambah saingannya. Saingan ngerebutin kamu." Ujar Indri dan mendapat persetujuan dari Miranda.

"Dulu, maafin Rian ya. Emosinya masih nggak labil, sampai bisa ngeduain kamu. Kalau aja Rian nggak selingkuh, sekarang kamu udah jadi mantu Tante, dan udah ngasih Tante cucu, Tante—"

"Udah lama Tante, udah lima tahun lalu. Aku juga udah nggak mikirin hal itu. Memang kita nggak berjodoh aja, jadi nggak ada yang harus di sesalin." Ujar Septi memotong ucapan Indri.

"Iya betul itu Dri. Lagi sekarang jodohnya Septi kan Angkasa, jadi yang dulu- dulu nggak usah di bahas lagi."

Indri menyetujui dengan menganggukan kepalanya. Namun wajah sedihnya tidak dapat di tutupi. "Pokoknya Tante senang banget bisa ketemu kamu lagi. Kamu udah menetapi di Jakarta?"

"Iya Tante, udah hampir tiga tahun aku di Jakarta."

"Ma, acara sudah hampir di mu‐ lai—" Suara pria di depan sana terhenti, ketika matanya menatap seseorang yang sudah lama ia rindukan. Ia tidak mungkin salah, wanita dihadapannya ini, wanita yang ia cari selama ini."

Kedua mata Rian menatap Septi tanpa mengedip, hingga pukulan Indri di bahunya menyadarkan Rian. "Nanti aja kalau mau ngobrol, kata kamu acara udah mau di mulai, jadi ayo ketengah ruangan." Indri menarik tangan Rian.

"Kamu ... jangan langsung pulang ya, kita ngobrol dulu." Rian begitu yakin, Septi hanya diam di tempat. Pria itu, yang sudah membuat hatinya memutuskan sebuah harapannya.

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang