Akhirnya mau tidak mau, Septi menjelaskan siapa Dean itu. Septi menceritakannya tanpa di minta oleh Angkasa. Ia juga tidak tahu apa nantinya Angkasa akan semakin marah atau tidak padanya, yang jelas ia hanya akan meluruskan kesalah pahaman ini. Septi tidak ingin Angkasa terus mendiaminya sepanjang hari.
Septi menceritakan jika Dean hanya sahabatnya, ia dan Dean juga sempat berpacaran, namun hanya sebentar. Karena bagi mereka berdua hubungannya cocok hanya sebatas sahabat bukan sebagai kekasih.
Karena itulah hubungannya dengan Dean sampai saat ini masih terjalin baik. Mereka berdua juga seperti adik dan Kakak. Septi juga menegaskan kepada Angkasa untuk tidak cemburu terhadap Dean. Namun Septi tidak dapat menjamin apakah Angkasa akan menerima Dean atau tidak.
Selebih lagi, Dean selalu bersikap berlebihan dan merasa memilikinya jika sedang bersama dengan Septi. Dan pertemuannya kali ini dengan Dean, adalah pertemuan pertama kali lagi, setelah mereka berpisah lama.
Dean yang memilih melanjutkan kuliahnya di Negeri Paman Sam ini membuatnya lama tidak bertemu. Dan nanti di acara lamaran Nadia dan Irwan, menjadi pertemuannya lagi dengan Dean.
"Nggak usah marah- marah lagi, oke?" Septi masih berusaha membujuk Angkasa, setelah menjelaskan siapa Dean. "Aku nggak ada hubungan apa- apa kok sama Dean. Serius ..." Septi memainkan jemari tangan Angkasa.
"Ganti namanya di ponsel kamu."
Septi menatap Angkasa. Tidak percaya bahwa Angkasa sudah mulai bicara kepadanya. "Kamu yang ganti, biar kamu percaya sama aku." Septi menyerahkan ponselnya.
Angkasa menatapnya sekilas, lalu mengambil ponsel Septi dari tangan Septi.
"Ihh kok di hapus?" Septi menggelengkan kepalanya.
"Biar kamu nggak bisa hubungin dia."
"Kamu cek deh, kapan terakhir aku hubungin Dean? Aku udah lama banget nggak pernah komunikasi lagi sama Dean, ini pertama kali lagi aku ketemu sama Dean, kamu nih, ihh!"
"Nggak ada yang tahu, setelah ini kalian akan komunikasi lagi."
"Kamu nggak percaya sama aku? Serius deh."
"Bukannya masalah percaya atau tidak, tapi aku cuma menjaga yang menjadi milik aku. Dan aku nggak akan pernah lepasin itu."
Mendengar ucapan Angkasa membuat hatinya berbunga- bunga. Tanpa sadar wajahnya mulai memerah, menahan malu.
"Ihh berarti aku milik kamu atau bukan?" Tidak mau besar hati sendiri, Septi mencoba menanyakan siapa dirinya di kehidupan Angkasa.
Tidak ada sahutan dari Angkasa. Angkasa justru membaringkan tubuhnya di sofa, dan menaruhkan kepalanya di paha Septi. Wajahnya sengaha ia tempelkan di perut Septi, sambil menggesekan hidungnya.
"Jawab Pak Angkasa, aku siapa kamu?"
Angkasa menghentikan gesekan hidungnya di perut Septi, membangunkan setengah badannya. Dengan secepat kilat, ia mencium bibir Septi. Hanya kecupan biasa. Namun mampu membuat hati Septi semakin berbunga.
"Ihh di jawab."
"Masih perlu jawaban? Kamu belum bisa ngerasain betapa aku inginnya, milikin kamu?" Suara itu hanya terdengar seperti gumaman, karena Angkasa sudah kembali menempelkan wajahnya di perut Septi. "Aku lapar."
"Yaudah ayoo makan."
"Aku ngantuk."
"Kamu mau makan atau tidur jadinya?" Septi mengelus rambut Angkasa.
"Mau makan sekalian nidurin kamu." Gumam Angkasa.
"Ish ..."
***
"Sayang ... ayo bangun. Ibu udah nelfonin terus. Tidurnya lanjut di rumah ku aja."
Septi sudah berhasil membujuk Angkasa, namun sebelum bujukannya di terima, Angkasa mengajukan sebuah syarat yang menurutnya sangat ke kanak- kanakan.
Bahkan sewaktu ia berpacaran di masa- masa kuliah, ia tidak pernah memiliki panggilan kesayangan apapun dengan pacarnya terdahulu.
"Lima menit lagi." Angkasa berbicara dengan matanya yang masih tertutup. Tidak lupa dengan senyum lebarnya, karena panggilan namanya yang tidak biasa.
"Kamu udah bangun, ayooo. Daripada senyum- senyum begitu, mending buka mata, mandi, terus berangkat."
"Hmm." Gumam Angkasa.
"Pak Angkasa ... "
"Kalau kamu manggilnya kayak gitu, makin lama aku bangunnya. Aku sih ikutin cara kamu aja."
Septi menarik nafas. Berusaha sabar menghadapi kekasihnya yang sedang berubah menjadi anak- anak kembali.
"Sayang ... bangun yuu. Nanti terlalu malam sampai ke rumah aku, nggak enak sama Ibu dan Ayah kalau datangnya malam."
"Lima menit lagi."
"Sayang ... " Septi mengecup bibir Angkasa sekilas.
Angkasa tertawa.
"Malah ketawa lagi, pasti kamu ngerasa lucu kan di panggil kayak gitu."
"Nggak. Aku suka malahan. Aku ketawa karena lucu aja, ternyata kamu bisa nurut kayak gini." Angkasa menarik tangan Septi membuatnya terjatuh tepat di atas tubuh Angkasa. Menahan kepala Septi, mengecupnya sedikit lebih lama.
Angkasa tidak bohong, ditengah kecemburuannya, ia begitu gemas dengan Septi hari ini. Awalnya ia hanya ingin mengerjai Septi, berpura- pura marah saja. Namun setelah melihat ponsel Septi yang di taburi pesan masuk dari seseorang yang namanya, dinamai dengan nama yang tidak biasa, membuatnya menjadi marah sungguhan. Lebih tepatnya, ia cemburu, cemburu dengan si pemilik nama itu.
"Kamu ih ..." Septi menahan dada Angkasa, yang coba kembali mengangkat kepalanya.
"Kenapa sih? Mau cium kamu masa nggak boleh. Aneh- aneh aja."
"Kalau nggak di tahan bisa kelamaan kamunya. Yang ada kita nggak jadi ke rumah ku." Septi berusaha untuk mendirkan tubuhnya kembali. Namun gagal. Angkasa justru membalikan tubuhnya. Saat ini ialah yang berada di bawah tubuh Angkasa.
"Sayaang ... please."
"Iya- iya. Aku bangun."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Starting You
RomanceAngkasa Razel seorang CEO yang berhasil membuat permintaan kepada Septi Muara Sari di hari pertamanya kerja. *** Siapa yang sangka jika Septi Muara Sari harus bekerja menjadi seorang seketaris dengan atasan yang selalu mengambil keputasannya secar...