14. Kusut

2.2K 131 0
                                    

Angkasa adalah orang pertama yang bangun dari tidurnya. Dengan posisi yang masih sama seperti tadi, Septi masih dalam pelukannya. Pakaian yang sudah mereka kenakan, tidak sebaik dengan awalnya, namun masih lebih baik dari apa yang telah terjadi tadi.

Tidak ada niatan Angkasa untuk membangunkan Septi. Angkasa justru dengan santainya memandangi wajah Septi yang tertidur. Begitu damai dan menenangkan. Entah bagaimana ia bisa meminta sesuatu yang lebih dari Septi. Padahal hubungan yang mereka jalin ini masih sebatas bayang- bayang.

Walau memang yang sebenarnya, ketika Angkasa meminta Septi untuk menjadi kekasih sesungguhnya, itu bukanlah main- main. Angkasa serius untuk mengajak Septi menjadi kekasihnya. Meski ada hati lain, yang masih tersimpan.

Angkasa menyadari, ketika ia melibatkan Septi dalam hubungan asmaranya yang palsu, ada kesungguhan di dalamnya untuk menjadikan Septi sebagai pengganti hati yang telah kosong ini.

Dan sepertinya, setelah kejadian hari ini. Septi benar- benar bisa ia miliki. Mungkin akan ia jaga baik- baik dan tidak akan ia lepaskan. Pengalaman dulu sudah menjadi pembelajaran baginya.

***

Septi mencoba membuka kedua matanya, setelah ia merasakan ada sesuatu yang terasa risih di pipi kanannya. Walau begitu terasa berat, ia mencoba memaksakan untuk membuka kedua matanya.

Tidur Septi terganggu karena kecupan yang diberikan oleh Angkasa berulang kali di pipinya. Kecupan itu diberikan oleh Angkasa tanpa ampun sedikitpun. Padahal Septi sudah menjauhkan bibir Angkasa dari pipinya, dengan mendorong wajah Angkasa menggunakan tangannya. Namun sepertinya hanya sia- sia saja.

Angakasa malah menahan kedua tangan Septi, dengan mengekatnya di dalam pelukan Angkasa. Bibir Angkasa yang semula hanya memberikan kecupan di pipinya, sekarang malah seperti mengabsen seluruh wajahnya. Tidak ada yang terlewatkan sedikitpun.

"Lama- lama bibir aku beneran terasa kebas banget kalau kamu ciumin kayak gini terus." Protes Septi.

Angkasa sama sekali tidak mendengarkan protes dari Septi, malah ia semakin melumat bibir Septi tanpa ampun sedikitpun.

Beruntungnya sebuah bunyi panggilan masuk di ponsel Septi, membuat pergerakan Angkasa berhenti. Angkasa membantu Septi, dengan mengambilkan ponselnya, yang tergeletak di atas meja yang dekat dengan sofa yang mereka tiduri.

"Nadia." Gumam Angkasa setelah melihat nama yang berada diatas layar ponsel Septi.

Septi mengernyit. Melirik ke arah jam tangan Angkasa, membawa tangan itu kehadapan wajahnya untuk melihat pukul berapa saat ini. Dan ... ya ... sudah pukul sebelas malam. Septi lupa jika ia memiliki janji dengan Nadia.

Seharusnya Septi sudah menemui Nadia diruangannya pukul sembilan malam tadi. Karena harus menunggu kedatangan Angkasa kembali, ia jadi melupakan janji temunya denga Nadia.

Namun apa daya, sampai jam sebelas malam ini pun, ia masih enggan untuk beranjak dari sofa. Atau lebih tepatnya dari dalam pelukan Angkasa. Ia juga lupa untuk mengabari Nadia, karena ulah Angkasa yang mengalihkan perhatiannya.

Septi sengaja mendiami panggilan masuk dari Nadia. Niatnya setelah panggilan masuk itu berhenti, ia akan menjawabnya dengan mengirimkan pesan. Sekaligus meminta maaf karena ia lupa untuk menemani Nadia lembur di ruangannya.

Karena sangat tidak mungkin ia menemui Nadia saat ini, dengan keadaan dirinya yang sangat berantakan seperti ini. Bisa habis Septi dengan rentetan pertanyaan dari Nadia. Apalagi dari dulu sampai sekarang, Nadia tetap dikenal sebagai 'wartawan' yang selalu mencecar sampai pertanyaannya terjawab.

Faktanya adalah panggilan masuk dari Nadia ini bukannya baru, namun sedari tadi sudah ada belasan panggilan masuk dari Nadia ke ponselnya.

"Tadi mau aku angkat, tapi takut dia mikir macam- macam" Angkasa menarik nafas "padahal udah aku kasih yang macam- macam ke kamu ya tadi ..." Angkasa menatap Septi dengan tatapan menggodanya.

***

Setelah tenaganya terkumpul, Septi memilih untuk bangun lebih dulu dari Angkasa. Sebelum benar- benar berdiri ia merapihkan pakaiannya terlebih dahulu, jangan sampai ada bagian- bagian tubuhnya, yang dapat mengundang Angkasa untuk mengulangi perbuatannya tadi.

Tangannya di cekal oleh Angkasa ketika ia berdiri untuk meninggalkan sofa. "Mau kemana?" Angkasa ikut berdiri mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Septi.

"Cuci muka." Septi melepaskan cekalan yang ada di pergelangan tangannya. Lalu jalan menunju pintu. Namun lagi- lagi tangannya di cekal kembali oleh Angkasa. "Apalagi?"

"Nggak usah pakai kamar mandi luar, pakai kamar mandi dalam aja." Sahut Angkasa. Ruangan Angkasa terdapat kamar mandi khusus, yang bisa Angkasa gunakan tanpa harus keluar ruangan. Ini adalah salah satu privilege yang ia dapatkan sebagai CEO selain ruangan kamar tidur, yang biasa ia gunakan jika sedang lembur.

"Pakai kamar mandi luar juga bisa."

"Udah jam sebelas malam, lampu juga sebagian sudah pada mati, yakin berani jalan sendiri ke kamar mandi?"

"Oke."

"Oke apa?"

"Nggak jadi pakai kamar mandi luar, lupa kalau hari ini nggak ada yang lembur, harusnya aku juga nggak lembur, eh ... malah dikasih lembur, yang paling beda dari biasanya." Sindir Septi, tanpa mendengar jawaban dari Angkasa. Langkah kakinya terus berjalan sampai menuju kamar mandi.

***

Setelah memasuki kamar mandi, ia tidak lupa untuk mengunci pintunya. Takut- takut Angkasa malah ikutan masuk kamar mandi jika tidak dikunci.

Septi membasuh wajahnya dengan air wastafel, dipandanginya wajah yang basah penuh air. Ia juga melihat ke arah rambutnya yang begitu berantankan. Rambut yang tadinya ia kuncir kuda dengan begitu rapih, sudah tidak berbentuk lagi. Sebagian rambutnya sudah keluar begitu saja dari ikatannya.

Pakaiannya juga sama, kusut sejadi- jadinya. Angkasa melempar kemejanya dengan kasar. Apalagi saat ini ia menggunakan bahan kemeja yang mudah sekali kusut. Setelah kemejanya terlempar dengan begitu asal, banyak sekali lipatan- lipatan yang tidak jelas yang terlihat di kemejenya.

Dan satu lagi, yang membuat dirinya benar- benar berantakan. Kiss mark yang ada di lehernya, yang ia dapatkan dari cumbuan Angkasa pada lehernya. Membuat dirinya benar- benar mudah sekali di curigai. Hanya anak kecil yang mempercayai alasannya jika ia bilang 'ini karena gigitan nyamuk.' Orang dewasa tidak akan mudah percaya, apalagi jika orang itu Nadia. Yang ada dirinya tidak akan diizinkan tidur, sampai dia berhasil mendapatkan jawabannya.

"Kamu sengaja banget ngasih tanda merah- merah begini di leher aku?" Septi sudah keluar dari kamar mandi, dengan keadaan yang begitu kesal. Bagaimana ia tidak kesal, jika harus pulang ke apartemennya dengan tanda merah- merah begini di lehernya.

Angaksa hanya memberikan jawaban dengan kekehannya saja.

"Aku nggak bawa alat makeup, untuk nutupin ini semua." Septi menarik nafas. "Kamu kebangetan banget, nggak cuma satu Angkasa! Tapi ada lima, ya tuhan ... !" Septi menggosok wajahnya dengan kasar.

"Ya kenapa juga harus kamu tutupin, anggap aja ini karya seni."

Septi memberikan tatapan tajam ke Angkasa.

"Kamu ngomong enteng banget ya ... aku nggak sendirian ya tinggal di apartemen, ada Nadia yang tinggal bareng aku. Bisa habis aku dikasih pertanyaan beruntun sama Nadia.

"Pulang ke apartemen aku, nggak akan ada yang interogasi kamu, percaya deh."

***

Starting YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang