39. Cemburu 2

1.2K 61 0
                                    

Sepertinya tidak ada waktu sedikit pun untuk Septi menghindar dari Angkasa. Angkasa mengekorinya bak anak itik. Bahkan sampai Septi ke kamar mandi, Angkasa tidak melepaskannya berang sedetik pun. Begitu sebaliknya, jika Angkasa yang ke kamar mandi Septi juga harus mengikutinya. Kalau perlu, Angkasa akan membawa Septi ke dalam kamar mandi tersebut.

Irwan yang melihat tingkah ke kanakan Angkasa, juga sempat menegur Angkasa untuk tidak bersikap over protektif terhadap Septi. Di acara pertunangannya sudah jelas banyak teman- teman semasa sekolahnya. Dan pastinya juga merupakan teman dari Septi juga.  Irwan mengatakan kepada Angkasa, untuk memberikan ruang kepada Septi agar Septi bisa reuni bersama teman- teman sekolahnya dulu.

Namun, bukan Angkasa namanya. Angkasa tidak akan pernah mempedulikan ucapan orang- orang. Apalagi mengenai sebuah kebebasan untuk Septi. Apalagi saat ini, Septi berada di kandangnya sendiri, istilahnya. Angkasa semakin tidak akan membiarkan Septi sendiri di tengah- tengah teman lamanya.

Disepanjang penglihatan Angkasa, teman- teman pria Septi yang banyak menyapa Septi. Dan itu benar- benar membuat Angkasa geram. Ditambah lagi, Dean. Saat ini Dean adalah musuh terbesarnya. Sudah jelas- jelas ada Angkasa di samping Septi. Dean masih saja mencoba untuk menarik Septi dan membawanya ke kerubungan teman- teman sekolahnya. Dan yang sangat menyebalkannya, Dean berhasil membawa Septi ketengah teman- temannya tanpa Angkasa.

"Nggak usah di lihatin terus. Wajar kali Septi ngumpul sama teman- temannya, kan udah lama juga. Apalagi sekarang Septi kerjanya udah di Jakarta, pasti makin susah ketemu teman sekolahnya." Irwan mengintrupsi perhatian Angkasa.

"Dari tadi juga udah ketemu sama mereka, sekarang perlu apa lagi?"

"Yee, dari tadi lo kekepin Septi, nggak bebaslah dia." Irwan memukul dada Angkasa dengan kepalan tangannya. "Percaya deh, Septi nggak akan macem- macem."

Angkasa mendengkus. "Mata- mata cowok sialan itu, kenapa natap Septi harus sampai begitu!" Gumam Angkasa kecil, namun masih terdengar oleh Irwan.

Irwan melirik ke arah Septi lalu ke arah Angkasa bergantian. Lalu kekehannya keluar, ketika melihat wajah Angkasa yang memerah menahan amarah.

"Santai bro! Rileks ... wajar sih." Angkasa menatap Irwan tajam karena ucapannya. "Bukan, gini maksudnya. Dulu tuh, Septi tomboi banget. Sekarang jadi feminim gini, pasti orang akan menatap Septi dua kali, kayak mereka tuh mikir, benar nggak sih ini Septi yang gue kenal dulu. Jadi, nggak perlu lah cemburu- cemburu gitu." Irwan memukul pelan bahu Angaksa.

"Gimana gue nggak cemburu, kalau melihat mata- mata pria brengsek yang nggak berhenti menatap Septi." Ada suara tarikan nafas yang begitu kencang, hingga membuat Irwan kembali menatap ke arah Angkasa. "Kenapa juga gue pakai ijinin Septi pakai gaun dengan belahan panjang kayak gitu! Gue pulang duluan kayaknya, gue nggak bisa nunggu sampai acara lo selesai."

Irwan meringis dan terkekeh karena kecemburuan Angkasa yang begitu terlihat, ia hanya bisa menggeleng- gelengkan kepalanya. Menatap Irwan dengan takjub.

Setelah memeluk dan mengucapkan selamat kepada Irwan, sekali lagi. Angkasa langsung segera pamit dari acara Irwan dan Nadia. Dan untuk menghormati si punya acara, Angkasa juga sudah lebih dulu berpamitan kepada Nadia, ia sempat berpapasan dengan Nadia yang akan menemui Irwan.

Tidak ada senyum sedikit pun yang terlihat dari wajah Angkasa ketika menghampiri Septi yang sedang berkumpul dengan teman- temannya. Angkasa semakin di buat murka, ketika ia melihat tidak ada satupun teman wanita Septi di lingkaran tersebut. Yang terlihat hanyalah teman- teman pria saja.

Dan Septi seakan tidak merasa risih ataupun sungkan sedikitpun. Yang paling Angkasa benci adalah Dean. Dean terlalu menempel dengan Septi, seakan tidak ada ruang lagi untuk Dean menggeser tubuhnya berang sedikit pun.

"Ergheem."

Sebuah deheman keras, memberhentikan gelak tawa dari sekumpulan yang dari tadi rasanya ingin Angkasa bubarkan.

Septi orang pertama yang melirik ke arah suara deheman tersebut. Ia sudah sangat hapal dengan suara itu. Tidak menunggu waktu lama dan tanpa perintah sedikit pun, Septi sudah berlari ke arah Angkasa. Melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Angkasa. Tidak lupa ia juga mengenalkan Angkasa kepada temannya secara satu persatu.

Angkasa yang di perkenalkan dengan teman- teman Septi, merasa tidak ada niat dan keharusan untuk berjabat tangan. Ia juga hanya memberikan anggukan kecil dan tatapan yang sangat sinis. Dan tidak ada niatan sedikit pun, untuk Angkasa bersuara menjawab pertanyaan teman- teman Septi.

Merasa tidak enak, Septi lah yang membalas segala pertanyaan dari teman- temannya. Septi memotong pertanyaan dari temannya, ketika merasakan tangan Angkasa yang sudah berada di pinggangnya. Merasakan sebuah remasan yang begitu kuat pada pinggannya, Septi memilih pamit duluan, dengan alasan sebuah pekerjaan.

Dan lagi- lagi alasan itu ia buat juga ketika berhadapan dengan kedua orang tuanya dan juga kedua orang tua dari pasangan pemilik acara.

Ketika Septi ingin menghampiri Nadia dan Irwan. Angkasa menahan tangannya. Menariknya dengan pelan namun begitu terasa kuat. "Nggak perlu kesana, aku tadi sudah pamitan sama Irwan dan Nadia."

Septi mengerutkan alisnya. "Kan kamu, aku belum pamitan sama mereka, ngucapin aja belum sempat tadi."

"Nggak perlu." Ucap Angkasa tegas.

"Apaan sih kamu, cuma ngucapin! Disana juga cuma ada mereka berdua."

"Nggak perlu Septi!" Angkasa menahan suaranya, namun masih terdengar begitu tegas.

Tidak taukah Septi, jika Angkasa begitu kesal dengan tatapan- tatapan nakal yang tertuju kepada gaun belahan panjang yang saat ini di gunakan oleh Septi. Dan tolong ingatkan Angkasa untuk merobek gaun itu, setibanya ia di hotel nanti.

"SEPTI MUARA SARI!"

Tidak ada teriakan ketika nama panjangnya terucap. Namun Septi tahu, nada yang keluar dari bibir Angksa bukan sebuah panggilan semata, di dalamnya sudah ada kekesalan dan kemarahan yang begitu mendalam. Jika sudah seperti ini, Septi hanya bisa menuruti kemauan Angkasa saja.

Dengan mengangguk, sebagai tanda setuju. Septi melangkahkan kakinya kearah pintu keluar, tangannya mengenggam tangan Angkasa dengan erat, seiring membawa langkah Angkasa yang berada tepat di belakangnya.

***

Tiba di dalam mobil, Septi merebahkan punggungnya hingga mengenai jok mobil. Merilekskan tubuhnya, memejamkan matanya. Menenangkan hatinya. Ia tidak mau tersulut emosi atas sikap Angkasa yang berlebihan di matanya.

Tidak ada suara dari keduanya. Septi masih tetap dengan kondisinya. Memejamkan kedua matanya. Begitu juga dengan Angkasa yang begitu fokus pada setirnya. Ia juga terlihat tidak mau membuka suaranya. Karena jika Angkasa membuka suaranya, yang ia tahu itu akan lebih membuat Septi kesal kepadanya.

Sebelum turun dari mobilnya, Angkasa membuka jas yang ia pakai sedari tadi, memasangkannya pada tubuh Septi. Setelahnya ia turun terlebih dahulu, berlari ke arah pintu Septi, membukanya dan membantu Septi turun dari mobilnya yang cukup tinggi. Hal yang ia lakukan saat ini tidak ia lakukan ketika tadi Septi naik ke dalam mobilnya. Sebagai tanda saat ini, emosi Angkasa sudah meredah.

Di perlakukan seperti ini, membuat Septi menipiskan bibirnya. Ada senyum kecil yang terpancar dari bibirnya. Ia tahu Angkasa sudah lebih bisa menahan amarahnya. Tidak seperti dulu yang suka meledak- ledak sesukanya. Yang membuat Septi merasa sangat takut di sebelahnya.

Dan satu hal lagi yang Septi sadari. Bahwa Angkasa begitu mencintai dirinya. Ia tidak akan mempermasalahkan kecemburuan Angkasa terhadapnya. Ia sangat- sangat memaklumi kecemburuan Angkasa terhadapnya. Jika ia berada di posisi Angkasa, mungkin saat ini ia sudah meninggalkan Angkasa begitu saja. Namun tidak dengan Angkasa kepada dirinya.

***






Malem- malem update, dari kemarin kemana aja??
Yuk, kalau lupa dibaca lagi dari awal, hehehe
Jangan lupa vote nya ya!
Makasiih ♡♡♡

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang