"Pak, ini?" Septi melirik tumpukan dokumen yang diletakkan di atas meja kerjanya.
"Ada yang salah?"
"Hmm. Nggak, maksud saya ... ini kerjaan saya semua?"
"Ya menurut kamu, tugas kamu di sini apa?"
"Sebanyak ini Pak?"
"Menurut kamu?" Tegasnya lagi. "Salah saya kerjaan kamu segitu banyak? Yang ada kamu yang salah, kenapa baru datang sekarang."
Septi tidak lagi dapat membalas perkataan boss-nya yang terakhir. Kenapa harus dirinya yang di salahkan? Ia saja tidak mengetahui apa job desknya setelah di pindahkan ke Jakarta.
Ketika dirinya menawarkan diri untuk di switch ke Jakarta, ia memasukan job desk sesuai dengan yang biasa ia kerjakan. Namun itu semua berubah di H-1 keberangkatannya ke Jakarta. HRD Jakarta mengabarkan jika dirinya akan di tempatkan dengan posisi seketaris CEO dan posisinya di pilih langsung oleh Pak Angkasa selaku CEO disini.
Septi Muara Sari tidak pernah mengetahui jika bekerja sebagai seketaris di bawah Angkasa Razel itu semenyebalkan ini. Jika di awal ia mengetahuinya, ia akan menolaknya mentah- mentah dari awal.
Sebelum menyetujui dirinya mengambil pekerjaan ini, Septi lebih dulu mencari tahu tentang atasannya. Informasi yang ia dapatkan di awal adalah sosok Angkasa yang ramah, baik, dan murah senyum. Tetapi nyatanya mana? Septi tidak menemukan tiga hal yang di sanjung- sanjungkan oleh rekannya.
Justru yang Septi temukan adalah sosok Angkasa, yang nyebelin, pemarah, dan tukang perintah. Dan satu hal lagi, tidak ada senyum sama sekali. Apakah selama ini yang orang- orang katakan itu hanya bohong. Apalagi kabar yang baru Septi dengar adalah tidak ada seketaris yang bertahan dengan Angkasa sampai satu bulan lamanya. Lalu, apakah dirinya di jebak oleh rekan- rekannya?
"Jam dua belas meeting, jadi ini harus selesai sebelum jam dua belas." Tegas Angkasa, setelahnya ia meninggalkan Septi sendiri bersama tumpukan- tumpukan dokumen yang tidak ia mengerti.
Belum juga Septi berhasil protes, dirinya sudah ditinggal oleh tumpukan- tumpukan dokumen. Membuka tumpukan dokumen itu satu persatu, membaca dan mempelajari sebisa mungkin.
Setelah membacanya ia menyerah. Septi tidak mengerti apa yang harus ia kerjakan. Angkasa juga tidak memberikan clue sedikitpun tentang dokumen tersebut. Ia tidak mengetahui apa yang harus ia kerjakan dengam dokumen tersebut. Rasanya ia ingin berlari ke ruangan HRD dan meminta job desk yang lebih manusia.
***
"Sudah selesai?" Tanya Angkasa tanpa rasa bersalah.
Septi mengalihkan pandangan dari kertas yang ia pegang, melirik ke arah suara yang ia dengar.
Dengan menampilkan wajah angel, Septi berharap tidak ada teriakan jika nanti Angkasa tahu, kalau dirinya belum mengerjakan satupun dokumen yang Angkasa kasih.
"Nggak punya mulut atau gimana?"
"Hmm ... "
"Apa?"
"Ini ... sebenarnya harus saya apain?"
"BERCANDA KAMU? DARI TADI KAMU NGAPAIN AJA? KALAU MEMANG NGGAK NGERTI HARUSNYA BERTANYA, BUKAN DIAM SAJA KAYAK GINI!"
Kalau sudah di gas kayak gini, bukan Septi namanya jika diam saja. Karena merasa dirinya tidak salah, bukan salahnya kalau ia juga bisa berbica keras kepada atasannya.
"Apa ada kesempatan untuk saya bertanya? Dari Bapak menyerahkan dokumen- dokumen ini, sampai saya datang ke ruangan Bapak, apa saya dikasih kesempatan untuk bertanya? Tidak kan? Bapak sibuk sendiri dengan urusan Bapak, saya juga nggak tahu, urusan Bapak itu mengenai pekerjaan atau masalah pribadi, yang pasti yang saya tahu, saya salah telah menerima pekerjaan ini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Starting You
RomanceAngkasa Razel seorang CEO yang berhasil membuat permintaan kepada Septi Muara Sari di hari pertamanya kerja. *** Siapa yang sangka jika Septi Muara Sari harus bekerja menjadi seorang seketaris dengan atasan yang selalu mengambil keputasannya secar...