47. Miliknya

1.5K 98 6
                                    

Septi pikir setelah malam panjangnya bersama Angkasa waktu itu, gumaman yang keluar dari bibir Angkasa hanyalah, rancauan orang yang sedang kelelahan. Namun, hari ini ia tahu. Apa yang di ucapkan Angkasa bukan sekedar gumaman biasa.

Pagi- pagi sekali, waktu istirahat Septi terganggu karena Miranda menghubunginya. Septi harus merelakan tubuhnya yang di peluk semalaman oleh Angkasa harus terlepas. Septi memilih mengangkat telfon Miranda menjauh dari Angkasa. Bukan karena ia ingin menyimpan rahasia, melainkan Septi tidak ingin waktu tidur Angkasa terganggu. Waktu tidur Angkasa baru dua jam lamanya, lantaran kegiatan panjangnya semalam.

"Hai, Mama ganggu nggak ya? Maaf nih, pagi- pagi gini udah ganggu kamu."

Septi menggelengkan kepalanya, walau tidak dapat terlihat oleh Miranda. "Nggak Ma, sama sekali nggak ganggu. Ada apa Ma?"

"Main kerumah Mama" pintanya. "Sudah lama kan, kamu nggak ke rumah Mama? Hari ini bolos aja, bisa? Angkasa nggak perlu tahu, yang ada dia nanti ngikutin kamu. Angkasa nanti aja datengnya, setelah pulang kantor. Jadi, dia nggak ngerecokin, gimana?" Mau ya ...?"

"Mmm, kayaknya nggak semudah itu, aku berbohong sama Angkasa. Tapi akan aku usahain ya Ma."

"Yaa! Harus. Ya sudah ya, Mama tunggu kamu. Mama mau nyiapan sarapan pagi Papa dulu. Sampai ketemu nanti." Telfon itu sudah berhenti lebih dulu, sebelum Septi membalas apa- apa.

Septi sedang berdiri menatap halaman belakang yang sedang di tanami bunga- bunga sesuai permintaannya kemarin.

Ya ... Angkasa memberinya sebuah rumah sebagai tempat tinggal, ketika mereka menikah. Siapa yang tidak terharu, jika rumah ini telah di desain sesuai dengan keinginannya. Angkasa mengambil segala impian tipe rumah dan seisinya sesuai dengan kemauannya.

"Kamu nggak bangunin aku?" Angkasa memeluknya dari belakang.

"Kamu kelelahan. Mana tega aku bangunin kamu."

"Gara- gara siapa?"

Angkasa menelusupkan kepalanya di leher Septi, memberikan sensasi- sensasi geli pada lehernya. "Jangan macem- macem ya. Mereka akan kaget melihat tingkah kamu yang kayak gini."

Angkasa semakin menjadi, semakin menciumi leher Septi. "Mereka nggak akan bisa lihat kegiatan kita disini. Mau kita mengulangi kegiatan semalam, mereka juga nggak akan tahu kok." Kedua tangan Angkasa sudah bergerak mencari titik sensitif di tubuh Septi.

Septi melirik sedikit ke arah Angkasa dengan menaikan satu alisnya. "One way?" Septi mendengkus. "Kamu ..."

Angkasa membungkam bibir Septi dengan menciumnya. "Setelah kita menikah, segala sudut nggak akan pernah aku lewati. Kita harus mencobanya dari segala sudut. Dan aku tahu, aku harus membangun rumah yang aman. ART nantinya pun nggak akan tinggal di rumah utama." Angkasa menunjukan tangannya ke arah bangunan kecil yang berada di dekat taman. "Nanti mereka akan tinggal disana. Dan akan masuk dan pergi sesuai dengan permintaan kita."

Septi tidak habis pikir dengan pikiran Angkasa yang menurut Septi ... mesum. "Pria mesum."

"Nggak apa- apa. Ujung- ujungnya pria mesum ini, hanya akan mesum pada istrinya. Bukan dengan orang lain."

"Terserah." Septi menahan tangan Angkasa yang bergerak semakin turun ke bawah. "Jangan mulai ya!"

Angkasa terkekeh. "Ternyata pilihan yang tepat, ketika aku mulai mengisi barang- barang dari kamar utama. Kita bisa mencobanya lebih dulu."

Septi menatap tajam Angkasa, mereka kini saling berhadapan, dengan tangan Angkasa yang memeluk pinggang Septi. "Memang maunya kamu."

Angkasa kembali terkekeh. Mengeratkan pelukannya, menarik Septi agar semakin merapat dengan tubuhnya. "Aku nggak sabar kalau harus nunggu Irwan dan Nadia menikah. Kita bisa dahului mereka." Mengecup bibir Septi. "Lagian nggak ada keharusan juga kita menikah setelah mereka. Kalau mau duluan, kita nggak akan melanggar apapun. Kamu, kenapa—"

Septi mencium bibir Angkasa, membuat Angkasa terdiam. Keterdiaman Angkasa tidak berlangsung lama, karena setelahnya Angkasa menahan kepala Septi dan melanjutkan ciuman mereka, menjadi ciuman yang semakin panas. Jika, bukan ada barang yang terjatuh karena kegiatan mereka, bisa saja Angkasa akan mengulangi kegiatan malam panjangnya.

"Aku mau mandi." Septi meninggalkan Angkasa begitu saja, dengan segala sesaknya.

***

Sesuai dengan janjinya terhadap Miranda. Septi saat ini sudah berada di kediaman Miranda. Setelah beralasan cukup banyak, agar Angkasa menuruti permintaannya, akhirnya ia berhasil lepas dari genggaman Angkasa.

"Naah ... Mama seneng banget deh hari ini, kedua mantu Mama yang cantik- cantik ini ada di dapur Mama." Miranda mengenggam tangan Septi dan Diana secara bersamaan. "Sekali- kali nggak apa- apa ya kalian nggak kerja. Mending disini bantuin Mama bikin kue. Nanti malam kita  undang para pria- pria pekerja keras itu, untuk malam bersama." Ujar Miranda dengan wajah yang berseri- seri.

Dan baru kali ini lagi, Septi bertemu dengan Diana secara dekat.

Setelah malam lalu, ketika Septi melihat Diana datang ke kantornya sambil menangis, memeluk Angkasa dan membawa Angkasa pergi. Septi tidak bohong, jika kali ini, di hatinya tersimpan sedikit rasa benci yang ia ciptakan untuk Diana.

Sesekali, Septi memberikan senyum palsu ketika tidak sengaja mereka saling bertukar mata. Biarkan kali ini ia menjadi wanita jahat. Ia hanya ingin melindungi apa yang ia miliki saat ini.

Di tengah keheningan antara Septi dan Diana, akhirnya Miranda berhasil menjadi penengah. "Karena bingung mau bikin kue apa, gimana kita bikin kue masing- masing untuk pasangan kita? Yah, anehnya walaupun mereka satu darah, kalau soal kue mereka punya selera masing- masing. Mama sampai kewalahan kalau bikin kue untuk mereka. Kalau kayak gini kan, kita bisa bikin untuk pasangan masing- masing, kan?" Ujar Miranda dengan semangat.

Di saat dirinya yang di tanyai oleh Miranda, akan membuat kue apa untuk Angkasa, ucapannya harus terpotong oleh Diana. "Angkasa nggak suka rasa strawberi."

"Oh ... ya?" Miranda menatap Diana, lalu kembali menatap Septi dengan meminta jawaban Septi.

"Beberapa kali, aku membuatkan cheescake strawberi ini untuk Angkasa. Dan Angkasa suka. Jadi, nggak ada dasar yang membuat Angksa tidak suka dengan strawberi." Ucapnya dengan tegas.

Miranda hanya mengangguk. Namun, tidak dengan Diana. "Mungkin dia hanya terpaksa memakannya agar kamu tidak kecewa."

"Bahkan aku membuatnya atas permintaan Angkasa sendiri. Lalu, dimana rasa keterpaksaannya?" Jawab Septi.

Menengahkan perdebatannya, Miranda kembali bersuara. "Segala hal bisa berubah. Mungkin dulu Angkasa sempat tidak menyukai strawberi, kalau sekarang ia mulai menyukai strawberi karena suatu kebiasaan, kita nggak bisa memaksa apa yang diinginkan dan tidak diinginkan oleh seseorang, kan?"

Septi mengangguk. Ucapan Miranda membantunya untuk mengalahkan Diana.

Mungkin Diana pikir segala ucapannya bisa menganggu hubungannya dengan Angkasa. Namun, dapat Septi pastikan. Angkasa tidak akan pernah kembali ke dalam pelukan Diana.

Septi juga baru mengetahui fakta yang ia cari secara diam- diam dari pesan masuk di ponsel Angkasa. Selama ini Diana masih mencoba menganggu perasaan Angkasa. Beberapa kali Diana seolah meyakinkan bahwa mereka bisa lari bersama, untuk menbangun hubungan kembali. Namun, satu hal yang Septi tahu dari pesan yang Angkasa kirim untuk Diana. Bahwa Angkasa hanya menginginkan dirinya, bukan wanita lain.

Dan malam di saat Septi melihat Diana di dalam pelukan Angkasa. Septi tahu kini, Angkasa hanya menganggapnya sebagai seorang teman, teman yang perlu di bantu ketika dalam keadaan susah.

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang