40. Ikat Rambut

1.3K 65 1
                                    

Masih tidak ada suara dari keduanya. Saat ini mereka berdua sudah berada di dalam lift untuk menuju kamar hotel mereka. Beruntung hanya ada mereka berdua yang berada di dalam lift. Jika ada orang lain, betapa tidak terbayangkan berada di dalam lift dengan hawa yang begitu panas, yang terpancar dari keduanya.

Walaupun sudah di perlakukan begitu manis oleh Angkasa di tengan kemarahan pria tersebut. Namun bukan berari Septi bisa memaafkan perbuatan Angkasa. Yaah, Angkasa memang tidak melakukan kekerasan ataupun bertengkar dengan teman- temannya. Hanya saja Septi begitu kesal dengan kecemburuan Angkasa yang berlebihan.

Oke, seperti pemikirannya tadi, yang sempat terlintas. Bahwa ia juga akan cemburu jika berada di posisi Angkasa tadi— bahkan lebih. Yang membuat Septi begitu kesal adalah, Angkasa yang tidak menepati janjinya.

Sebelum berangkat, Angkasa berjanji kalau ia tidak akan cemburu sedikitpun. Nyatanya, tidak seperti itu. Bahkan, Angkasa membawanya pulang, sebelum acara benar- benar selesai, parahnya acara bahkan belum sampai di penghujung acara.

Ponselnya pun tidak berhenti berdering, dan beberapa pesan baru, masuk kedalam notifikasinya. Ia belum sampai berjumpa dengan teman- teman wanitanya. Semua teman wanitanya menanyakan keberadaanya. Septi yang malas mengangkat panggilan telfonnya, karena tidak ingin memberikan alasan palsu. Septi lebih memilih untuk menonaktifkan ponselnya.

Dan kegiatan Septi tidak luput dari perhatian Angkasa. "Kenapa di matiin?" Tanya Angkasa.

Tidak ingin menjawab pertanyaan Angkasa. Pintu lift terbuka, Septi memilih lebih dulu melangkahkan kakinya, meninggalkan Angkasa dengan pertanyaannya. Menempelkan key card di pada tempatnya, hingga suara kunci terbuka. Melebarkan pintu, menahan pintu sampai Angkasa sudah tepat berada di belakangnya. Meninggalkan Angkasa yang masih menutup pintu.

Memejamkan mata, menarik nafas sedalam- dalamnya, menghembuskannya secara perlahan, hingga genuruh hebat di dalam dadanya terasa lebih ringan. Cara itu sepertinya ampuh untuk menenangkan hatinya.

Melepas jas milik Angkasa secara perlahan, menaruhnya di pinggir sofa. Melangkahkan kakinya menuju mini bar, yang berada di dalam kamar hotel. Membuka botol air mineral yang masih tersegel, lalu meminumnya secara teratur.

Sang Ibu pernah bercerita, ketika sedang berada di dalam emosi yang tinggi, lebih baik minum terlebih dahulu, baru berbicara. Agar saat berbicara nanti, kita lebih bisa mengontrol ucapan yang akan keluar dari bibir kita. Dan suasana hati akan lebih baik pastinya, walaupun kita hanya berdiam diri saja.

Mendengar langkahan kaki yang berjalan ke arahnya. Septi mengambil botol air mineral lainnya, membukanya kembali. Memutarkan tubuhnya, menatap seseorang yang sedang berjalan ke arahnya.

Ketika Angkasa sudah begitu dekat jaraknya dengan dirinya. Septi langsung menyerahkan air mineral tersebut ke dada Angkasa, sebelum Angkasa berbicara.

Dengan refleks Angkasa langsung menahan botol air mineral yang di tempelkan pada dadanya, sebelum Septi melepaskan tangannya dan botol tersebut jatuh ke lantai.

"Minum!" Suara itu begitu tegas namun terdengar lembut di telinga Angkasa.

Angkasa menatap Septi dengan bingung. Raut wajahnya seperti bertanya, untuk apa?

Seakan tahu apa yang ada di dalam pikiran Angkasa. "Sebelum kamu ngomong, minum dulu. Udahnya kamu tarik nafas dalam- dalam."

Angkasa menggelengkan kepalanya, namun ia tetap mengikuti instruksi dari Septi.

Selesai Angkasa minum dan sebelum Angkasa menarik nafasnya, Septi sudah lebih dulu mengambil air mineral tersebut dari tangan Angkasa.

"Sambil merem narik nafasnya." Suara Septi terdengar begitu lembut di telinga Angkasa.

"Lebih tenang?" Tanya Septi. "Sebelum kamu bersuara, dipikirn dulu apa yang mau kamu keluarkan? Jangan sampai ada kata- kata kamu yang bikin aku sakit hati. Aku capek berantem sama kamu, cuma gara- gara kamu cemburu, aku tuh—." Ucapan Septi berhenti begitu saja karena benda kenyal yang begitu hangat menempel pada bibirnya. Walau hanya kecupan yang hanya sebentar namun membuat getaran yang begitu hebat di tubuh Septi.

"Kalau begini yang mau bicara itu, aku atau kamu?" Ibu jari Angkasa mengusap lembut bibir Septi, seakan menghapus lipstik yang masih menempel di bibir Septi.

"Nggak bisa hilang?!" Ucapnya heran.

"Waterproof."

Angkasa mengangguk. "Pada saat berangkat, aku nggak lihat bibir kamu semerah ini?" Ucapnya mendelik. Tangannya menangkup rahang Septi, menyampingkan ke kanan dan ke kiri.

"Lampu disana begitu terang, lipstik yang aku pakai tadi terlihat begitu pucet, jadinya aku ganti pas di kamar mandi tadi. Takutnya mereka mikir aku sakit, yah aku ganti aja."

"Tanpa sepengetahuan aku?"

"Angkasa ... jangan mulai! Masa sampai aku pakai lipstik warna apa harus ijin kamu dulu sih." Septi melipat kedua tangannya di dada.

"Bukan, bukan maksud aku mau batasin, setidaknya kamu bilang dan minta pendapat aku terlebih dahulu."

"Harus pakai sebuah perjanjian terlebih dahulu? Nggak sekalian kamu, bikin hitam di atas putih, pakai notaris sekalian." Ucap Septi sinis.

Angkasa terkekeh. "Apa menurut kamu, aku berlebihan seperti itu?"

"Kamu tuh, nyebelin kalau lagi cemburu. Apa- apa harus persetujuan kamu. Masih nggak sepercaya itu sama hati aku? Harusnya aku yang masih nggak percaya sama hati kamu! Kamu masih banyak yang di sembunyiin kan dari aku?"

Menggelengkan kepalanya. "Nggak usah melebar kemana- mana septi ..."

"Bukannya melebar, tapi itu kenyataan. Kamu susah jujur sama aku, kalau bukan karena aku nemuinnya secara nggak sengaja, kamu nggak akan jujur ke aku, aku—"

Angkasa mengecup bibir Septi sekali lagi. "Bukan aku yang jadi tujuan utama dalam pembicaraan kita kali ini. Jadi, nggak usah menyerang aku balik."

"Selalu curang!"

Angkasa menggelengkan kepala, tanda ketidak setujuannya.

"Kalau bukan curang apa namanya?"

Angkasa terkekeh. Menarik Septi kedalam pelukannya.

"Kenapa yang kamu pakai kali ini sangat mengganggu, bahkan mata- mata mereka membuat aku benar- benar kesal."

"Tadi pagi kamu setuju- setuju aja aku pakai ini."

"Dan kenapa rambut ini harus kamu ikat segala." Angkasa melepaskan ikatan yang mengikat di rambut Septi.

Menarik nafas. "Ganggu aku tadi, pas aku makan ini turun- turun, ada ikat rambut di tas aku, yah kenapa nggak aku ikat aja sekalian."

Hembusan nafas Angkasa di lehernya membuat ia merinding. Membuat Septi diam tidak bergeming.

"Cuma ikatan, hal biasa nggak usah berlebihan gitu, di kantor juga aku sering ngiket rambut kok." Sanggah Septi melawan ketidak masuk akalan Angkasa.

"Biasa menurut kamu." Bibir Angkasa sudah menempel di leher Septi, mengecupnya dengan lembut. "Ini jadi terbuka dengan lebar." Angkasa mengecup lehernya sekali lagi, dan tangannya sudah bermain di punggung Septi yang terbuka dengan polos lantaran gaun tersebut yang begitu polos di punggung.

Septi masih menahan getaran yang begitu hebat lantaran jemari Angkasa yang masih bermain di punggungnya. Terlena begitu saja dengan lihaian tangan Angkasa.

Hingga ia mendengar sebuah jepretan kain yang terobek ... krek.

"ANGKASAAAA!"

***









Sebagai permintaa maaf, karena lama updatenya,
Aku kasih double update ya ...
Dan sekali lagi,
Jangan lupa VOTE ya !
♡♡♡

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang