46. Ketahuan

1.3K 81 1
                                    

"Jadi, udah baikan nih?" Goda Irwan ketika berpapasan dengan Angkasa dan Septi. "Nah gitu dong, gue ngeri banget kalau kalian berantem terus putus. Sebentar lagi gue sama Nadia mau nikah, kalau ngundang kalian berdua terus ketemu satu acara, nggak bisa bayangin deh suasananya kayak gimana? Apalagi kalau tahu nanti, Septi udah bawa pasangan lain, apa jadinya—" "aaawww..." Irwan meringis kesakitan, ledekannya terhenti karena Angkasa meninju perut Irwan. Memang bukan tinjuan yang kuat, namun cukup terasa sakitnya. "Waah, ini pelanggaran ..." ujar Irwan. "Masa calon pengantin lo bikin cedera, kalau sampai gue kenapa- kenapa, gue pisahin beneran kalian berdua."

"Jangan ngeracunin pikiran Angkasa dengan pikiran asal, lo ya! Kalau Angkasa pundung lagi gue serahin langsung ke lo, lo urusin sahabat lo ini."

"Kamu—" Septi menahan ucapan Angkasa dengan menutup bibir Angkasa dengan telapak tangannya.

"Capek nggak sih berantem terus? Aku udah tahu alurnya, setelah Irwan ngomong tadi, pikiran kamu kemana- mana, dan seharian pasti bakal nanya hal yang nggak akan terjadi." Septi menatap sinis ke arah Irwan. "Jangan macem- macem, nanti gue gagalan acara lo, baru tahu rasa." Ancam Septi, lalu meninggalkan kedua sahabat yang mempunyai sifat cemburu yang berlebih.

***

Entah mengapa seharian ini Septi merasa waktunya berjalan sangat lama, lama sekali. Ingin sekali rasanya Septi buru- buru  menyelesaikan pekerjaannya. Dan menghindar dari Angkasa yang hampir seharian ini menahannya di dalam ruangannya.

Angkasa tidak mengizinkan Septi keluar dari ruangannya sedetik pun. Bahkan untuk ke kamar mandi saja, Angkasa menyuruh Septi untuk menggunakan kamar mandi yang ada di dalam ruangannya.

Yang lebih menyebalkannya lagi, Angkasa lebih banyak mendiamkan pekerjaannya hanya untuk menatap Septi yang sedang bekerja. Septi yang merasa di tatap pun berkali- kali merasa risih dengan tatapan Angkasa. "Bisa nggak sih kamu nggak usah natap aku terus, kerjaan kamu masih banyak kalau kamu cuma natap aku daritadi kerjaan kamu nggak akan selesai- selesai."

"Sengaja." Entengnya. "Kalau kamu mau pulang ke apartemen, aku bakalan ngerjain kerjaan ini dengan cepat. Sesuai keinginan kamu."

"Iya, aku memang pulang ke apartemen. Apartemen aku, tapinya ..."

Angkasa mendengkus. "Apartemen aku Septi." Ucap Angkasa dengan tegas.

"Aku masih dalam konteks marah ya sama kamu, jadi jangan bujuk- bujuk aku. Karena nggak akan mempan."

Angkasa terkekeh. "Marah apa lagi sih? Dari kemarin aku udah nurutin kemauan kamu, kamu mau nginap di apartemen kamu, aku kasih izin, mau apa lagi sih?"

"Bebasin aku, lagi."

"Aku nggak lagi kurung kamu, asal kamu tahu."

"Ini. Ini buktinya hampir seharian penuh aku ada di dalam ruangan kamu. Kamu bahkan nggak ngizinin aku untuk menyentuh meja ku sedikit pun, sedikit, pun Angkasa."

"Aku cuma minta kamu nemenin aku kerja, bukan kurung kamu."

Septi menatap Angkasa jengah. Pria nya ini tidak akan mungkin mau mengalah darinya, segala ucapannya pasti akan selalu di tentang.

"Terserah." Septi menutup mata, tidak ingin melihat raut wajah Angkasa yang menunjukan kemenangannya.

Namun, sebuah pesan masuk berhasil mengalihkan rasa kesalnya. Septi tidak tahu siapa pengirim pesan tersebut lantaran nomor tidak tedaftar di kontaknya.

Septi harus meyakinkan satu hal. Ia segera membuka pesan masuk tersebut. Dan ... suatu ingatan yang membuatnya yakin, nomor tidak di kenal ini, nyatanya sesuai dengan tebakannya.

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang