10. Gombal

2.3K 166 0
                                    

Setelah melewati apartemennya begitu saja, Septi dan Angkasa akhirnya berhenti di apartemen milik Angkasa.

Di sepanjang jalan Septi tidak pernah berhenti bertanya. Bertanya akan dibawa kemana dirinya. Namun tidak ada jawaban sama sekali yang terucap dari bibir Angkasa.

Saking kesalnya Septi mengancam akan turun dari mobil, dengan cara melompat. Dan setelah mengatakan ancaman tersebut, yang sebenarnya juga tidak akan Septi praktikan, pergelangan tangan Septi sudah di genggam oleh Angkasa.

Genggaman tangan itu, tidak sekencang seperti di rumah orang tua Angkasa tadi. Terasa sangat erat, namun tidak menyakitkan, ada kelembutam didalamya. Genggaman yang awalnya berada di pergelangan tangan, berpindah arah di jemari yang saling bertautan.

Septi melirikan matanya ke arah tangan yang saling bertautan, lalu menatap ke arah Angkasa yang sedang fokus di balik kemudi. Tidak ada ekspresi yang ditunjukan dari wajah Angkasa. Hanya ekspresi datar yang terlihat dari wajah Angkasa.

Jalanan yang cukup padat membawa mereka terjebak dalam kemacetan. Entah apa yang terjadi pada diri Septi. Septi sama sekali enggan melepaskan genggaman tangan Angkasa. Mencari- cari alasan yang tepat untuk dirinya sendiri, akhirnya ia menemukan jawabannya. Mungkin. Karena hujan di luar sana dan udara yang dingin, membuat ia melepaskan genggaman ini. Septi butuh sesuatu yang hangat, agar suhu tubuhnya memanas, dan jalan satu- satunya ya ... dengan genggaman jemari Angkasa.

Selama mencari alasan untuk dirinya sendiri. Septi tidak menyadari jika Angkasa sudah menatapnya sedari tadi.

"Ngelamunin apa?" Suara Angkasa terdengar sangat lembut di telinga Septi.

"Masih berniat mau loncat? Mending nggak usah loncat, jalanan lagi macet dan berhenti, mending turun sekarang."

Angkasa membuka lock pintu mobil. Serta melonggarkan genggaman tangannya.

Melihat Septi yang sepertinya akan menuruti ucapannya, Angkasa kembali mengeratkan genggaman tangannya.

"Kamu tanggung jawab saya." Ujar Angkasa.

Septi menatap Angkasa sinis. "Saya nggak minta."

"Tapi saya mau."

"Kenapa sih Pak!"

"Apanya yang kenapa?"

"Kenapa saya harus terjebak sama Bapak!"

"Lagi macet Sep, lihat- nggak gerak kan?"

"Bukan itu, ya tuhan ..." Septi meremas jemari Angkasa.

"Sakit."

"Manja."

"Memang. Baru tahu saya manja? Kamu harus banyak- banyak tanya sama Mama tentang saya, gimana ngehadapin manjanya saya. Jadi kamu bisa ngetreat saya sebaik mungkin."

Septi menunjuk dirinya sendiri dengan tangan yang bebas. "Nggak sampai begitu Pak, kalau cuma mau berbohong, alami aja jangan sampai melibatkan orang lain."

"Kalau saya mau ini bukan jadi hanya sekedar sandiwara?"

"Ini cuma sandiwara Pak, jangan mikir yang lebih."

"Kalau saya maunya lebih?"

***

Septi masih menatap kesal Angkasa, pembicaraannya dimobil tadi masih sangat terngiang di telinganya. Bagaimana tidak, seolah- olah Angkasa mau hubungan sandiwara ini menjadi sungguhan, yang benar saja!

"Jangan mandangin saya terus, nanti naksir beneran." Yakin Angkasa.

"Ck."

Iya memang benar, lama- lama Septi bisa naksir dengan bossnya sendiri. Namun pemikiran- pemikaran yang seperti itu, selalu Septi alihkan. Apalagi jika teringat perlakuan Angkasa terhadapnya, hanya karena sebuah foto saja, Angkasa bisa berubah sifatnya. Septi mengernyit sendiri, ketika mengingat kejadian itu.

"Minum kamu belum diminum dari tadi." Angkasa menunjukan jarinya ke arah cangkir yang sudah terisi teh hangat.

"Terimakasih."

"Bukan jawaban yang saya minta, Septi ... tapi diminum, airnya diminum biar hangat."

Diluar sana memang masih hujan, hujannya semakin deras. Untungnya mereka sampai apartemen sebelum hujan yang benar- benar deras. Tidak tahu lagi berapa lama mereka akan semakin terjebak macet.

"Harus saya yang suapinin ke kamu?"

"Nggak perlu." Septi membuat tatapannya, menghindari mata yang terus menatap kearahnya.

"Ngapain sih Pak lihat- lihat ke saya terus."

"Saya harus lihat kemana? Semua disini sudah saya lihat semua, cuma kamu objek baru disini, yaa ... otomatis mata saya menatap objek baru." Melihat Septi yang mulai bergeram, Angkasa hanya tersenyum. "Dilihat- lihat kamu cantik juga."

Septi mencoba menahan segala gejolak yang ada dihatinya. Siapa yang tidak senang ketika dirinya dibilang cantik, apalagi sama boss sendiri. Boss yang selalu dikagum- kagumi oleh bawahannya.

Septi yakin, wajahnya saat ini sudah memerah.

"Nggak usah gombal ya Pak, nggak mempan di saya."

Angkasa sudah berpindah tempat duduk, dengan santainya ia duduk disebelah Septi, tanpa menyisakan jarak sedikitpun.

Wajah Angkasa mendekat ke wajah Septi. "Mempan." Angkasa mengelus pipi Septi dengan punggung tangannya. "Ini ... kenapa merah tiba- tiba?"

Merasa semakin terhimpit, Septi mencoba mendorong Angkasa. Namun gagal. Tenaga Angkasa jauh lebih kuat darinya.

"Jangan macam- macam ya Pak!" Septi masih berusaha menahan dada Angkasa, jarak mereka semakin dekat, hidung mereka sudah hampir menempel.

"Siapa yang mau macam- macam? Satu macam aja. Kita baru pertama kali, jadi belum bisa berbagai macam."

Septi menatap Angkasa marah. Entah kekuatan dari mana, ia berhasil mendorong Angkasa. Walaupun tidak berpindah tempat, setidaknya sudah ada jarak dari keduanya.

"Haha saya nggak sekotor pikiran kamu, tapi kalau kamu mau ya nggak apa- pa, saya ayoin." Kekeh Angkasa.

"Tapi dengan ajakan saya dimobil tadi, saya serius. Nggak ada salahnya kalau kita merubah hubungan sandiwara ini menjadi sungguhan ..."

"Nggak usah bercanda Pak, hati saya jauh lebih kuat dari yang Bapak pikirin, kalau- kalau Bapak mikir saya bakalan jatuh cinta, nggak saya akan tutup rapat- rapat hati saya." Septi menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya.

"Kalau saya bilang, saya yang jatuh cinta? Saya yang akan membuat kamu jatuh cinta sama saya."

Septi menatap Angkasa kesal. "Semudah itu Bapak mempermainkan hati saya? Terus kalau saya terlanjur jatuh cinta sama Bapak, setelahnya untuk apa? Saya bakalan ditinggal begitu saja?"

"Kita sama- sama coba bangun hububgan ini."

Septi memutar kedua bola matanya. Ia tidak habis fikir dengan pemikiran Angkasa.

"Kalau Bapak cuma butuh saya, untuk menghindari kedua orang tua Bapak, karena terus menjodoh- jodohkan Bapak, cukup sampai itu saja sandiwara kita, saya akan tolong Bapak, agar Bapak terlepas dari masalah itu. Tapi tidak untuk mempermainkan hati saya Pak."

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang