15. Genggam

2.2K 118 0
                                    

Sore ...
Jangan lupa vote-nya ya
Love u all 💕

***

Hubungan Septi dan Angkasa semakin lama semakin dekat. Walaupun Septi belum benar- benar yakin dengan hubungan ini, terutama dengan hati Angkasa, Septi tetap mencoba untuk membuka hatinya. Tidak ada salahnya bukan, kalau Septi mencoba menerima Angkasa di kehidupannya.

Mengenai hubungan mereka, tidak ada satupun orang yang mengetahuinya. Kecuali keluarga Angkasa sendiri, lantaran dari awal, karena keluarga Angkasalah ia jadi terlibat hubungan yang tak biasa dengan Angkasa.

Septi sendiri belum berniat untuk memberi tahu Nadia, sahabatnya. Bukannya untuk bermain rahasia- rahasian. Akhir- akhir ini ia jarang sekali bertemu dengan Nadia, meskipun tinggal di apartemen yang sama.

Karena keduanya sudah sangat jarang sekali menempati apartemen mereka. Jika Nadia suka beralasan di culik oleh kekasihnya, maka Septi akan beralasan lembur, ia juga harus mengikuti jadwal Angkasa dan tidak bisa pulang ke apartemen karena harus menemani jadwal Angkasa yang suka dibikin- bikin padat.

Tugasnya sebagai seketaris mau tidak mau, mengikuti jadwal atasannya. Dan alasan itu alasan yang tepat, agar Nadia tidak terlalu banyak menaruh curiga. Walaupun sebenarnya Nadia juga sudah mulai ingin mengkorek- korek ceritanya, tapi sebisa mungkin Septi selalu menghindari sahabatnya ini.

Sebenarnya bukan hanya Nadia saja yang mulai mencurigainya. Teman- teman kerjanya yang satu ruangan dengannya juga sudah mulai berbisik- bisik. Bahkan Sari salah satu rekannya yang paling dekat dengannya, tidak segan- segan selalu menanyakan hubungan dirinya dengan Angkasa.

Disetiap kesempatan Sari akan mencolong- colong pertanyaan. Sari juga akan menjadi orang yang paling teliti, ketika ia harus ikut bersamanya dengan Angkasa, jika sedang meeting di luar kantor. Ketelitiannya bahkan terbanding terbalik dengan pekerjaannya yang selalu teledor.

"Mbak beneran deh, ada hubungan apa sih Mbak sama Pak Angkasa?" Saat ini Septi, Angkasa dan Sari sedang meeting diluar kantor. Sari semakin kepo, karena tadi secara tidak sengaja ia melihat Septi dan Angkasa berpegangan tangan di lift. Ketika ada kesempatan untuk bertanya, Sari tidak akan rela untuk melupakan kekepoannya.

"Hubungan apaan? Ya ... kayak kamu ajalah sama Pak Angkasa, pakai nanya lagi." Septi mengelapkan tangannya dengan tisue di wastafel.

Septi sudah curiga dengan gelagat Sari, daritadi seperti orang yang ingin bertanya, ketika Septi izin ke toilet, benar saja kan, Sari mengikutinya dari belakang.

"Mbak jangan bohongin aku." Rengek Sari ke Septi.

"Lho aku bohongin apa?" Septi buru- buru melangkah kakinya keluar dari toilet.

"Mbak aku lihatin Mbak sama Pak Angkasa terus, di lift tadi Mbak juga pegangan sama Pak Angkasa. Tadi juga sama waktu lagi meeting, sempat- sempatnya Pak Angkasa genggam tangan Mbak dibawah meja." Gumam Sari.

Septi tertawa mendengar ucapan Sari. "Kayak gini kan?"

"Mbak iih ....!"

"Kenapa? Sama kan kayak aku pegangan sama kamu, jangan suka mikir macam- macam ah." Septi mengenggam tangan Sari, hanya untuk membuktikan kalau memang tidak ada apa- apa dengannya dan Angkasa. Walau sebenarnya, ia sedang menahan keringat dingin, karena sudah kepergok oleh Sari.

"Beda dong Mbak, kalau Mbak genggam tangan aku orang- orang nggak akan mikir kita punya hubungan, tapi kalau tangan Mbak sama Pak Angkasa berartikan ada hubungannya. Mbak jujur sama-"

Septi menghentikan ocehan Sari, "Itu ... tanya sendiri sama Pak Angkasa, siapa tahu kamu dapat jawabannya." Septi menunjuk kearah Angkasa dengan dagunya, memberi kode ke Sari untuk bertanya langsung ke Angkasa.

"Mbak tunggu-" Sari mengejar langkah Septi yang sudah mendekati Angkasa.

"Sudah?" Suara Angkasa terdengar begitu lembut di telinga Sari. Kalau sudah seperti itu suaranya, berarti pertanyaan itu ditujukan oleh Septi.

Septi mengangguk sebagai jawaban untuk Angkasa.

Lagi- lagi Sari memandangi interaksi keduanya. Hingga terdengar. "Kamu naik taksi pulangnya, langsung pulang kerumah aja nggak usah balik ke kantor, udah jam segini juga." Angkasa melirikan matanya ke jam tangannya. "Saya masih ada meeting lagi di luar sama Septi, jadi kamu duluan aja."

Septi mencoba menggoda Sari. "Nggak jadi nanya langsung ke orangnya ...?"

"Mbaaak." Rengek Sari. "Mbak ada utang cerita ya sama aku, aku pulang duluan ..." setelah pamit, Sari langsung meninggalkan Septi dan Angkasa berdua.

***

"Kamu bisa nggak sih, kalau ada orang jangan sembarangan genggam- genggam tangan aku?" Protes Septi. "Sari tadi curiga dia perhatiin gerak- gerik kita terus, sampai dia lihat kamu genggam tangan aku." Septi terus berceloteh sambil tangannya sibuk membuatkan teh hangat untuk Angkasa.

"Bagus, kalau dia lihat sendiri nggak usah susah- susah kita ngejelasinnya lagi." Angkasa jalan mendekatkan dirinya dengan Septi, memeluknya dari belakang.

Septi tersentak, karena pelukan Angkasa. Ia tidak mendengar langkah kaki Angkasa, tiba- tiba saja ada tangan yang memeluknya dari belakang. Tidak lupa dengan kecupan di tengkuknya yang membuat Septi kegelian.

Meeting yang di maksud Angkasa adalah seperti ini. Berduan saja dengan Angkasa di apartemen pria itu. Bukan meeting yang sesungguhnya meeting. Angkasa akan mencari celah ketika dirasa ia bisa berduan saja dengan Septi tanpa diganggu oleh pekerjaan.

Setibanya tadi di apartemen, Angkasa langsung mematikan ponselnya, ia tidak ingin ada orang yang menganggu dirinya bersama dengan Septi. Begitu juga dengan Septi, Angkasa meminta Septi menghungi Nadia, agar Nadia tidak mencari- cari keberadaan Septi. Setelahnya ia meminta Septi untuk mematikan ponselnya.

Sudah seminggu ini, Septi dan Angkasa tidak bisa benar- benar berduan, karena pekerjaan yang begitu menumpuk dan rapat yang tidak henti- henti, membuatnya tidak bisa bermanja- manja dengan Septi.

"Jangan lama- lama bikin tehnya." Angkasa membalikan tubuh Septi, sehingga mereka menjadi berhadapan.

"Aku belum selesai bikin-"

Ucapan Septi tidak terselesaikan. Kecupan Angkasa dibibirnya membuat suaranya tertahan. Dari kecupan itu juga Septi mengetahui betapa rindunya Angkasa terhadap dirinya.

Angkasa tidak melepaskan kecupan itu, padahal ia tahu Septi sudah semakin kehabisan nafas. Kecupan tersebut malah berubah jadi cumbuan, Angkasa melumat bibirnya tanpa ampun. Sengaja menggigit bibir bawahnya, agar Septi membuka bibirnya.

Karena tahu tujuan Angkasa, Septi membuka bibirnya membiarkan Angkasa melumatnya. Ia tidak diam saja. Kedua tanganya sudah melingkar sempurna di leher Angkasa. Bibir Septi ikut membalasnya, setelah membiarkan Angkasa bermain sendiri di bibirnya.

Disaat mendapatkan balasan yang sempurna dari bibir Septi, kedua tangan Angkasa tidak diam saja. Hingga tangan Angkasa ditahan begitu saja olehnya.

"Aku lagi datang bulan-" cengir Septi.

Melihat Angkasa yang berdiri dan langsung meninggalkannya begitu saja dengan ekspresi yang tak tergambarkan, Septi tahu apa yang akan dilakukan oleh Angkasa di kamar mandi setelahnya.

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang